Di sini, suatu hari Jum’at di masjid ini, persis di atas tempatku berpijak kini, lima belas tahun silam….
Dua hari sudah perut tak terisi. Lapar melilit. Lemas rasanya. Lunglai. Kulit pun serasa lepas dari tulangnya. Ketika berjalan, kedua kaki seperti tak lagi kuat menahan beban tubuh yang lain. Terhuyung. Cenderung pening. Sesekali dunia seperti berputar.
Segala upaya rasanya telah kucoba. Tetapi, nihil. Bagaimanapun, aku hanyalah mahasiswa ingusan yang baru menginjak semester tiga di kampus ini. Bagaimanapun, dua semester pertama adalah masa penyesuaian diri yang luar biasa bagiku. Semestinya aku lebih berkonsentrasi di kampus. Kuliah. Karena jika tidak fokus, dua semester pertama adalah masa kritis, yang jika tidak lulus dengan nilai minimal, DO mengancam.
Namun, sejak semester dua sudah kuputuskan untuk tidak lagi membebani orang tua lebih berat lagi. Biarlah mereka memikirkan ke-8 adikku yang lain, yang juga masih bersekolah. Biarlah aku menghidupi diriku sendiri di Surabaya ini. Akhirnya aku harus bergerak, bekerja, agar bisa kuliah. Tak kurang jualan tiket seminar, mengajar komputer anak-anak SMP, dan mengajar kursus komputer di kampus sudah pernah aku lakukan. Juga membantu mengetik skripsi, membuat program kecil-kecilan. Dan begitulah yang terjadi; akhir semester dua aku dikeluarkan dari Asrama Mahasiswa karena menunggak biaya sewa hingga 3 bulan lamanya.
Akhirnya aku nebeng tinggal di lab komputer jurusanku. Tak bayar sepeserpun. Tapi aku harus tidur di kolong meja komputer, atau di atas kursi berjajar. Seringkali sendirian. Jangan tanya lagi soal mandi, cuci, jemur pakaian.
Dan dua hari telah berselang. Tak sepotong makanan pun masuk ke perutku. Aku tak tahu lagi, apa yang bisa kuperbuat untuk mendapatkan sedikit uang untuk mengisi perut. Meminta bantuan teman, mungkin bisa kulakukan. Tapi, aku tak punya sedikit keberanian.
Maka, selepas salat Jum’at, dalam sebuah sujud salat sunah ini aku bermohon dengan permohonan yang panjang dan lugas, “Ya, Allah. Dua hari hambamu belum menyentuh nasi. Dua hari hambamu bertahan dan rasanya tak kuat lagi. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya kepada-Mu aku bermohon. Berikanlah jalan untuk mendapatkan sedikit dari rizqi-Mu untuk meneruskan hidup ini. Secepat mungkin, Ya Allah. Secepat mungkin.”
Ketika kemudian bangkit dari sujud dan salam, rasanya sekonyong-konyong aku mendengar sebuah panggilan. Panggilan pada diriku.
“Bahtiar!”
Aku menoleh. Terlihat Mas Iwan Syarif, kakak angkatanku di jurusan, mendekatiku dari arah belakang.
“Ya, Mas,” jawabku.
“Kamu bisa bantu temanku mengetik skripsinya? Nggak banyak kok. Paling 70 halaman saja.”
“Ya, Mas!” jawabku seketika. “Bisa! Mana naskahnya?”
Mas Iwan segera mengulurkan segepok tulisan tangan, beberapa rumus, dan gambar-gambar. Aku menerimanya dengan tangan gemetaran.
“Besok insya Allah sudah selesai, Mas.”
Aku langsung tersungkur. Tangisku tak tertahan lagi. Betapa doaku langsung dijawab-Nya. Seketika!
***
Tiga orang pemuda sedang bepergian. Mereka tertahan oleh hujan dan berlindung di dalam gua di sebuah gunung. Sebongkah besar batu tiba-tiba jatuh menutupi mulut gua tersebut. Mereka berkata satu sama lain. “Pikirkanlah kebaikan yang pernah engkau lakukan di jalan Allah dan berdo’alah kepada-Nya dengan kebaikan itu agar Allah membebaskanmu dari kesulitan yang kau hadapi.”
