Aku termangu di teras rumah. Nggak terasa Ramadhan ini sudah memasuki babak yang sangat menentukan yaitu 10 hari terakhir. Beberapa orang sudah tidak bisa masuk babak final ini. Tapi bukan itu yang membuatku risau, bukan , bukan mereka. Justru terhadap diri sendiri aku semakin risau. Benarkah sebentar lagi aku bisa mencapai kemenangan itu?
Aku berusaha mengorek informasi dari hati dan nafsuku sedetail-detailnya. Agar tidak salah atau over estimate.
Aku : “ Hei Hati, aku penasaran dengan puasaku selama ini, mulai dari 10 hari pertama, 10 hari kedua, atau bahkan di hari – hari akhir ini ?”
Hati: “ Entahlah, kayaknya perlu banyak koreksi untuk puasamu tahun ini, bahkan juga puasa sebelumnya. Coba kau tanyakan pada Nafsu, barangkali dia lebih bisa menjawab persoalan ini.”
Aku : “ Hai Nafsu, selama ini aku berusaha mengekangmu dan sering kali juga mengikutimu, apa pendapatmu tentang puasaku kali ini?’”
Seperti biasa, nafsu segera menjawab dengan lugas, cepat tanpa pikir panjang. Karena memang begitulah sifatnya.
Nafsu: “ Apa yang kamu risaukan, perintah sudah kamu jalankan, selama ini kamu sudah menahan lapar dan dahaga seharian. Mengekangku sedemikian rupa sehingga yang sebelumnya halal selama ramadhan ini menjadi haram. Tinggal nunggu hasil di pesta kemenangan umat muslim yaitu Idul Fitri mendatang !”
Aku: “ Aku belum puas dengan jawabanmu, karena engkau selalu melihat yang tampak saja. Aku akan minta pendapat Hati untuk masalah ini.
Kali ini Hati yang kebagian pertanyaan yang menurutku memang cukup berat. Tapi seperti biasanya juga aku mengharap jawaban darinya yang penuh dengan sikap tawadhu’
Hati: “ Kamu jangan merasa senang dulu, coba kita kuliti dari awal, supaya kamu tidak merasa bahwa amalmu sudah banyak. Satu pertanyaan dulu, pada hari menjelang ramadhan, benarkah kamu senang dengan kedatangannya atau justru kamu merasa repot dengan kedatangannya? “
Aku: “ Aku senang, bahkan menunggu dengan harap- harap cemas. Takut usiaku nggak cukup untuk menemuinya. Nafsu lah yang selalu membuatku marasa berat , termasuk beratnya mengekang keinginannya”.
Nafsu: “ Lho kok jadi aku yang disalahkan. Setiap tahun khan ramadhan selalu datang. Mestinya kita tidak perlu repot-repot dan gegap gempita seperti itu dalam menyambutnya. Karena itu sudah merupakan hal yang rutin terjadi. Biasa ajalah….”
Sebenarnya aku agak gerah dengan jawaban Nafsu, walaupun sebagiannya juga bener menurutku .
Aku: “ Sebenarnya justru aku sudah berusaha agar ramadhan terasa istimewa setiap aku menjemputnya. Tetapi batas kemanusiaankulah yang kadang mengatakan bahwa ramadhan itu beban, baik phisik maupun psikologis.
Hati: “ Itulah yang perlu dikoreksi. Harusnya kamu menyadari bahwa Allah menciptakan bulan ramadhan itu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Pahalanyapun langsung ditentukan oleh Allah yang maha pemurah itu. Tidakkah kamu malu kalau jalan kebaikan yang Allah berikan itu justru kamu anggap sebagai beban? Allah tidak memerlukan amalmu, tapi kamulah yang setiap saat memerlukan Allah.”
Aku menjadi malu dengan penjelasan Hati. Sekujur tubuhku jadi lunglai, sepertinya sejak awal aku sudah salah pasang niat. Terus apa yang aku banggakan?
Hati: “ Coba kita lihat lagi awal ramadhanmu.”
Aku: “ Memangnya ada ada dengan awal ramadhanku? Sepertinya biasa aja !?!
Hati: “ Kenapa awal puasamu justru kamu menjadi umat yang manja?”
Aku: “ Manja yang mana maksudmu?
Hati: “ Bukankah selama ini kamu memanjakan dirimu dengan berbagai macam makanan untuk buka puasa?”
