Alhamdulillah, Allah memberi saya kesempatan untuk melihat air mata yang indah, yang tidak dieksploitasi layaknya adegan-adegan sedih di tayangan televisi. Dan kesempatan itu saya dapatkan dua kali. Salah satunya terjadi pada saat Ramadan.
Sepuluh malam terakhir Ramadan, lazim kita lihat hal yang kontradiktif. Di satu sisi, sebagian orang memilih beriktikaf di rumah-rumah Allah. Sebagian yang lain justru meramaikan pusat perbelanjaan, berburu barang untuk persiapan Lebaran. Yang pasti: pada sepuluh malam terakhir, jemaah masjid, musala, ataupun surau dipastikan kian berkurang. Tidak seperti awal Ramadan. Masjid full!
Justru di tengah suasana masjid yang sepi tersebut, saya bersyukur mendapat pengalaman spiritual yang sebelumnya belum pernah saya alami.
Malam ke-23, jumlah jemaah pada shaf kami saat itu bisa dihitung dengan jari. Imam salat kami waktu itu adalah Haji Yusuf, ulama setempat. Saya sendiri biasa menyapa beliau Pak Haji. Anak sulungnya mengikuti jejak sang ayah sebagai mubalig. Kawan baik saya juga. Pada saat-saat tertentu, ketika hadir di salat fardu berjemaah, saya diminta menjadi muazin di musala tersebut.
Beda. Inilah yang jujur saya rasakan ketika mengikuti salat Isya waktu itu. Ketika Pak Haji memimpin salat, suaranya terdengar parau. Berat. Setahu saya, juga diamini oleh jemaah lain, beliau seperti menahan tangis. Lanjut ke salat Tarawih, kami kian yakin bahwa Pak Haji tengah menahan tangis. Kendati tak bisa melihat, saya bisa menebak bahwa air matanya sudah menetes. Dan hal serupa terjadi pas malam-malam sepuluh terakhir itu.
Saya tidak berani bertanya langsung kepada Pak Haji Yusuf mengenai hal tersebut. Hanya, saat tadarus Alquran, seorang kawan mengatakan bahwa Pak Haji merasa berat karena Ramadan segera berpamit. Saya pun mafhum. Merenung. Betapa indahnya jika bisa seperti itu.
Pengalaman kedua tak kalah nggegirisi (mengharukan). Ini terjadi sebelum datang Ramadan. Hari itu saya libur ngantor. Hari-hari bersantai, menenangkan pikiran setelah setiap hari bergelut dengan kesibukan pekerjaan. Namun, sore itu saya diminta datang ke rumah seorang kerabat dekat yang sakit. Saya pulang ke rumah sekitar pukul 21.00. Sesampai di rumah, istri saya menyambut dengan senyum. Lantas dia membuatkan teh hangat buat saya.
Selepas itu, dia meminta maaf, lantas menangis. “Ada apa ini?” tanya saya heran. Pertanyaan itu malah membuat dia terlihat kian sedih. Saya bertanya sekali lagi, soal alasan dia menangis.
”Maaf, Mas. Aku tadi ketiduran pas magrib. Lalu kebablasan.”
”Maksudnya, kamu ora salat Magrib, ngono ta?”
”Ya…”
Saya diam. Tak lekas menjawab atau menyalahkannya.
”Yo wis, jangan minta maaf sama saya, tapi sama Allah… Dan jangan diulangi. Waktu magrib itu sangat pendek dan ndak baik tidur saat magrib,” tegas saya.
Dia berlalu, masuk ke kran di ruang belakang, mengambil air wudu. Saya lihat rona wajah istri saya begitu sedih. Raut sesal jelas terpahat pada air makanya.
Saya tahu, dan istri saya juga, bahwa salat adalah tiang agama. Bahwa salat merupakan amal yang pertama dihisab pada hari akhir.
Saya tahu, dan istri saya juga, bahwa sungguh celaka orang yang tahu akibat dari melalaikan salat, tapi meninggalkannya, padahal ia tahu itu.
Sungguh, malam itu saya melihat air mata istri saya sangat indah. Air mata ketakutan yang amat kepada kelalaian terhadap Tuhannya. Air mata yang sama terasakan pada saat Pak Haji Yusuf memimpin salat kami di malam-malam terakhir Ramadan. Air mata yang indah.
Graha Pena, 26 Agustus 2011
www.samuderaislam.blogspot.com
[email protected]