Seorang rekan mengajak saya ke kedai kopi yang berjarak beberapa toko di samping kantor. Kebetulan pagi itu saya belum sarapan di rumah (mess), maka saya pun menyambut baik ajakan itu.
Suasana nampak meriah ketika kami sampai di halaman kedai kopi nan luas itu. Saking ramainya, kursi-kursi dan meja plastik pun dikerahkan hingga ke halaman kedai. Kesemarakan suasana kedai kopi di kota Banda Aceh ini terjadi setiap hari. Tampaknya menjadi kenikmatan tersendiri bisa nongkrong beberapa saat di kedai kopi, sambil menyeruput beberapa cangkir kopi dan kue-kue basah yang khas.
Sudah banyak diketahui, bahwa kedai kopi yang bertebaran di Banda Aceh ini, memiliki fungsi yang cukup beragam. Sebagai ajang bersosialisasi, menjalin pertemanan, berdiskusi, bermusyawarah, bersilaturahim, berbagi informasi, ngerumpi, atau pun melakukan negosiasi bisnis. Kebiasaan dan keterikatan mereka kepada kedai kopi ini agaknya sudah cukup mendarah daging dan terwariskan secara turun menurun. Wajarlah jika ada orang yang menjuluki kota ini—selain kota serambi Makkah yang sudah kita kenal— sebagai kota “seribu kafe”. Kata “seribu” adalah kata kiasan yang menunjukkan betapa kedai kopi atau kafe tumbuh subur bagaikan jamur di beberapa tempat.
Kami menembus kerumuman orang yang bertebaran di sekitar halaman kedai yang penuh dengan kepulan asap rokoknya yang khas. Kami berkehendak masuk ke dalam. Ketika kami memasuki kedai kopi itu, nampak sosok orang yang telah dikenal oleh rekan saya. Rekan saya memberikan salam, sosok orang yang sedang duduk menikmati secangkir kopi pun menjawab salam dengan penuh persahabatan. Mereka berjabat erat layaknya saudara akrab yang sudah lama bertemu. Saya diperkenalkan olehnya, kemudian saya pun menjabat tangan sosok orang yang memakai baju safari dengan pin bertulis namanya di dadanya itu.
Sembari menikmati kopi khas Banda Aceh dan beberapa kue sebagai pengganjal perut, rekan saya itu mengobrolkan masalah-masalah yang menjadi bahasan di media lokal. Nampak sekali sosok itu begitu perhatian dengan masalah yang ditanyakan dan berusaha menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Saya sekali-sekali saja memberikan respon karena ada beberapa topik yang belum familiar. Saya adalah pegawai baru di Kota Banda Aceh waktu itu, sedangkan rekan saya sudah tahunan (sekitar 9 tahun) tinggal di sana. Wajarlah jika ia nampak mengetahui perkembangan berbagai permasalahan yang ada di kota ini.
Sosok itu agaknya harus terburu-buru menuju tempat kerja. Dia berpamitan kepada kami untuk meninggalkan kedai kopi terlebih dahulu. Sepeninggalan dia, barulah rekan saya mengungkapkan bahwa sosok itu adalah salah seorang wakil rakyat di kota Banda Aceh ini. Sungguh saya tidak menyangka karena sikapnya yang cukup bersahaja dan rendah hati. Tidak nampak suatu pertanda bahwa ia merasa lebih tinggi dari yang lain atau pertanda bahwa ia meremehkan kami sebagai rakyat biasa.
Sosok-sosok yang bersahaja sering juga saya temui tatkala mereka seringkali menunaikan sholat maghrib atau isya berjamaah di masjid gampong kami. Beberapa wakil rakyat itu rupanya sering mengunjungi sebuah kantor organisasi Islam yang terletak berdekatan dengan masjid gampong.
Rasa-rasanya, semuanya tampil sederhana. Mereka membaur dengan beberapa konsituen yang mengusung mereka tanpa ada rasa canggung atau ada jarak di antara mereka. Masyarakat gampong pun biasa-biasa saja menerima kedatangan mereka. Tidak ada yang istimewa. Semua adalah hamba yang berhajat bertemu dengan Rabb mereka di masjid.
