Sedih saya melaksanakan sholat berjamaah malam itu. Namun sayangnya mungkin kesedihan itu bukan karena tingkat kekhusyuan saya dalam beribadah. Namun mungkin entah karena ego ataukah hanya sebuah rasa iba. Wallahu’alam …
Jatibening, di awal malam itu memang begitu cerah, meski awan hitam masih saja bergelayut di ujung sana, mewarnai malam yang kemudian semakin beranjak pekat. Satu, dua, tiga hingga puluhan bis datang dan pergi silih berganti di tempat pemberhentian sementara itu untuk menurunkan dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.
O ya, bagi rekan-rekan yang belum tahu, sedikit saya sampaikan bahwa Jatibening adalah nama sebuah kota kecil tempat pemberhentiaan pertama bis-bis Antar Kota Antar Propinsi di mulut kota Bekasi, sebagai perbatasan antara propinsi Jawa Barat dan ibu kota Jakarta.
Malam itu juga seperti halnya biasa, hilir mudik kendaraan berhias dengan langkah-langkah para pekerja yang baru saja pulang dari ladang pencarian rezeki dengan wajah lesunya menggenapkan suasana khas disana.
Saya memutuskan untuk ikut sholat maghrib di sebuah mushola dekat sana, karena kemungkinan jika memaksakan diri pulang ke rumah, maghrib akan terlewat sudah.
Bukan cuma saya, ada banyak orang sepertinya yang berpikiran demikian, buktinya tempat untuk mengambil air wudlu di mushola tersebut hampir mirip menjadi sebuah loket antrian di sebuah stasiun kereta. Hampir berjejal menunggu antrian. "Alhamdulillah, …", itu tentu gumam saya dalam hati ini.
Saya mengangkat takbir ketika ternyata tersadar bahwa kami telah tertinggal satu raka’at sholat. Berarti masbuk-lah kiranya kami saat itu …
Namun apa yang terjadi …
Yaa Rabb, hamba mohon ampun atas segala ampunan-Mu, atas segala kelemahan iman hamba.
Imam shalat kami saat itu membaca ayat demi ayat Al Quran dengan begitu lama dan menggunakan lagam yang mendayu. Yaa Rabb, sungguh kami sedih, antara menikmati keindahan ayat-ayat-Mu juga dengan …
Usai sholat kami segera membaca dzikir sebentar dan membaca do’a sapu jagat. Sebelum kiranya kami segera melangkahkan kaki ke luar mushola.
Ada banyak bahkan mungkin lebih dari sepuluh orang yang ada di luar mushola, dikarenakan ukuran mushola yang memang hanya mampu memuat sedikit orang tentunya tidak mungkin melakukan sholat dalam satu kali putaran. Mereka hanya mampu berdiri mematung menunggu giliran sholat yang padahal waktu maghrib mungkin telah usai.
Yaa Rabb, aku hanya hamba-Mu yang lemah dengan segala iman, namun salahkah jika aku sampaikan, pada beliau, "Ustadz, bukan cuma kami yang ingin ikut ke surga! …"
Wallahu’alam bish-shawab.