Ibu dan Uang Infak

Setiap bulan, saya selalu mengontrol pengeluaran rumah tangga. Misalnya, mempersiapkan uang untuk bayar cicilan rumah, listrik, belanja istri, tabungan, dan infak. Itu saya lakukan agar tidak besar pasak daripada tiang alias lebih besar pengeluaran ketimbang pemasukan. Dengan penghasilan kami yang pas-pasan, saya selalu mengingatkan istri untuk ketat dalam hal finansial keluarga.

Suatu sore, ibu dan bapak berkunjung ke kediaman saya. Tentu saja kami sangat senang dengan kedatangan beliau. Kami jamu mereka sebaik-baiknya saat dua hari bermalam di tempat kami.
Menjelang pulang, ibu memanggil saya. Suaranya terdengar berbisik.

”Opo, Bu (Ada apa, Bu)?” tanya saya.
”Maaf ya, ibu minta uang buat sangu, ada? Sak onok e (Seadanya kamu),” ucapnya lirih.

Saya menatap mata ibu.
”Sik (sebentar),” jawab saya, langsung berlalu ke kamar.
Saat itu istri saya sedang keluar untuk membeli makanan buat ibu dan bapak. Saya mengambil tas kecil hitam yang tergantung dekat cermin kecil. Mengambil amplop putih. Di situ terdapat jatah uang cicilan rumah, listrik, dan infak. Saya mengambil jatah untuk infak. Semuanya.

Saya lantas menemui ibu dan memberikan uang tersebut.
Saya kembali menatap matanya. Berbinar.

Setelah istri saya kembali, kami makan bersama. Setelah itu, saya mengantarkan ibu dan bapak ke Stasiun Gubeng, Surabaya, untuk kembali ke Jakarta.

Setiba di rumah kembali, saya bilang ke istri saya bahwa uang untuk infak saya ambil semua.
”Lho, buat apa? Itu kan mau diinfakkan?” tanya dia.
”Saya berikan ke ibu, beliau minta sangu dan kebetulan isi dompetku cekak,” jawab saya singkat.
”Oh,” ucapnya pendek.
”Kita dahulukan membantu keluarga dulu ketimbang orang lain,” tegas saya.

Esoknya istri saya mengirimkan pesan singkat (SMS).
”Mas, alhamdulillah hari ini aku dapat uang insentif dari sekolah.” Demikian isi SMS tersebut. Saya tak menanyakan besarannya. Itu hak dia. Eh, ndilalah ada SMS lagi dari Bu Prast, istri saya.
”Sebagian diinfakkan ya, sebagian lagi ditabung.”
”Alhamdulillah, barakallah ya sweetheart,” balas saya. Dalam hati, saya gembira karena bisa membayar uang infak bulan itu.

Belum lepas dari kegembiraan tersebut, saya dapat kabar bahwa tulisan saya dimuat di salah satu koran milik Jawa Pos Group. Alhamdulillah, bakal dapat honor lagi nih, pikir saya.
Apakah Alloh mengganti uang infak yang saya berikan tadi kepada ibu? Entahlah. Yang jelas, saya yakin tak ada yang kebetulan di dunia ini.

Rabighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira…
(Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah ibuku. Kasihanilah mereka sebagaimana kasih mereka kepadaku sewaktu aku masih kecil)

Graha Pena, 13 Feb 2011
www.samuderaislam.blogspot.com