Ulat Bulu, Malu Sama Allah

Apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini? Jutaan ulat bulu, semakin tidak terkendali bahkan ulat bulu kini muncul dengan jenis yang berbeda, tentu jenis lain yang lebih gatal, jika terkena bulunya tak cukup satu hari waktu yang diperlukan untuk penyembuhan. Setelah, sejumlah daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta dan Bali, ulat bulu sudah menjalar ke kepulauan Nusa Tenggara.

Sebab bencana tentu ada penyebabnya, para ahli menilai ulat bulu merajalela karena ekosistem yang terganggu. Pemangsa ulat bulu seperti burung dan semut rangrang (oecophylla smaragdigna) jumlahnya semakin terbatas dan di beberapa daerah penghasil komoditi pertanian semut rangrang sudah punah.

Semut rangrang kerap dijumpai di antara pepohonan, namun oleh para petani semut ini dimusnakah habibatnya karena dianggap mengganggu, apalagi semakin maraknya penggunaan pestisida yang dianggap efektif dan memangkas biaya produksi, tapi sesunggunya merusak ekosistem.

Tentu, jika kita melihat lebih dalam, pembukaan hutan yang diganti dengan tanaman homogen, menyebabkan kondisi alam yang tidak seimbang. Apalagi perubahan paradigma, negeri ini yang dulunya dikenal dengan negeri agraris telah berubah menjadi bangsa yang konsumtif. Sebagian produk yang beredar di pasaran dengan dominasi barang impor yang jauh lebih murah, membuat petani menguras pikiran dan tenaga supaya hasil taninya dapat bersaing dengan harga pasar dengan cost yang lebih rendah.

Siapa yang mesti disalahkan?

Kita kembali kepada penyelenggara negara. Sistem demokrasi yang kita anut, proses perubahan dari orde baru ke orde reformasi sedikit banyak memberikan pelajaran menuju kedewasaan berpolitik. Masing-masing pihak tidak mau ketinggalan untuk merebut kekuasaan, menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, tetapi sendi-sendi dasar yang seharusnya menjadi prioritas, karena menyangkut kepentingan bangsa diabaikan.

Kebijakan menyangkut pertanian, dalam sejarahnya negeri kita adalah penghasil komunditi yang sudah berlangsung ribuan tahun. Tentu ada kebiasaan dan kebudayaan di sana yang senantiasa harus dipelihara, tak boleh perubahan sistem politik mengubah kebijakan pertanian apalagi sampai kepada pemangkasan anggaran untuk sektor lain yang dianggap lebih prioritas.

Lalu Bagaimana?

Harusnya kita malu sama Allah SWT dan senantiasa bersyukur dan meninggikan kalimat – Nya, bumi yang tengah kita pijak yang tercinta ini. Negeri ini begitu kaya, semua yang kita inginkan nyaris ada. Dengan dua musim, tapi dua musim ini tak membuat kita bersyukur dan justru malah terlena. Jika di negara lain seperti Eropa dengan empat musim, mereka selalu bersiap diri menghadapi setiap pergantian musim dengan berbagai perbekalan, dan tak membuat mereka mengeluh.

Lalu, adakah kita berpikir menyiapkan dampak apa yang terjadi jika ekosistem yang terganggu? Serangan ulat bulu, jika pemangsanya punah. Bencana alam, banjir, longsor, jika wilayah tadah hujannya dibabat.

Ya Allah ampunilah kami, karena telah berbuat kerusakan di muka bumi. Semoga negeri ini kembali menemukan kejayaannya dan terhindar dari musibah dan kerusakan. Amien