Eramuslim.com – Kita hanya bisa menilai seseorang dari penampakan lahiriahnya. Sebab, menerawang hati sungguh pekerjaan yang amat muskil dilakukan. Oleh karena itu, sebaiknya jangan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin berkata, “Menjalankan hukum-hukum terhadap manusia menurut lahiriahnya. Adapun keadaan hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”
Kisah berikut ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam menghakimi orang lain. Waktu itu, Nabi Muhammad SAW sudah berhijrah dari Makkah ke Madinah, yang dahulunya bernama Yastrib. Akan tetapi, kaum musyrikin Quraisy masih saja terus merongrong ketenteraman Muslimin.
Apalagi sesudah kekalahan orang-orang kafir dalam Perang Badar pada tahun kedua hijriyah. Mereka menaruh dendam kesumat pada Rasulullah SAW dan para sahabat. Kira-kira satu tahun kemudian, kesempatan untuk melampiaskan kebencian itu akhirnya tiba.
Perang Uhud menjadi salah satu bukti nyata provokasi orang-orang musyrik yang tidak pernah ridha akan syiar Islam. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Muslimin berjumlah sekitar 700 orang. Rasulullah SAW memimpin langsung mereka, baik selama penyusunan strategi maupun di medan jihad. Sementara itu, kaum musyrikin yang berangkat dari Makkah berjumlah lebih banyak. Tidak kurang dari 3.000 orang.
“Kalah” jumlah tak berarti surutnya semangat jihad Muslimin. Bahkan, tekad para sahabat Nabi SAW semakin kuat untuk melawan musuh-musuh Allah. Mati syahid pun menjadi sebuah kerinduan. Melindungi Rasulullah SAW menjadi sebuah dorongan hati yang teramat kuat.