“Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zaman kamu.” (Hadis)
Lebih kurang 4 bulan saya (sudah) kembali menjadi mahasiswa. Dan lebih kurang empat bulan itupula saya merasakan bagaimana rasanya kembali benar-benar menjadi mahasiswa seutuhnya. Terlebih saya adalah mahasiswa istimewa. Istimewa dari segala-galanya!
Ya, istimewa dari segala usia. Angkatan tahun ajaran. Serta daya tangkap pula tentunya. Ironi memang bila mendengarnya. Dikarenakan saya mahasiswa yang terlambat kuliah kembali. Namun dalam hal ini—kuliah (menuntut ilmu) tak padang kata terlambat. Yang ada hanya belum ada kesempatan, peluang dan finansial yang mumpuni. Tapi lagi-lagi itu kembali pada masing-masing individu. Entah, ingin kembali ke bangku kuliah atau tidak itu soal pilihan hak masing-masing. Halnya hak mahasiswa ingin mendapatkan disiplin ilmu yang belum didapatinya dan belum dikuasainya.
Sayangnya apa yang diinginkan seorang mahasiswa belum tentu setali tiga uang dengan dosen. Atau, dengan seorang pendidik di bangku perkuliahan. Malah ini sebaliknya seorang dosen hanya memberi disiplin ilmu dan cara mendidiknya sesuai pengamatan dan pengalaman yang pernah dijalankan dan dialaminya sewaktu menjadi mahasiswa—dan tanpa melihat perkembangan dan zaman yang berlaku. Kalau sudah begitu mahasiswa hanya bisa gigit jari tanpa bisa membela apalagi memprotesnya.
Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari
Boleh jadi jika pepatah ini terus menerus berlarut-larut dijadikan patokan seorang mahasiswa saya rasa tentunya—menjadi mahasiswa itu sendiri tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab. Sehingga seorang filsuf Inggris John Locke menyatakan hati seorang anak (calon mahasiswa baru) merupakan tabul rasa mempunyai arti ; kertas kosong yang putih) dan tergantung apa yang akan diberikan kepadanya dan apa yang akan dituliskan kepadanya. Kalau sudah begitu mahasiswa halnya sama seperti kelinci percobaan saja.
Seperti yang pernah dialami oleh saya dan kawan saya serta mahasiswa lainnya sendiri dimana ketika ada beberapa mata kuliah tak dimengerti dan tak mudah dipahami. Ini bukan didahulukan malah sebalik dibiarkan. Malah sebaliknya ini secara tidak langsung dosen tersebut menganut asas MLDL :Masalah Lalu Derita Lu! Ibarat seperti keledai yang diberi buku bertumpuk-tumpuk tapi tak tahu untuk digunakan untuk apa. Bukan itu saja bahkan jika ada dosen—yang semacam ini jika mengajarkan hanya untuk mereka yang ber-IQ tinggi lebih didepankan dan lebih diagung-agungkan lalu bagi mereka yang ber-IQ setengah matang. Ma’af akan dianggap angin lalu. Halnya banyak yang dialami mahasiswa lainnya. Dan itulah manusia yang bernama dosen.
Benar juga apa yang dikatakan oleh kawan saya saat sedang share tentang dosen dan mata kuliah yang menyenangkan di kampus suatu hari kepada saya.
”Kalau sudah ada diperkuliahan (di dalam kelas) yang menjadi Tuhan saat itu adalah dosen. Lu ber-IQ jongkok atau nggak, mau nggak mau lu harus ikuti apa kata dosen. Walaupun lu protes atau nggak nilai ada di tangannya.”
Begitu kata kawan saya. Jika di kampus memang ada diantara dosen semacam itu. Lebih care mahasiswa yang ber-IQ tinggi ketimbang mahasiswa ber-IQ setengah matang. Tanpa memperhatikan mahasiswanya lagi. Itu mahasiswa mau mengerti atau tidak. EGP aja! Apalagi mahasiswa yang punya kapsitas otak berpentium 1. Beberapa kali harus belajar mengulang sampai dua atau tiga hari baru loading. Begitulah nasib mahasiswa yang lemah otak. Ber-IQ setengah matang!
Entahlah kalau setiap kampus ada dosen seperti itu bagaimana mahasiswanya maju. Apalagi mahasiswa macam yang saya katakan tadi di atas pastinya maju….Maju ditempat kalee! Kalau sudah begitu apa harus berlaku sebutan: namanya juga dosen kan manusia? Lha kalau sudah begitu mahasiswanya apa? Genderuwo? Bebegik? Atau, Kolor Ijo? Nah, kalau mahasiswa macam ber-IQ setengah matang apa dong namanya? []
(E-mail/FB: [email protected])
Ulujami—Jakarta, 10-01-10