Dag..dig..dug..dag..dig..dug
Mungkin seperti itu irama jantung Tejo ketika melihat Surti yang seorang akhwat kembang desa. Tejo memandang Surti dari arah kejauhan namun sangat jelas tampak didepan mata. Surti yang memakai jilbab putih dengan terusan gamisnya memang telihat begitu jelita. Tejo pun serasa hendak ingin menyapanya. Tapi apa daya tangan tak kuasa.
Hari itu Tejo gelisah luar biasa. Ia memikirkan sesuatu yang mungkin baginya sangat berharga. Sesuatu yang tak ternilai harganya melebihi dunia dan seisinya. Tejo meragu terhadap perasaan yang dialaminya. Diam-diam ternyata ia sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta adalah hal biasa, begitulah kata teman-temannya sewaktu SMA. Tapi tidak kata Tejo dalam batinnya. Ia menyadari statusnya sebagai seorang santri yang faham akan agama. Untuk sesaat Tejo teringat ucapan Tie Pat Kay murid Tom Sang Chong yang seorang pengikut Budha. ”Sejak dahulu beginilah cinta deritanya tiada pernah berkesudah”.
Tanpa disangka Ukh Surti pun merasakan hal yang sama. Sekejap terlihat luar biasa. Lantaran apa Tejo bisa ia suka. Padahal Tejo hanyalah seorang aktivis kurus biasa. Paling-paling hanya kaca mata yang menambah kesan kepintarannya. Ia pun tak kuasa menahan perasaannya. Perasaan yang ingin berjalan berdua, bertatap muka, serta makan sepiring berdua dengan Tejo sang pujaannya. Batin Surti pun bergulat dalam alam bawah sadarnya. Surti berpendapat bahwa hal itu tak pantas dilakukannya. Mengingat ia adalah seorang aktivis dakwah. Tak terasa bibirnya pun mengalunkan sebuah lagu milik The Virgin dari Republik Cinta. ”Rasa ini sungguh tak wajar namun kuingin tetap bersama dia, untuk selaaaamaaaaanyaaaa”.
Mereka berdua pun mencoba untuk membuat sebuah benteng pertahanan. Sebuah benteng yang dirancang untuk tahan terhadap godaan syaithan. Pertahanan tersebut disusun oleh batu-batu keimanan, dihiasi tanaman kesabaran. Untuk sementara waktu dalam satu, dua, dan tiga bulan. Perasaan itu Alhamdulillah dapat tertahankan.
Sang waktu pun perlahan mengambil peranannya. Benteng yang tampak kokoh itu pun mulai berlangsung proses perusakannya. Tak disangka-sangka hanya karena hujan SMS dan terik status Facebook milik mereka. Keterlibatan Tejo dan Surti yang memang dalam satu wasilah. Menyebabkan mereka harus saling berkomunikasi dengan alasan dakwah.
Hampir tiap hari kedua pasangan ini mengumbar tausiyah. Dari mulai masalah aqidah sampai masalah siyasah. Belakangan topik ini sudah mulai ditinggalkan, berganti dengan masalah tugas kuliah sampai dengan hal-hal yang gak ilmiah. Percaya atau tidak tapi begitulah kenyataannya.
Akibat komunikasi yang begitu gencar. Maka benteng pertahanan itupun buyar. Rutinitas sunah harian yang biasa mereka masing-masing jalani pun pudar. Tergantikan komunikasi yang terlihat begitu lancar. Huh, cinta cinta kenapa kau membuat orang pada modar.
Al-Quran mulai tergantikan posisinya dengan deretan novel-novel cinta. Puasa sunnah perlahan mulai ditinggalkannya. Infaq serta shodaqouh sudah tergantikan dengan biaya pulsa. Sholat sunnah qiyamulail dan sholat dhuha pun menjadi korban selanjutnya.
Tejo pun kembali membatin dalam pikirannya. Kali ini sidang dalam pikirannya telah disusupi oleh setan yang berpura-pura menjadi hakimnya. Maka sang hakim pun memutuskan bahwa hal itu biasa-biasa saja. Toh, Tejo dan Surti adalah sepasang manusia biasa. Perasaan benci, suka, kangen sudah lumrah bagi kebanyakan para remaja yang sedang tumbuh dewasa.
Sidang serupa dialami oleh Surti didalam hatinya. Keputusannya pun sama. Entah apakah persidangan dipimpin oleh setan yang serupa. Hanya Allah yang tahu jawabannya.
Mereka berdua memiliki sebuah anggapan. Ibarat anak kecil yang mencoba-coba bermain diselokan. Maka apabila sudah ada kotoran dalam pakaian. Apa salahnya kalau mereka berenang sekalian. Tapi sayangnya mereka terlalu asyik berenang di dalam selokan. Sampai-sampai lupa mandi dan lupa makan.
Karna sudah terlanjur terbongkar. Mereka berdua pun sepakat untuk keluar. Mereka mulai menjauhi teman-temannya, serta murobbi sang pengajar. Bagi mereka dunia hanya milik mereka berdua, sedangkan yang lain hanya numpang dan harus membayar.
Surti dan Tejo pun lompat keluar dari Kapal sarana dakwahnya. Mereka berdua berenang menuju pulau impian yang entah ada disebelah mana. Untuk sesaat mereka merasakan segarnya air samudra. Namun mereka lupa, bahwa dalam birunya samudra terdapat banyak ikan yang siap memangsa. Mereka berdua pun akhirnya menjadi makanan pembuka. Bagi para ikan hiu baik yang muda maupun yang sudah bapak-bapak.
***
Hufft, begitulah cinta. Benarlah ungkapan ulama bahwa cinta itu dapat membuat tuli serta buta. Cinta yang dialami mereka berdua adalah cinta yang salah kaprah. Mereka hanya beranggapan bahwa cinta itu hanya sekedar memberi dan menerima. Tapi mereka sejatinya telah lupa. Lupa bahwasannya dalam mencinta juga ada proses menjaga. Menjaga dari hal-hal yang dibenci Allah sang Pencipta. Menjaga dari tiap celah peluang masuknya setan sang penggoda. Seorang Ibu demi menjaga anaknya ia mampu dan tega untuk berkata tidak. Tatkala sang anak meminta pisau sebagai mainannya.
Tidak layak dinamakan cinta jika seorang wanita memberikan hangat keningnya kepada laki-laki non mahram yang ia sukai.
Tidak layak dinamakan cinta jika seorang laki-laki menerima lembutnya belaian tangan dari sang perempun non mahram yang ia kasihi.
Seorang laki-laki sejati adalah lelaki yang tahu diri. Ia tak akan tega menyeret sang wanita ke arah proses ”bunuh diri”. Ya, karna cinta, sejatinya harus dilandasi. Dengan iman, takwa serta pengetahuan diri. Pengetahuan bahwa diri ini sebetulnya hanyalah abdi. Abdi bagi, untuk dan kepada Allah yang Maha Pemberi.
Dan seorang wanita hebat adalah wanita yang terhormat. Terhormat bukan lantaran hanya karna kebaikan yang ia perbuat. Akan tetapi terhormat karna seringnya kesalahan yang ia lakukan langsung diiringi dengan perbuatan taubat. Tentu taubatan yang nasuha bukan sekedar taubat saus tomat.
Benarlah nasihat dari seorang teman karib. Cinta itu Putih, Putih itu Panu, Sedangkan Panu itu Penyakit.
Wa Allahu A’lam pada akhirnya saya kembalikan semua hal ini kepada Allah sang Maha Pecinta (Penyayang)..