Orangnya sederhana, polos, baik hati dan terkesan agak kaku. Begitulah kira-kira gambaran yang saya tangkap tentangnya. Tapi di balik kesederhanaan dan kepolosannya saya menemukan sesuatu yang -menurutku- istimewa. Jalan pikirannya yang kadang-kadang susah dimengerti oleh banyak orang. Belum lagi sikap keukeuhnya yang bikin sebagian orang malas meladeninya lama-lama.
Dia berbeda dari kebanyakan orang yang saya kenal. Tapi saya senang mendengar semua ceritanya. Justru dari situlah saya tahu dia memiliki keistimewaan.
Dari kisahnya saya tahu betapa kuat keinginannya mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Tapi ini tidak mudah baginya, sebab pendidikan formalnya tidak tinggi. Pengetahuan agamanya pun pas-pasan. Sementara suaminya seorang muallaf, dari lain bangsa dan negara pula. Suami masih belum bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama, keluhnya. Meski tidak sampai membuatnya putus asa, hal itu cukup membuatnya terganggu, kadang bahkan menyebabkan konflik.
Susah mengajak suaminya untuk lebih jauh mendalami agama tidak menyusutkan semangatnya untuk terus belajar. Dia bahkan tidak pernah lelah pergi menemani anaknya belajar mengaji dan fardhu ain. Seringkali bahkan menunggui selama berjam-jam. Walhasil, anak lelakinya yang baru berumur 7 tahun itupun sudah bisa membaca Qur’an dan menghafal beberapa surah pendek. Bahkan sudah hafal beberapa hadis dan juga tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu.
Anaknya itu memang berbeda dengan banyak anak yang lahir di negeri yang serba bebas ini. Biasanya anak-anak di sini dibebaskan memilih sendiri pelajaran apa yang mereka suka sebagai tambahan di samping pelajaran sekolah. Kebanyakan mereka tidak sempat lagi belajar mengaji karena waktunya sudah penuh dengan les-les lain seperti main piano, ballet atau matematika.
Saya ikut terharu ketika dengan senangnya dia bercerita bagaimana anaknya itu mengajak bapaknya ikut sholat berjamaah bersama mereka. Meskipun susah pada awalnya, tapi dia lumayan lega karena suaminya mau duduk bersama dan berdiam diri menyaksikan mereka sholat. Alasannya, sholat itu cukup dengan mengingat Allah saja. Tentu saja hal ini membuat si anak tidak diam saja. Anak kecil itupun mencoba mendebat bapaknya, yang tentu saja berakhir si kecil ngambek dan kesal sama bapaknya.
Dengan kesal dia bilang ke mamanya, "Ah, sudahlah Ma. Tak usah pedulilah dengan bapak itu." Dijawabnya, "Sabar Nak, tidak boleh begitu. Kita harus berusaha terus agar bapak mau sholat dan sebagainya. Kamu sayang kan sama bapak? Coba bayangkan, jika kamu kelak masuk surga terus melihat bapak kamu dilempar ke neraka. Sedih gak kamu? Kamu pasti menangis. Karena itu jangan pernah menyerah. Kita usahakan dan doakan terus agar bapak terbuka hatinya dan mendapat hidayah."
Tidak jarang juga percekcokan terjadi antara dirinya dan suaminya jika kesabarannya hilang. Bahkan pernah sampai putus asa dan timbul keinginan untuk berpisah dari suaminya. Tapi ketika disadarinya bahwa suaminya itu adalah anugerah sekaligus tanggungjawab baginya, diurungkannya niatnya. Batapa tidak, suaminya telah bersedia menikahinya dan masuk Islam karenanya adalah sesuatu yang sangat berharga baginya. Meskipun tidak sedikit dari keluarga besarnya yang menentang pernikahan itu. Mereka kebanyakan khawatir kalau dirinya yang akan ‘terbawa’ oleh suaminya.
Bercerai bukanlah hal yang sulit di negeri ini. Asal ada alasan, si isteri bisa saja dengan mudah menggugat cerai suaminya. Dan meskipun sudah bercerai, isteri tidak perlu khawatir tentang biaya hidupnya kelak. Karena bila bercerai menurut hukum di Jerman, suami tetap berkewajiban untuk membiayai isteri begitu juga anak-anaknya hingga mereka berumur 18 tahun. Tapi saran dari sebagian temannya agar bercerai saja tidak dipedulikannya.
Suatu waktu dengan suara lirih dia mengatakan padaku, "Saya menyayangi suami saya. Saya ingin pernikahan kami tidak hanya di dunia saja. Saya berharap terus bersamanya hingga ke syurga kelak. Mohon doanya ya…"
Mungkinkah segala yang diimpikannya terkabul? Sulit baginya membayangkannya. Tapi dia percaya bahwa Allah mencintai dirinya dan keluarganya. Kehamilan keduanya setelah kelahiran anak pertamanya tujuh tahun lalu menurutnya adalah bukti kasih sayang Allah kepada keluarganya. Dan sebagai penyemangat baginya untuk terus bersyukur dan berjuang di jalan-Nya.
Frankfurt, 9 Februari 2007