Dwia, Teguran untuk 'Para Raja'

Seperti biasa, ‘bis enam puluh lima kuning’, begitu Masyarakat Indonesia Mesir (MASISIR) biasa menyebutnya dipadati penumpang. Termasuk di dalamnya para mahasiswa/i. Kendati demikian tidak lantas membuat masisir jenuh untuk terus berpacu dalam mengejar segudang harapan yang terkemas dalam bentuk cita-cita di negeri ini.

Seseorang, dengan perawakan Indonesianya yaitu aku berangsur-angsur menyelip di tengah padatnya penumpang menuju bagian depan bis. Bersiap-siap turun karena tak berapa lama lagi akan sampai di asrama tempatku tinggal, madinatul bu’us islamiyah. Sebuah komplek apartmen khusus untuk para pelajar dan mahasiswa asing dari berbagai negara yang mendapat beasiswa dari Al-Azhar.

Setelah sampai di tikungan Dwia (sebuah perkampungan, red) aku menoleh ke sebelah kiri bis, tepatnya di komplek perumahan yang terlihat berbentuk kubus-kubus tak tersusun di seberang sana, dengan maksud mau melihat selintas longsor yang beberapa hari lalu terjadi sebagaimana tersebar di koran-koran dan TV Mesir. Aku berdiri tepat di samping saaiq, sopir bis tersebut.

“Ghalthan..!” kesalahan! Gumam pak sopir sambil melihat ke arah yang sama denganku. Terlihat tidak jauh di seberang jalan sana reruntuhan batu-batu besar tercampur tanah dan pasir terseling bangunan, ambruk tersungkur, seakan bersujud. Tampak pula di samping reruntuhan itu perkemahan yang berjajar menguning yang diupayakan pemerintah Mesir dalam menampung pengungsi yang rumahnya remuk terhimpit bebatuan.

Perumahan yang biasanya terlihat dari kejauhan di puncak bukit kampung itu kini berubah menjadi tebing terjal, warna kuning tebing masih terlihat jelas dari dalam bis.

“Ghalthan…ghalthan..!” kembali bapak itu bergumam sambil memutar arah stir mobil kekanan ke arah asramaku. Raut wajahnya terlihat menyimpan seribu kesal. Semacam ada yang tidak beres. Kekesalan itu terekspresi pula dengan gaya khas Mesir yang mengisyaratkan tangannya dengan bibir mencebir.

“Hadzihi mushibah.” Timpalku berharap dapat meredakan kekesalannya. Seorang teman Indonesia di sampingku tampak juga sedang mendengar perbincangan kami.

Entah apa yang ada di benak bapak setengah baya itu. Sepertinya ia begitu kesal dengan keadaan ini, bukan dengan musibahnya, tapi bagaimana usaha mengantisipasinya sebagai akhtiar, mungkin itu.

Memang sekitar sebulan lalu tersebar juga berita yang tak kalah mencoreng muka masyarakat Egypt terlebih sang raja Husni Mubarak, dengan tersebarnya berita sijago merah yang melalap gedung MPR-DPR Mesir.

Begitu juga sekitar setahun sebelumnya terjadi peledakan di daerah Husain, sebuah perkampungan yang terdapat di sana kampus al-Azhar dan juga di Sharm el-Syekh, sebuah kota metropolitan Mesir dengan panorama pantainya yang indah. Selain tempat wisata, kota ini juga terkenal dengan julukan madinatu al-salam, kota yang aman.

Barangkali belum hilang di benak mereka tragedi-tragedi itu. Mungkin juga koran-koran tentang itu belum habis semuanya terjual. Sekarang berita pedih kembali mengundang prihatin penduduk ‘negeri seribu menara’ini. Yaitu tragedi Dwia.

Hingga tulisan ini ditulis terhitung 60 pulah nyawa telah menjadi korban. Puluhan rumah tersungkur, remuk.

Jika dilihat dari zahirnya, peristiwa ini tidak seberapanya dibanding badai tsunami yang menghantam Nanggro Aceh Darussalam-Indonesia. Yang menelan puluhan bahkan ratusan ribu jiwa. Dan kerugian yang tak alang-kepalang. Namun, yang membuat kesal masyarakat Mesir barangkali bukan itu. Sepertinya ada luka mendalam di hati masyarakat ini. Ada jeritan yang tak terdengar karena ketakutan mereka pada ‘sang raja’.

Bayangkan, pada tahun 1940-an penangkapan besar-besaran terjadi. Sebagai obyeknya adalah aktivis ekhwan al-muslimin (IM). Mereka dianggap sebagai penantang titah ‘raja’. Hingga puncaknya pemimpin IM Hasan al-Banna terbunuh dengan tidak wajar.

Peristiwa ini masih membekas di benak mereka. Ulah sang ‘raja’ yang mengaku berdemokrasi ternyata hanya isapan jempol. Yang ada hanya diktatorisme. Aspirasi rakyat baru akan dipertimbangkan jika tidak mengancam keselamatan raja.

Ada rintihan dari batin penduduk negeri ini yang menginginkan wajah baru pengemban keadilan. Yang memiliki perhatian tinggi pada penduduk negeri. Sehingga keterlantaran dari segala aspek kehidupan bisa teratasi. Tidak hanya duduk ‘dikursi goyang’ sementara rakyat terlantarkan.

Selain itu, di Romdlan kali ini Allah Swt. seakan ingin mengetuk sang raja. Mengajaknya melihat betapa demokrasi yang sesungguhnya mutlak harus ditegakkan di pelataran negeri, bukan omong kosong belaka.

Allah Swt. juga ingin lebih jauh mengetuk dinding-dinding kalbu penghuni negeri ini dan penghuni bumi sejagad raya, betapa pergeseran nilai-nilai etika sudah jauh merosot mencapai titik mengkhawatirkan, terutama dikalangan negeri yang notabenenya adalah ‘negeri para nabi’ ini. Tidak sepatutnya dekadensi moral tumbuh subur. Bahkan melebihi negara-negara Eropa yang memang basisnya bukan Islam.

Dwia, cukuplah kau menjadi ayat kauniah bagi kesadaran setiap sang raja seantero bumi. Ketuk hati mereka agar memimpin sebagaimana dulu Rasulullah Saw. memimpin. Peduli akan keluh-kesah ummat, bukan untuk kepentingan diri.

Buat penghuni bumi, lihatlah bagaimana Allah Swt. mengajak kita untuk lebih meyakinkan kekuasaannya. Ia berikan tsunami, banjir, longsor, badai, angin topan dan sederetan utusan lainnya.

Allah Swt. ingin sampaikan; kemblilah kejalanKu. Sesunguhnya kiamat kecil itu sudah datang. Mana persiapanmu?

(Bu’us, 14 Ramadlan 1429)