Sore itu kembali Ranid berpetualang di belantara kota Jakarta. Di tengah padatnya arus lalu lintas Jakarta. Di tengah keringnya kota Jakarta akibat gaya hidup hedonisme dari beberapa kalau tidak mau dikatakan sebagian besar penduduknya, dan di sela derasnya hujan keringat para kaum urban yang mencoba peruntungan di Jakarta.
Seperti biasanya, sore hari adalah aktivitasnya untuk menuntut ilmu di Ma’had Al Hikam salah satu Ma’had Lughoh yang ada di Jakarta. Ranid mengambil kuliah bahasa Arab, suatu jurusan yang mungkin dipandang kurang seksi bagi mata-mata yang memandangnya demikian.
Terkait dengan hal tersebut Ranid sering ditanya oleh manusia-manusia di sekeliling kehidupannya “Emangnya mau kerja apa?” Ranid pun sedikit bercanda menanggapi pertanyaan yang tendesius tersebut. “Yaa, minimal jadi TKI–lah lumayan kan bayarannya dollar dan kerjanya di luar negeri.”
Ranid pun sampai di kampus sederhananya. Dalam keadaan normal butuh kurang lebih ½ jam waktu yang ditempuh dari rumahnya menuju tempat ia menuntut ilmu. Akan tetapi berhubung hujan yang turun cukup lebat maka waktu yang ditempuh, Ranid ngaret (tertunda) ½ jam menjadi kurang lebih 1 jam perjalanan. Jam menunjukkan tepat pukul 17.30 segera Ranid menaiki tangga dan sejurus kemudian mendarat di kelasnya.
Hari itu Ranid wa ashdiqoihi (dkk) akan belajar ilmu Qowaidh Lughoh (Kaidah Bahasa). Sang dosen bernama Fadhlansyah biasa dipanggil ustadz Fadhlan. Beliau lulusan S1 syariah LIPIA.
“Assalamualaykum wr wb,” ucap Ranid kepada hadhirin di ruang kelas kawan-kawannya dan termasuk ustadz Fadhlan.
“Walaykum salam wr wb,” jawab ustadz Fadhlan.
“Limadza anta muta akhir al yawm (Kenapa anda terlambat hari ini) ?” tanya ustadz Fadhlan
“afwan jayyid Jiddan, Al mathooru ghoziir (hujannya lebat) stadz (ustadz) idzan (jadi) saya neduh dulu di halte,” jawab Ranid.
Mendengar hal tersebut ustadz Fadhlan hanya tersenyum mendengarkan celotehan Ranid.
Segera Ranid duduk di bangku dan menyimak apa yang akan disampaikan oleh ustadz Fadhlan.
“Dalam Al Quran surat an nahl ayat 103 Allah berfirman wa hadza lisaanun ‘arobiyyun mubiin, Al Quran ini adalah dalam bahasa Arab yang jelas. Di ayat tersebut disebutkan lisaanun ‘arobiyyun yang artinya bahasa arab. Dan suatu istilah yang diterangkan dalam Al Quran selalu mempunyai makna yang sangat mendalam jikalau kita mau telusuri,” ucap ustadz Fadhlan mengawali pembukaannya.
Masih ustadz Fadhlan menyambung pembicaraannya “Dalam hadits riwayat Thobroni diriwayatkan Rasul SAW bersabda cintailah bahasa arab karna 3 hal, karna aku adalah orang arab, bahwa Al Quran berbahasa arab dan bahasa penghuni surga adalah bahasa arab.”
Sementara ustadz Fadhlan melanjutkan tausiyahnya Ranid wa ashdiqoihi sibuk menyimak paparan dari ustadz Fadhlan. Yang menurut mereka sosok ustadz tersebut adalah figur yang tepat dalam diskusi dunia per-bahasa arab-an.
Masih ustadz Fadhlan melanjutkan motivasinya.
“Lebih lanjut Sayydinia ‘Umar ibn Khottob pernah berkata “Bersemangatlah dalam mempelajari bahasa Arab, Karena sesungguhnya bahasa arab adalah bagian dari agamamu.”
“Maka dari itu bahasa arab merupakan kewajiban bukan sekedar pilihan,” ucap ustadz Fadhlan.
ustadz Fadhlan melanjutkan perkataannya “Imam Ibnu At Taimiyyah dalam salah satu perkatannya menyebutkan bahwa belajar bahasa arab merupakan kewajiban bagi tiap muslim. Bagaimana tidak wajib karna 2 petunjuk seorang muslim Al Quran dan As sunnah ber-bahasa arab. Dan bagaimana mungkin seorang muslim dapat memahami keduanya jika ia tidak bisa berbahasa Arab.”
“Syaikh Hasan Al Bana pernah berwasiat bahwa pengucapan bahasa arab walaupun secara sederhana misal ana, antum, afwan syukron dst kalau-lah hal tersebut dalam rangka memperlancar pengucapan bahasa arab untuk kemudian dalam rangka mempelajari al Quran, maka Insya Allah akan diganjar pahala oleh Allah ta’ala.”
