Suatu malam yang gelap dikarenakan mendungnya awan. Di sebuah rumah yang terlihat begitu sederhana sekaligus sedikit manawan. Terdapatlah satu buah ruangan. Sebuah ruang tempat menumpahkan pemikiran.
Sang sohibul ruang bernama Ranid ia adalah seorang bloggerwan. Malam itu ia kembali untuk menelurkan sebuah tulisan. Yang ia harap dapat bermanfaat bagi para saudara serta kawan.
Tengah asik Ranid mengutak atik keyboard komputer sederhananya. Sebuah komputer yang telah lapuk dimakan usia. Tak terasa 5 tahun sudah ia komputer tersebut menemani kehidupannya.
Kini komputernya sudah sering sakit-sakitan. Sudah mulai lambat dalam berpikir dalam hal menjalankan kewajiban. Akan tetapi ala kuli hal, semua itu tidaklah menjadi halangan untuk Ranid dalam rangka meramaikan jagad per-blog-an.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tiba-tiba ada sesuatu yang hinggap di lehernya Ranid secara diam-diam. Ranid menggerakkan tangannya untuk mengetahui makhluk apakah gerangan. Setelah dilihat dan diamati ternyata ia adalah sesosok semut besar yang berwarna hitam.
Dengan kedua jarinya Ranid menjepit badan sang terdakwa. ”Auw” teriak Ranid ketika ternyata sang semut telah menggigit jari tengahnya. Sang Semut pun lepas, sementara di sisi lain Ranid masih merasakan kesakitan yang teramat luar biasa.
Ranid pun kalap, sang semut terdakwa diputuskan bersalah karena tindak kejahatannya. Hukuman mati pun telah diputuskan kepada dirinya. ”Dipites” adalah pilihan utama dalam proses eksekusinya. Terlihat dari kedua mata Ranid bahwa sang terdakwa berusaha kabur dari kejaran dirinya. Hup, dengan sergap kedua jari Ranid kembali menangkap semut kecil yang kini tak berdaya. Dush, kedua jari Ranid pun menjadi sarana pencabutan nyawanya. Innalillah, akhirnya Semut hitam itu pun mendadak sudah tak bernyawa.
Melihat jasad sang semut yang terkulai lemas dan agak sedikit hancur. Ranid pun mendadak menjadi menyesal atas tindakannya yang sudah terlanjur. Ranid pun terngiang-ngiang dalam pikirannya atas berbagai dosanya dimasa lampau. Dosa-dosa yang tanpa ampun telah membunuh ratusan nyamuk satu-persatu. Hanya karna sang nyamuk dianggap telah mengganggu berbagai kegiatannya yang telah lalu.
Bahkan karna saking kesalnya terhadap nyamuk. Ia dengan begitu mudahnya membunuh nyamuk-nyamuk yang sekedar lewat disekitar bulu kuduk Padahal mungkin saat itu nyamuk-nyamuk tersebut hanya sekedar mampir untuk duduk-duduk. Seperti tentara zionis Israel yang tengah mabuk. Ia menyemprotkan senjata kimia (obat nyamuk cair) ke kawanan nyamuk. Amat mirip terhadap apa yang dilakukan oleh tentara zionis Israel di Palestina kepada seluruh penduduk
Ranid pun segera beristighfar memohon ampun kepada Allah Tuhannya. Ia menyadari bahwa semua makhluk Allah berhak untuk hidup di atas bumiNya. Ia pun merenungi, seandainya ia adalah semutnya sedangkan Allah menjadi dirinya. Tentu tak terbayangkan olehnya akan nasibnya. "..tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas [112] : 4)
Ranid begitu sadar terhadap besarnya dosa yang telah ia lakukan. Bahwa begitu dalamnya atas maksiat yang ia pernah kerjakan. Atas begitu tingginya kedurhakaan yang telah ia praktekan. Dan begitu beratnya kekhilafan yang telah ia amalkan. Tapi, Allah sang maha Rohman dan Rohim sampai saat ini masih saja belum ”memites” dirinya atas segala kesalahan dan apa-apa yang pernah ia kerjakan.
Ranid sadar bahwa ia sebagai makhluknya sangat sering dan berulang kali telah ”menggigit” bahkan mungkin hendak ”memakan” Allah Ta’ala. Akan tetapi Allah SWT masih saja sayang terhadap dirinya. Sampai saat ini bahkan Allah sangat-sangat menjaganya. Baik dalam hal kebutuhan hidup ataupun dalam hal menjaga aibnya.
Tak sadar mata Ranid pun berkaca-kaca. Ia teringat akan dosa-dosanya sementara Allah dengan kasihsayangNya masih saja terus-menerus dan tak akan pernah putus dilimpahkan kepada dirinya.
Ranid merenungi kembali kata-kata seorang teman yang pernah berkata kepadanya. ”Limpahan rahmatNya mengalahkan matahari yang terus menyinari seluruh penduduk bumi. Dari awal pagi sampai di waktu sore hari. Walaupun terkadang ia dicaci, oleh sebagian anak negeri. Kaih sayangNya melebihi kasih sayang seorang Ibu terhadap darah dagingnya sendiri. Walau terlalu amat sering ia didurhakai.”
”Sungguh terlalu besar kasih sayang Allah terhadap makhlukNya di dalam segala realitas. Dan hal tersebut tidak akan pernah dan tidak akan mungkin cukup untuk dituliskan diatas sebuah kertas. Untuk dilukiskan ke sebuah kanvas. Untuk dibayangkan seluas khayal yang sangat terbatas.”
”Ya Allah bagaimana aku dapat bersyukur kepadaMu, sedangkan rasa syukur itu sendiri merupakan salah satu nikmat dari sekian banyak nikmatMu ” batin Ranid dalam dirinya.
(beberapa saat kemudian)
”Alhamdulillah Allah beda dengan kita.”
Tulis Ranid dalam status terbarunya.
[email protected]
mukminsehat.multiply.com