Ada sebuah bangunan tinggi di lingkungan rumahku. Rumah itu bagaikan instana yang menjulang di perkampungan sederhana. Berwarna putih dan megah. Hingga bila orang bertanya padaku,” rumahmu dimana?” maksudnya letak rumahku dimana gerangan adanya, maka aku pun akan menjawab dengan sedikit senyum. Senyum yang aku lontarkan sedikit, agar percakapan kami terkesan humoris.
“Kamu tahu kan rumah yang besaaaar…? Yang paling tinggi di gang kami?! Nah… rumahku dibelakangnya!” Mereka sering kali mencubitku, karena gemesnya.
“Kamu ini mbak… kirain rumahmu yang itu.” Pastilah mereka “kejebak”. Maklum faktor penekanan kata bahwa, apakah mereka tahu rumah yang paling bagus? Tentu saja arah pikiran mereka akan mengarah kesana.
Bicara rumah nan indah tersebut, membuat “rakyat” di gang kami, khususnya aku, tidak pernah melewatkan kesempatan bila melewati rumah tersebut. Maksudku sih, bila berjalan melewati rumah itu, maka pastilah pandangan mata di tujukan untuk mengagumi arsitektur bangunannya yang sangat kokoh. Belum lagi lampu hias dan taman di lantai dua. Keindahan itu ternyata dapat kami nikmati, walau kami bukan pemilik rumah tersebut. Alhamdulillah.
Keindahan sebuah barang, atau sesuatu yang “cantik” yang dipunyai seseorang membuat mata yang lain merasa iri, alias mendesah,” sungguh beruntung sekali orang yang memilikinya.” Kemudian di otak kita akan berputar-putar berapa biaya yang telah dikeluarkannya. Selanjutnya kita akan mencoba menikmati fasilitas yang tersedia di sana, walau hanya dengan fantasi semata. Tentu semua yang kita rasakan menimbulkan rasa yang nyaman.
Tapi memang begitulah di dunia ini. Apa yang nampak dimata, belum tentu sama dengan dibaliknya. Kelihatan nyaman, mewah belum tentu sang pemiliknya mempunyai perasaan yang sama, dengan yang terlukis diluarnya. Rumahnya memang bak syurga dunia, tapi tetangga depan rumahnya sering terusik dengan pertengkaran suami istri pemilik hunian yang “paling” di kampung kami.
Hidup di alam fana ini, memang seringkali dikotonomi tentang harta. Sepertinya kehidupan kita memang selalu dikaitkan dengan apa yang kita punyai. Bicara apa yang dipunyai, pastilah maksudnya harta benda. Mobil, rumah, kebun dan seterusnya. Kehidupan yang sebenarnya sangat sebentar ini dimaknai jauh dari yang sebenarnya.
Seringkali orang lebih cemas karena PHK di tempat kerjanya telah berjalan. Atau masa pensiun kerja yang didepan mata. Hingga kita seringkali membanting tulang, tidurpun gelisah karena memikirkan bagaimana caranya agar saat itu datang, kita telah siap secara finansial. Kita tidak ingin kehidupan masa tua kita, masih disibukkan dengan serba kekurangan.
Bila bicara tentang masa tua, maka banyak orang mengisi masa mudanya dengan menumpuk kekayaan, investasi dimana-mana. Bahkan saking sibuknya mencemaskan masa pensiun datang, masa mudanya betul-betul hanya untuk mencari harta.
Padahal mereka belum tahu, seberapa lama mereka hidup. Mereka tidak menyadari, bahwa harta yang dirasakan miliknya, ternyata tak pernah bisa dinikmatinya, karena pekerjaannya hanya untuk menghitung-hitungnya. Bahkan saking sibuknya, misalnya vila yang bertebaran dimana-mana, ternyata bukan dia yang menikmati, tapi sang penjaganya lah yang merasakan nikmatnya hidup di vila mewah.
Tapi bila dibandingkan dengan saat sakratul maut, tentu usaha tersebut diatas, tidaklah sebanding. Saat kita tahu, masa pensiun akan tiba, kita telah berusaha keras, bahkan terlalu keras untuk mencukupi semua materi yang akan kita gunakan nantinya.
Tapi kematian yang tidak pernah kita tahu kapan mengetuk rumah kita, ternyata tak pernah kita waspadai. Kita tidak pernah secara sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk menyambutnya, seperti saat masa pensiun tiba . Ternyata, usaha kita untuk kehidupan didunia nan “menjebak” ini lebih menyibukkan kita, daripada kehidupan kekal nan abadi yang telah menunggu kita.
Sengata, 12 Januari 2010
Halimah Taslima Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata