Kejadian Pertama
Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.
Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.
Kami naik motor. Tidak jelas tujuannya. Yang penting, kata Tri, jalan-jalan. Motor pun digeber cukup kencang. Sekitar pukul 20.00, saat melewati sebuah tikungan, Tri tidak mengurangi kecepatan. Tiba-tiba sebuah mobil Taft menyeruak di depan, Tri kaget. Karena panik, ia tak bisa mengendalikan laju motor. Motor bersama kami masuk parit, cukup dalam. Akibatnya, kami berdua terluka. Saya yang berada di boncengan mengalami luka serius di kaki.
Kendati meringis kesakitan, saya masih sadar. Berusaha meminta tolong. Pada saat itu, kaki kanan saya tidak kuasa menyanggah tubuh saya. Saya tidak bisa berdiri. Setelah dilihat, celana saya sudah berlumuran darah. Saya tak sempat melihat luka di kaki kanan saya tersebut. Yang jelas, darah yang keluar cukup banyak. Kepala saya mulai pening. Dalam kondisi setengah sadar dan pandangan yang mulai kabur, saya melihat kerumunan orang menuju ke arah saya. Setelah itu, saya tak tahu lagi apa yang terjadi.
Saat sadar, saya sudah berada di ruang perawatan khusus di RS Mekar Sari Bekasi. Menurut bapak, jika terlambat sedikit saja, nyawa saya saat itu mungkin tidak tertolong karena darah yang mengucur dari kaki saya cukup banyak.
Saya juga sempat melihat ibu. Tampak jelas beliau menahan tangis. Wajah saya dipeluk. Saya minta maaf kepada beliau. Setelah itu, saya kembali tak sadar. Pasrah pada apa pun yang terjadi.
Namun, saya sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara dunia. Setelah menjalani operasi, kondisi saya berangsur membaik. Memang lukanya cukup parah. Otot besar tepat di bawah dengkul robek. Dokter menjelaskan, saya bisa berjalan, tetapi pincang. Artinya, saya harus menerima kenyataan bahwa kaki kanan saya ini cacat.
Ibu berusaha terus membesarkan hati saya. Menghibur dan memberikan semangat agar saya tidak patah arang. Berhubungan atau tidak, saya percaya bahwa kejadian malam itu tak lepas dari doa beliau. Ibu bilang, beliau mendoakan keselamatan untuk saya. Dan itu dikabulkan oleh-Nya. Alhamdulillah.
Kejadian Kedua
Kala itu, selepas lulus dari IKIP Surabaya pada 2004 saya masih menjalani waktu-waktu tak menentu di Surabaya. Saya menganggur setelah sebelumnya sempat ”magang” di warung kopi milik paman. Tak betah, tapi saya tetap memutuskan untuk tinggal di Surabaya. Seolah dapat ilham, saya teringat ibu. Saya menelepon beliau dan menceritakan kondisi saya yang luntang-lantung di Surabaya. Sulitnya mencari kerja. Mau buka usaha pun tak sanggup. Mengirim lamaran kerja, sebagai guru dan pegawai swasta, tetapi belum kunjung ada panggilan. Semuanya saya ceritakan kepada beliau.
Di ujung telepon, pada pengujung pembicaraan, saya meminta restu ibu agar segera dapat kerja. Esoknya, saya dapat panggilan dari PT Tata Solusi Pratama (TSP) di divisi logistik. Hanya sekali ikut tes, saya dinyatakan diterima dan bekerja di sana. Meski hanya digaji Rp 800 ribu, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah.
Kejadian Ketiga
Saya mulai tak kerasan di PT TSP. Saya sadar bahwa saya memiliki kemampuan lebih untuk sekadar jadi pegawai gudang (logistik). Saya ingin mengembangkan karir di bidang lain. Dan impiannya saya adalah jurnalistik atau pendidikan. Saya memberi tahu ibu soal niat saya untuk hengkang dari TSP. Beliau bilang, semua terserah saya. ”Pokoknya, apa yang terbaik menurutmu, ibu mendukung,” ucapnya waktu itu. Saya meminta restu beliau untuk mendoakan saya agar bisa mencapai apa yang saya cita-citakan.
Surat resign saya serahkan ke atasan. Dikabulkan. Saya resmi jadi pengangguran lagi. Namun, itu tak berlangsung lama. Secara tak sengaja, ketika ngopi di kawasan Ketintang, dekat kampus IKIP, saya membaca lowongan kerja. Terpampang jelas di situ, Jawa Pos butuh ”polisi EYD” alias tukang edit. Segera saya membeli amplop cokelat ukuran folio, kertas HVS selembar, dan menyiapkan berkas lain untuk mengirim surat lamaran kerja ke sana. Setelah siang saya mengirimkannya, malamnya saya telepon ibu. Meminta doa beliau.
