Pagi itu cerah. Saya sedang menikmati dua jam perjalanan menuju Tokyo. Di kala orang-orang bergegas berangkat ke kantor atau ke sekolah. Kereta selalu penuh di saat itu. Tetapi berpergian ke tempat yang cukup jauh dari tempat saya tinggal selalu membuat anak-anak ceria. Saya pun terbawa ke alam keceriaan mereka.
Saya duduk di ujung gerbong, tempat untuk orang-orang khusus. Di setiap kereta di Jepang, ada bangku khusus untuk orang tua, ibu hamil, orang sakit atau yang cedera berat, dan ibu-ibu yang membawa anak kecil. Suatu wujud kepedulian pemerintah Jepang terhadap warganya yang lemah. Inilah tempat pavorit saya yang senantiasa membawa dua balita kala berpergian. Beberapa meter di sebelah kanan saya, duduk juga seorang ibu muda dengan dua anak balitanya. Usianya sama dengan usia anak-anak saya. Yang besar sekitar tiga atau empat tahun, dan yang kecil sekitar satu tahun. Dua anak yang lucu dan menggemaskan bagi yang melihatnya. Anak pertamanya duduk dengan manis di samping sang ibu, sedang yang lebih kecil duduk dipangkuan ibunya.
Suasana tenang saat itu, sampai tiba-tiba, ”Dame Yo!!”* Suara hardikan terdengar dari bangku ibu tadi. Saya dan beberapa orang penumpang menoleh ke arahnya. Balita satu tahunnya sedang berusaha memainkan kalung sang ibu. Mungkin ia bosan dengan perjalanan panjangnya. Anak itu diam sebentar. Beberapa saat kemudian kembali mengajak sang ibu bermain. “Dame!! Duduk yang baik!!” Kali ini suara bentakan lebih keras terdengar. Sang ibu terlihat lelah dan ingin memejamkan matanya, tetapi terganggu dengan tingkah sang balita. Kali ini anak itu agak lama menghentikan aksinya. Tapi kemudian ia kembali berusaha memainkan kalung ibunya. “ Naoko chan*, jangan mengganggu!!!” kali ini sang ibu benar-benar marah. Dengan kasar Ia meletakkan balitanya di sampingnya, di dekat sang kakak. Anaknya menangis keras, dan berusaha untuk kembali ke pangkuan ibunya. Dengan kasar ditepisnya tangan anak itu. Ternyata sang kakak juga berusaha membantu ibunya dengan menekan tubuh adiknya ke belakang. Tangis anak itu semakin keras. Tapi sang ibu tetap tak mau mengangkatnya. Dan tak mencoba menolongnya dari tekanan sang kakak. Lama anak itu menangis, sampai akhirnya lelah dan tertidur.
Saya menahan nafas selama episode itu berlangsung. Ada rasa nyeri di dada melihat seorang anak usia satu tahun yang bosan, dan ingin mengajak main sang ibu, tetapi harus kecewa dengan kekasaran yang diterimanya. Ah, seringkah sang anak mendapat perlakuan kasar tersebut? Atau saat itu adalah situasi khusus yang mebuat sang ibu tidak ingin diganggu oleh tingkah sang anak? Sebagai ibu dari dua anak, saya juga bisa memahami kelelahannya dalam menyiapkan perjalanan dan mengurus anak-anak. Tetapi memperlakukan anak usia satu tahun dengan sangat kasar adalah satu hal yang tidak bisasaya terima.
Sering juga saya melihat hal-hal semacam itu. Tidak hanya di Jepang, di Indonesia pun sering saya menyaksikan orang tua yang dengan tega membentak, mencubit atau memukul anaknya yang masih kecil. Bahkan kadang kala hukuman itu tak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat sang anak. Meskipun sang anak sama sekali tidak tahu bahwa itu suatu kesalahan. Di benak sang anak mungkin hanya ingin bermain atau bereksplorasi. Sesuatu yang wajar di dunia anak-anak.
Saya teringat kisah baginda Rasulullah. Ketika beliau sedang menimang seorang bayi, lalu bayi itu buang air kecil di baju Rosulullah. Dengan kasar sang ibu mengambil anak itu dari tangan Rosulullah. Ia marah karena anaknya yang masih bayi mengotori baju Rosulullah dengan najisnya. Saat itu Rosulullah berkata, “Wahai ibu, Najis anakmu ini mudah untuk dibersihkan, tetapi kekeruhan jiwanya akibat kekasaranmu sulit untuk dihilangkan”. Teringat juga betapa Rasulullah sangat sabar terhadap kedua orang cucu beliau, Hasan dan Husein. Ketika Rasulullah sholat, dengan sabar beliau memperlama sujudnya, agar kedua cucunya bisa puas bermain di atas punggung beliau.
Betapa lembutnya Rasulullah memperlakukan anak-anak. Dan betapa perhatiannya Rasulullah akan perkembangan jiwa seorang anak. Baginda Rasulullah tahu, kekasaran seorang ibu kepada anak akan merusak perkembangan jiwanya. Mencabut keceriaan anak akan membuat anak menjadi pribadi yang kasar dan berjiwa sempit.
Perkembangan psikologi saat ini juga membuktikan betapa pentingnya bersikap lembut kepada anak-anak. Kemampuan orang tua dalam memahami keinginan anak, mengerti emosi apa yang sedang dirasakan anak, dan berusaha menyenangkan hati anak, berefek positif dalam memupuk kepribadian anak. Menjadikan anak sebagai seorang yang percaya diri karena merasa diterima oleh lingkungannya.
Semoga banyak orang tua yang semakin menyadari hal ini, agar banyak anak bisa berkembang sesuai dengan fitrahnya, ceria dan penuh percaya diri. Menjadi pribadi yang sehat ketika dewasa nanti.
Dame: jangan
chan: panggilan khas untuk anak-anak
Hifizah Nur
anggota flp Jepang