Pemuda yang pertama pun melantun do’a, “Ya Allah! Aku memiliki orangtua yang telah renta. Aku juga memiliki anak-anak yang masih kecil. Aku memberikan susu yang aku miliki kepada kedua orangtuaku terlebih dulu sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari tempat merumput (bagi domba-dombaku), dan tidak kembali ke rumah hingga larut malam. Aku menemukan kedua orangtuaku sudah terlelap. Aku lalu mengisi persediaan makanan dengan susu seperti biasanya dan membawa bejana susu tersebut serta meletakkannya di atas kepala mereka. Aku tak ingin membangunkan mereka dari tidurnya. Aku pun tidak ingin memberikan susu tersebut kepada anak-anakku sebelum orangtuaku, meski anak-anakku sedang menangis (kelaparan) di bawah kakiku. Maka keadaanku dan mereka tersebut berlanjut sampai dini hari. Ya Allah! Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata hanya karena Engkau, maka tolong bukakan sebuah lubang agar kami dapat melihat langit.”
Maka Allah membukakan untuk mereka sebuah lubang yang dengannya mereka dapat melihat langit.
Kemudian pemuda yang kedua berdo’a, “Ya Allah! Aku memiliki seorang saudara sepupu yang aku cintai seperti halnya gairah seorang pria mencintai seorang wanita. Aku telah mencoba merayunya tetapi ia menolak kecuali aku membayarnya sebanyak seratus dinar. Maka aku pun bekerja keras sampai dapat mengumpulkan seratus dinar dan aku pergi menemuinya dengan uang itu. Namun ketika aku duduk di antara kedua kakinya, ia berkata: ‘Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah! Jangan merusakku kecuali dengan cara yang sah (dengan perkawinan)!’ Maka aku pun meninggalkannya. Ya Allah! Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan demi Engkau semata, maka biarkanlah batu itu bergerak sedikit lagi untuk mendapatkan lubang yang lebih besar.
Maka Allah menggeser batu tersebut hingga terbuka lubang yang lebih besar.
Dan pemuda yang ketiga berkata, “Ya Allah! Aku mempekerjakan seorang budak dengan upah sebanding dengan satu faraq beras. Ketika ia telah selesai dengan tugasnya, ia meminta upah. Namun ketika aku memberikan upah kepadanya, ia menolak untuk menerimanya. Kemudian aku tetap memberikan beras tersebut kepadanya (beberapa kali) hingga aku dapat membeli dengan harga hasil produksi, beberapa ekor sapi dan gembalanya. Setelah itu, budak tersebut datang kepadaku dan berkata: ‘Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah dan jangan berbuat tidak adil kepadaku dan berikanlah upahku.’ Aku berkata padanya: ‘Pergilah dan ambillah sapi-sapi itu beserta gembalanya.’ Maka ia pun mengambilnya dan pergi. Maka, Ya Allah! Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata demi Engkau, maka geserlah bagian yang tersisa dari batu tersebut.”
Maka Allah menggeser lagi batu itu hingga mereka bisa bebas keluar dari gua tersebut.
Doa mereka dijawab seketika karena simpanan kebaikan mereka.
***
Hari ini, Jum’at, di atas tempatku berpijak yang sama, di masjid yang sama ini, lima belas tahun kemudian…
Aku mengenang hari itu. Aku mengenang detik yang menggetarkan dalam perjalanan hidupku itu. Sebuah momen, yang rasanya saat itu Dia begitu dekat denganku. Begitu terasa.
Air mataku berlinangan. Menetes perlahan di sela khutbah Jum’at Pak Daniel M. Rosyid di mimbar depan. Bukan karena Dia serasa begitu dekat denganku, sedekat dulu. Namun justru sebaliknya, rasanya kini akulah yang semakin jauh dari-Nya.
Hingga kini, aku belum pernah bisa mengulang do’a sebagaimana lima belas tahun yang lalu itu. Belum pernah kusetepekur ketika itu. Rasanya betul-betul tak ada tempat bergantung lagi kecuali pada-Nya.
Tak seperti ketiga pemuda di dalam goa itu, barangkali hingga kini aku tak memiliki barang sedikit simpanan kebaikan untuk sekadar bisa mengetuk pintu-Nya.
***
~ Mengenang kembali kejadian 15 tahun yang lalu, di Masjid Manarul Ilmi ITS Ramadan hari ke-6.
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com