Tak bisa dimungkiri, sifat serakah sangat lekat dengan manusia. Inilah yang sering saya alami sendiri. Secara sadar atau tidak, saya kadang bersikap serakah. Misalnya, ikut berebutan hadiah makanan bersama teman-teman. Gropyokan rame-rame.
Saya kadang bisa dapat banyak makanan. Padahal, satu saja bisa bikin perut kenyang. Ah, getun dan malu rasanya.
Kali ini saya seolah mendapat peringatan dari-Nya. Sebuah pelajaran yang diberikan oleh seorang petugas kebersihan (office boy) di kantor tempat saya bekerja.
Lebaran tahun ini saya kebagian bertugas. Artinya, saya tidak bisa mudik ke Pekalongan, rumah mertua. Istri saya sudah mudik lebih awal, seminggu sebelum Lebaran, dengan menumpang kereta api. Menghindari lonjakan penumpang yang biasanya terjadi pada hari-hari mendekati Lebaran. Itu juga berarti saya sendirian di rumah.
Rupanya, ada kawan office boy yang mengetahui itu. Saya mengenalnya karena sering mengikuti salat wajib berjamaah di masjid dekat kantor kami. Suatu malam, saya tidak kebagian jatah sahur. Di kantor kami, setiap malam sebelum pulang, ada jatah sahur bagi karyawan, baik bagian redaksi maupun office boy.
Petugas sekuriti yang biasa membagikan jatah sahur tersebut meminta maaf seraya bilang bahwa makanan sahur sudah habis. ”Nggak papa, Pak,” tegas saya kepada petugas itu. ”Saya bisa beli di luar”.
Rupanya, kawan office boy saya tersebut melihat adegan itu. Setiba di tempat parkir, saya dipanggil olehnya. Dengan tergopoh, dia menghampiri saya yang sudah siap tancap gas motor untuk keluar parkir.
”Napa, Mas?” tanya saya.
”Ini buat sampeyan,” ucapnya sambil memberikan bungkusan nasi jatah sahur.
”Lha, sampeyan?” Saya menanyakan jatahnya sendiri.
”Wis, Mas. Bawa saja,” ujarnya meyakinkan. ”Saya nanti bisa masak sendiri (sembari menyebutkan salah satu merek mi instan),” lanjutnya.
Saya tak kuasa menolak. Bukan karena kemaruk, tapi saya tak mau menghalanginya mencari pahala kebaikan. Apalagi di bulan suci Ramadan.
Setelah berterima kasih, saya bergegas pulang. Saya malu sekali. Saya tahu penghasilan office boy itu tak seberapa. Namun, kali ini dia mengajarkan saya banyak hal. Bahwa kadang saya masih berlebih-lebihan dalam beberapa hal.
Di sebuah kedai makanan, saya membelokkan kendaraan ke sana. Berhenti, membeli makanan. Jatah dia dan beberapa nasi yang saya beli saya berikan ke petugas keamanan di lingkungan perumahan saya.
Ramadan segera berpamit. Saya tentu tak mau melewatkan momen obral pahala dari Allah pada bulan suci ini. Dalam hati saya mendoakan keberkahan buat kawan tadi. Kompor di dapur menyala, saya siap merebus mi instan. Bersiap sahur. Bersiap puasa untuk mereduksi segala ”penyakit hati.” Bersiap perang melawan hawa nafsu, yang ternyata sulitnya bukan main.
Ampunilah segala dosa-dosa kami ya Rabb…
Graha Pena, 27 Agustus 2011
www.samuderaislam.blogspot.com