Nafsu menyela: “ Kalau itu sih bukan manja namanya. Itu bentuk kesyukuran bahwa kita dipertemukan dengan ramadhan yang mulia. Dan wajar bila kita mengistimewakan satu bulan ini diluar sebelas bulan lainya.Termasuk menu berbuka tentunya”
Aku: “ Kali ini aku setuju dengan pendapat Nafsu.”
Kembali Hati mengutarakan pendapatnya. Walaupun sepertinya kali ini aku akan kepojok lagi.
Hati: “ Bukankah kita puasa untuk sedikit belajar merasakan kesulitannya orang-orang yang ditakdirkan Allah kurang secara materi? Bagaimana keseharian mereka? Adakah selalu tersedia makanan di dapur mereka. Merekalah yang benar- benar sudah mengerti dan melakukan puasa.”
Aku: “ Bagaimana seandainya mereka di beri kecukupan oleh Allah? Pasti akan melakukan hal yang sama denganku.”
Nafsu: ” Benar, aku setuju dengan pendapatmu.”
Hati: “ Belum tentu, bisa jadi mereka akan berbagi dengan sesamanya yang selama ini sama – sama merasakan kesulitan untuk makan. Tergantung iman seseorang.”
Aku merasa salah tingkah sekarang. Bisa jadi benar apa yang dikatakan si Hati.
Hati: “ Bagaimana pendapatmu tentang puasamu yang sampai hari ini masih juga manja?”
Aku: “ Maksudmu yang mana lagi? “
Hati: “ Kamu berpuasa tapi meminta tidak ada godaan sama sekali, mana riyadhohmu?”
Aku: “ Aku makin bingung dengan pertanyaanmu.”
Hati: “ Kamu berpuasa tapi selalu mengharap bahwa orang lain mengerti tentang puasamu. Yang jualan makanan walaupun tidak terang-terangan kamu marahi, bahkan dengan cara yang mungkar, kamu selalu beranggapan bahwa mereka tidak menghormati ramadhan”.
Kulihat Nafsu mulai nggak sabar dengan penjelasan si Hati.
Nafsu: “ Bukankah ramadhan itu bulan mulia, dan semua orang wajib memuliakannya? Bukankah Allah memberikan waktu sebelas bulan untuk mengejar dunia dan memberikan satu bulan khusus untuk-Nya?”
Aku: “ Bener yang dikatakan Nafsu. Sebagai umat muslim seharusnya kita menghormati bulan suci ini. Kasihan anak-anak yang baru belajar puasa kalau melihat ada warung yang masih buka. Otomatis dia akan merasa berat. Akan beda sekali seandainya semua warung tutup misalnya?”
Hati: “ Pernahkah kalian bayangkan seandainya semua warung tutup, sementara ada beberapa orang yang secara syar’I diperbolehkan untuk berbuka puasa? Disana ada musafir, ada orang tua yang sudah tidak kuat lagi berpuasa, ada orang sakit, dan ada juga umat lain yang tidak disyariatkan kepada mereka untuk berpuasa? Kemana meraka akan berbelanja dan membeli makanan kalau semua tutup?”
Jawaban Hati kali ini cukup menohok walaupun masih bisa diperdebatkan. Semampuku aku mencoba memberi jawaban.
Aku: “Terus mana penghormatan kita terhadap bulan ramadhan, kalau semua warung boleh buka? Apa bedanya bulan puasa dengan bulan yang lainnya?”
Nafsu: “ Percayalah, puasamu akan semakin berat kalau suasana di masayarakat tidak dikondisikan. Sekarang saja hanya sebagian yang berpuasa dari sekian banyak umat muslim di negara kita.”
Hati: “ Mungkin kalian lupa bahwa perintah puasa itu ditujukan kepada orang yang beriman. Muslim memang banyak, tapi yang beriman tentu tidak semuanya. Karena Allah memilih orang-orang yang beriman yang akan dibebani puasa.agar peringkatnya naik menjadi Mutaqin. Bagaimana kita mau dapat ijazah kalau nggak mau mengikuti ujian?”
Aku terdiam, begitupun si Nafsu. Ada yang bergalayut di fikiranku dan belum tuntas jawabannya. Rasanya semakin takut aku untuk melanjutkan pertanyaan ke sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan. Khawatir justru selama ini aku sudah salan jalan. Hanya kepada kemurahan dan rahmat Allah lah aku berharap tentang puasaku dengan segala gejolak hatiku. Karena sayup-sayup adzan Asar sudah memanggilku…..
Wallahu a’lam bi showab.
M. JONO AG