“Bahasa arab bahasa yang sangat indah, unik, dan kaya jauh jika dibandingkan dengan bahasa yang lain semisal Inggris, Belanda, Perancis ataupun Indonesia. Sebagai satu contoh, Pedang dalam bahasa arab mempunyai 50 istilah yang berbeda-beda. Bahasa arab merupakan bahasa yang hidup. Begitu banyak kosa kata yang berbeda akan tetapi menunjukkan arti yang sama. Rumah dalam bahasa arab bisa disebut baytun, daarun, manziilun, sakaanun. Kalau seandaikan bahasa-bahasa tadi lebih indah dari bahasa arab maka mungkin Allah akan mengambil salah satu dari bahasa tersebut untuk dijadikan al Quran. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Sedikitnya ada dua hal yang sangat sederhana yang dapat kita ambil pengajaran dari bahasa arab tersebut.”
“Dalam bahasa arab ada kaidah na’at wa man’ut, sifat harus mengikuti yang disifatkan misalkan ana (saya) thoolibun (mahasiswa) jadiidun (baru). Karna ‘tholibun’ merupakan mudzakkar (kt yang menerangkan laki-laki) maka sifatnya harus mudzakkar juga yakni ‘jadiidun’ bukannya ‘jadiidatun’ (baru) yang merupakan muannats (kt yang menerangkan perempuan). Kalau dia ismnya (kt benda) mudzakkar maka sifatnya harus mudzakkar, dan jika ismnya muannats maka sifatnya harus muannats aydhon (juga). Dan jika kalimat tadi kita ganti dengan yang muannats maka akan berubah menjadi ‘ana thoolibatun jadiidatun’ saya mahasiswi baru jika dalam bahasa Indonesianya. Dan kaidah ini tidak boleh tertukar!”
Berbeda dengan bahasa Indonesia yang tidak mengenal pembagian “jenis kelamin” kata, misal saya mahasiswa baru, dan saya mahasiswi baru. Lihat gak ada bedanya kan?? Kesemuanya sama, hal ini menunjukkan “miskinnya” (ustadz Fadhlan menggerakkan jarinya seperti tanda kutip) bahasa kita.”
“Maksudnya apa ikhwan sekalian?!” ustadz Fadhlan mencoba membuka ruang berdiskusi dengan para mahasiswanya.
Semua tampak diam termasuk Ranid yang masih sibuk meneropong apa yang akan dikatakan oleh gurunya.
ustadz Fadhlan kembali melanjutkan.
“Hal ini dapat kita tarik dalam kehidupan sehari-hari kita, bahwasannya seorang mudzakkar atau laki-laki tidak boleh memakai sifat perempuan. Begitu pun sebaliknya. Baik itu sifat maupun aksesorisnya Dalam bahasa arab hal itu sudah di terapkan sedemikian rapihnya. Laki-laki haruslah tetap menjadi laki-laki sejati tidak boleh ia condong atau bahkan berubah menjadi atau memiliki sifat feminim atau sifat kemayu layaknya seorang perempuan didalam dirinya. Hal itu juga berlaku sebaliknya. Bahkan dalam hadits riwayat yang mashyur dikatakan salah satu ciri-ciri kiamat adalah banyaknya laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
“Masih terkait sifat mengikuti yang disifatkan. Hal kedua yang dapat kita ambil adalah ketegasan dalam hal ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan). Kaidah bahasa arab dengan tegas memisahkan antara ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) keduanya tidak boleh bercampur baur. Seperti tadi yang saya katakan ‘tholibun jadiidun’ tholibun-nya mudzakkar jadiidun-nya juga mudzakkar. Tidak boleh ‘tholibun jadiidatun’ tholibun-nya mudzakkar sedangkan jadiidatun-nya muannats.”
“Terbukti bahwa laki-laki memang harus dipisah dengan wanita. Kasus pelecehan di Bus Trans Jakarta misalnya marak terjadi karna bercampur baurnya antara pria dan wanita. Malah belakangan iniu ada usul untuk membuat Bus khusus penumpang wanita untuk mengatasi permasalahan tersebut. Karna apabila ada percampur bauran laki-laki dan perempuan akan menimbulkan potensi maksiat yang luar biasa. Bukankah sering kita mendengar bahwa jika ada laki-laki dan perempuan yang berdekatan maka yang ketiga adalah setan?”
“Wa Allahu a’lam bi showab, berhubung sudah adzan maghrib. mungkin sedikit itu yang dapat saya sampaikan untuk sekedar memotivasi antum agar lebih giat dan rajin dalam proses belajar bahasa arab. Nuwashilu ba’da sholaah (kita sambung setelah sholat), asalamualaykum wr wb.”
Alhamdulillah gumam Ranid dalam hatinya bertambah lagi satu ilmu baru dalam memori otaknya. Mendengar hal tersebut ia menjadi lebih pede (percaya diri) dan bertambah semangat jika ia bertemu dengan teman-temannya yang lain jika kembali ditanya tentang kenapa ia mengambil prodi bahasa Arab.