Dua hari ini dua anggota keluarga saya sakit. Hari pertama isteri saya demam disertai panas tinggi. Setelah panasnya mereda, sehari kemudian giliran anak pertama saya yang terserang demam, panas dan batuk. Dan dalam dua hari itu pula, saya mengantar ke dokter yang sama, dokter yang sudah menjadi langganan keluarga kami. Seperti saat berobat sebelumnya, saya selalu meminta kwitansi pengobatan karena biasanya akan mendapat penggantian dari kantor.
Yang menarik, setiap kali hendak menuliskan nominal yang akan tertera di kwitansi, petugas klinik selalu bertanya, “Mau ditulis berapa di kwitansinya?”. Meski dia sudah tahu jawaban saya selalu sama, “Sesuai yang saya keluarkan”. Rupanya, petugas itu sebenarnya sudah tahu akan jawaban saya itu, namun ia hanya ingin tahu apakah saya akan berubah atau tetap pada pendirian saya. Bahwa saya tidak akan melebihkan bahkan satu sen pun nominal yang tertera di kwitansi untuk mendapatkan keuntungan. Ketika mendapat jawaban yang sama, wanita berusia limapuluh tahunan itu berujar, “Alhamdulillah masih lurus…”
Kesempatan berbuat dosa ternyata selalu terbuka di mana pun dan kapan pun, termasuk di saat kita menderita. Saat kita sakit, atau anggota keluarga sakit, kesempatan itu datang dengan cara seperti yang saya ceritakan di atas. Melalui kwitansi rumah sakit atau klinik, kita bisa saja mencantumkan nominal yang lebih dari sudah kita bayarkan. Kesempatan itu selalu saja ada dan bahkan ditawarkan, seperti yang selalu saya alami. Mungkin seandainya saya mengambil kesempatan itu dan meminta petugas klinik menuliskan nominalnya dua kali lipat dari yang saya bayarkan, kantor akan menggantinya tanpa banyak bertanya. Tetapi, apakah semudah itu saya menyebut angka yang saya inginkan? Akankah terasa ringan tangan saya saat menerima uang pengganti berobat dari kantor dalam jumlah yang tak sesuai?
Saya terus berpikir, seandainya saya mengambil kesempatan itu dan terus menerus mengulanginya setiap kali meminta kwitansi berobat. Dua kesalahan, kalau tidak bisa dibilang dosa, langsung tercipta secara bersamaan. Pertama, berdusta dengan nilai nominal yang tak semestinya. Kedua, merugikan perusahaan yang menurut saya masuk dalam kategori korupsi. Lantas, apa bedanya kita dengan para koruptor? Perbuatannya sama-sama memanipulasi angka-angka dan sama-sama merugikan perusahaan. Meski nilainya berbeda, namanya tetap sama; korupsi.
Tidak selesai sampai di dua kesalahan itu, perbuatan itu juga akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap diri ini. Pertama, jelas-jelas kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Kedua, karena Allah tidak suka dengan perbuatan kita, jangan-jangan Sang Maha Penyembuh itu tak berkenan memberikan kesembuhan. Tentu ini lebih mengerikan, karena dengan semakin seringnya anggota keluarga kita sakit lantaran tak sembuh-sembuh, jangan-jangan kita semakin sering memanfaatkan kesempatan ini secara terus menerus untuk memanipulasi angka.
Semestinya kita bersyukur, setiap kali sakit atau anggota keluarga yang sakit, masih ada biaya untuk ke dokter. Apakah pantas rasa syukur itu diwujudkan dengan cara memanipulasi nominal dalam kwitansi berobat kita? Di saat yang sama, di luar kita teramat banyak orang-orang bernasib tak seberuntung kita membiarkan penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya lantaran tak ada biaya untuk ke dokter. Tak sedikit yang harus menahan sakitnya hingga maut menjemput, lagi-lagi biaya menjadi kendala. Banyak anak-anak yang bertahun-tahun tergolek di tempat tidur, sementara orangtuanya tak mampu berbuat apa pun untuk kesembuhan si buah hati.
Sedangkan kita? Jangankan bersyukur, justru kita melakukan dosa di saat Allah menegur kita dengan sakit. Kwitansi itu hanya selembar kertas. Namun jika tertera nominal yang dimanipulasi di atasnya, selembar kertas itu akan membuat repot urusan kita di hadapan Allah kelak.***