Impian jadi nyata. Saya lolos tes administrasi dan ikut tes tulis. Setiap lolos, saya mengabarkan kepada ibu dan bapak. Ibu sangat antusias mendengarnya. Berharap saya bisa lolos dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Ketika ikut tes ketiga, yakni psikotes, saya melaluinya dengan baik. Selanjutnya, saya menjalani tes wawancara dengan kepala editor (Pak Guntur) dan koordinator liputan (Pak Baihaqi). Saya sempat dicecar oleh Pak Baihaqi tentang kebiasaan membaca. Bahkan, beliau sempat melontarkan nada tinggi ketika saya agak gugup ketika menjawab. Namun, saya lolos! Gembira bukan kepalang. Saya merasa juara meski belum sepenuhnya diterima. Paling tidak, saya sudah menyisihkan banyak sarjana bahasa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Seingat saya, ada lulusan UGM dan Undip. Wajah mereka tampak pasti. Namun, seperti ibu bilang bahwa saya pasti bisa. Doanya menjadi penyemangat yang dahsyat. Kepercayaan diri saya berlipat-lipat.
Tiba tes terakhir, yakni kesehatan. Jujur, saya ragu. Pasalnya, saya punya sakit jantung lemah. Sehingga telapak tangan dan kaki saya selalu basah. Ini membuat saya nggak pede. Saya memohon doa kepada ibu. Tinggal selangkah lagi. Esoknya saya mengikuti serangkaian tes kesehatan lengkap. General check up. Saya yakin doa ibu selalu menyertai setiap langkah saya. Bismillah. Dan betul, saya dinyatakan lolos. Allahu akbar. Tak menyangka impian saya untuk menggeluti dunia jurnalistik benar-benar terealisasi.
Kejadian Keempat
Saya berkenalan dengan seorang alumnus Undip, kader Partai Keadilan Sejahtera. Perempuan berparas cantik dan murah senyum. Kami memutuskan bertaaruf. Sekali bersua, saya lantas nekat berkunjung ke rumahnya di Pekalongan. Mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melamarnya. Benar-benar bonek lah. Padahal, kala itu, saya belum punya tabungan untuk menikah. Pada pertemuan selanjutnya, orang tua saya sowan ke Pekalongan. Beberapa minggu kemudian, ganti keluarga calon mertua yang menyambangi rumah orang tua saya di Bekasi.
Semuanya terasa begitu cepat. Ibu sempat tanya ke saya, ”Apa kamu sudah siap?” Saya jawab, ”Insya Allah, Bu. Saya sangat siap.” Modal yakin saja. Allah pasti menolong saya, begitu pikir saya waktu itu.
Setelah lamaran, tanggal pernikahan kami pun ditentukan, 8 Maret 2009. Dan kantong ini belum cukup ”tebal”. Bahkan, saya belum mendapatkan kontrakan buat kami.
Saya bilang ke ibu tentang hal ini. Bapak hanya sopir, penghasilannya tak seberapa. Jika ada order, dapat uang. Jika tidak, ya nganggur. Tidak pasti setelah beliau pensiun. Ibu hanya menjual nasi bungkus dan bikin kue yang dititipkan ke warung-warung. Sangat membantu finansial rumah tangga. Karena itu, saya nggak tega untuk minta bantuan keuangan kepada ibu dan bapak untuk biaya menikah. Bingung. Gamang sekali waktu itu.
Ibu membesarkan hati saya. ”Minta sama Allah, Dia pasti menolong,” jawab ibu singkat. Saya bersemangat lagi. Tanggal pernikahan sudah dekat. Saya berusaha mencari dana untuk modal nikah. Kemudian saya bertemu dengan Mas Mierza, bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Jatim. Saya mengutarakan kesulitan saya. Tanpa tedeng aling-aling, beliau bersedia memberikan pinjaman tanpa anggunan sama sekali. Alhamdulillah walaa ilaha illallah…
***
Saya tak pernah menyangsikan kekuatan doa seorang ibu. Memang manusia hanya bisa berusaha, selanjutnya keputusan berada di tangan Allah.
Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya, maka dia kafir.” (HR. Muslim)
Pada hadis lain disebutkan, ketika ditanya tentang peran kedua orang tua, Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah selalu melindungi ibuku, ibuku, ibuku, dan ayahku. Menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sejak kecil sampai sekarang. Aamiin.
Surabaya, 6 Juli 2011
www.samuderaislam.blogspot.com