Semua kondisi itu mengingatkan saya pada kondisi Rasulullah Saw ketika berada di tengah para sahabat, membaur bersama mereka. Diriwayatkan, sulit bagi orang yang belum mengenal wajah Rasulullah Saw (misalnya orang asing yang hendak menghadiri majelis Rasululullah) untuk mengidentifikasi siapakah yang bernama Muhammad Rasulullah Saw itu, meski namanya sudah masyhur ditelinganya. Orang asing itu baru akan bisa dengan mudah mengidentifikasi Rasulullah Saw jika beliau sedang berbicara dihadapan para sahabat beliau. Karena kata-kata yang keluar dari beliau adalah perkataan agung dan mulia, sungguh lain dari perkataan orang kebanyakan. Kata-kata beliau adalah wahyu, yang penuh makna, mencerahkan, dan mampu menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya.
Melihat fenomena yang cukup unik itu, hati ini pun bertanya: apa yang menyebabkan mereka —para wakil rakyat itu—bisa bersahaja? Setelah berjalan cukup lama, barulah saya mengetahui bahwa ternyata mereka semua bukan digaji oleh negara, tetapi oleh organisasi yang mengusungnya. Tentu bukan berarti tidak ada penghasilan dari negara, akan tetapi semua penghasilan itu mereka setor (kumpulkan) dahulu ke kas (baitul maal) milik organisasi kemudian pengelola kas organisasi (atas kebijakan dari pimpinan) inilah yang memberikan gaji kepada mereka. Besaran gaji yang diberikan tentunya disesuaikan dengan kondisi masing-masing mereka sesuai dengan kebijakan dan pertimbangan yang telah disepakati bersama.
Selain itu mereka boleh jadi menyadari bahwa status yang diduduki sekarang ini adalah wujud dari amanah organisasi dan umat Islam yang ada dibelakangnya. Jadi, apa-apa yang diterima semua dikembalikan kepada organisasi sebagai wujud pertanggungjawaban mereka terhadap ummat.
Kondisi inilah yang bisa jadi mampu meredam isu-isu negatif dari kader atau simpatisan organisasi. Mereka merasa aman dan nyaman karena yakin tokoh-tokoh yang mereka perjuangkan berkonsentrasi terhadap tugas dakwah dan tidak memikirkan masalah financial karena semuanya diserahkan pada kebijakan organisasi. Tidak ada aroma kebencian, iri, atau dengki. Justru yang menyebar adalah rasa cinta dan ketulusan untuk membantu kelancaran tugas dari para wakil rakyat itu.
Ada hikmah yang bisa kita petik, sesungguhnya perasaan dan kepercayaan umat bisa dijaga dengan sikap kesederhanaan dan kebersahajaan pejabat publiknya. Sebagaimana Rasulullah Saw dan beberapa sahabat mencontohkan lebih menyukai kehidupan yang sederhana (zuhud) meski khazanah perbendahaan dunia terbuka luas untuknya.
Sejarah menggoreskan tinta emas untuk mereka (Rasulullah dan generasi salaf). Dengan kesederhaan dan kebersahajaan itu mereka dicintai oleh ummat dan meninggalkan prestasi gemilang yang pelajaran dan ibrohnya dibisa dipetik oleh ummat setelahnya.
Sedangkan fenomena yang sebaliknya, banyak kita lihat pada perilaku manusia pada zaman terakhir ini. Karena silau dengan gemerlap harta yang terbentang dihadapan, mereka menjadi lupa. Penderitaan rakyat yang makin menghimpit tidak mampu menahan laju hawa nafsu dunia dan menumbuhkan empati kebaikan. Akhirnya, bukan prestasi yang diukir, akan tetapi bui yang menjeruji dan makian yang senantiasa mengalir. Sungguh, sebuah perniagaan yang merugikan. Mereka mendapatkan harta dengan bayaran kematian sebelum kematian, yaitu kematian nama baik dan kehormatan diri. Itulah imbalan yang pantas buat keserakahan. Na’udzubillahi min dzalika. Wallahu’alam bishshawaab.