Oleh : Syaifoel Hardy Ada dua pokok topik pembicaraan yang umumnya digemari remaja. Pertama bagaimana kelak, dimasa depan, mendapatkan pekerjaan atau kedudukan yang enak, dan yang kedua bagaimana bisa memperoleh harta yang banyak. Lumrah kan? Ya! Karena hampir setiap orangtua, dengan bangganya selagi putera-puteri mereka masih kecil, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, sebagai contoh, “Anak mama besok mau jadi apa? Dokter ya?” sebuah paparan ideal. Pokoknya kalau tidak jadi dokter, ya…insinyur. Padahal mereka tidak menyadari bahwa kedua profesi tersebut, untuk saat ini, tidak sedikit yang berpredikat, maaf, pengangguran. Ceritera lama kah ungkapan tersebut diatas? Tidak juga! Meski banyak lulusan kedokteran yang pada akhirnya tidak kerja, ataupun insinyur yang akhirnya jadi buruh pabrik, kedua profesi itu di sebagian besar belahan bumi lain tetap menjadi profesi yang bergengsi. Hal ini disebabkan, menyandang gelar sebagai dokter atau insinyur identik dengan kemapaman secara sosial dan finansial. Jarang sekali orangtua yang memimpikan anaknya kelak, misalnya, jadi ‘imam besar’, atau cendekiawan Islam, meski yang satu ini tidak boleh dikatakan bahwa secara finansial nanti akan lebih rendah dibanding kedua profesi dokter atau insinyur. Di negara-negara Arab misalnya, jangankan menjadi seorang imam masjid, cukup jadi muadzin nya saja bisa hidup ‘enak’! Jadi yang berada di jalur madarasah, jangan berkecil hati! Tapi teman saya yang satu ini, Salimin, memang lain. Maklum orang desa, yang murni lugu dalam menyikapi kehidupan. Itu terjadi dua puluh tahun lalu, ketika kami masih di bangku sekolah lanjutan atas. Kami biasa omong-omong kosong di sore hari, sambil menunggu saat Maghrib tiba. Desa kami agak masuk sekitar satu kilometer dari jalan raya utama di pesisir pantai Laut Jawa, atau daerah Pantura (Pantai Utara) orang mengistilahkan. Pagi dan sore hari banyak orang-orang dari desa kami yang mayoritas nelayan, berlalu-lalang melewati jalan makadam tersebut. Obrolan kami tidak berfokus, kesana-kemari, tapi tidak membicarakan kejelekan orang lain. Ditengah-tengah obrolan tentang orang-orang yang ‘berseliweran’ di depan mata kami, Salimin, entah apa yang mendorongnya, tiba-tiba berucap: “Jika suatu saat nanti aku punya sepeda motor, akan aku boceng orang-orang yang mau ke jalan raya sana!”. Saya tidak pernah menganggap pembicaraannya serius. Layaknya remaja lain, yang suka ‘menggombal’, walaupun Salimin tidak bisa saya samakan dengan mereka. Salimin amat sederhana. Dari keluarga kurang mampu. Untuk melanjutkan sekolah saja saya tidak terlalu optimis akan bisa dilakukan. Tanpa bermaksud merendahkannya, barangkali yang paling mungkin waktu itu adalah meneruskan profesi ayahnya sebagai pelayan, bertani garam, atau menjual ikan ke kota. Sebagian masyarakat kami berlayar mencari ikan. Sebagian lagi mengolah garam. Taraf sosial ekonomi mereka tidak bisa dibilang cukup, namun juga tidaklah kekurangan. Sehari-hari hanya dunia bisnis laut itulah yang kami lakukakan. Saya sendiri tidak terlalu paham dengan kedalaman nilai-nilai Islam waktu itu. Wayang dan minuman keras adalah sebagian dari hiburan sebagian masyarakat kami. Saya tidak bisa menyalahkan mereka. Bagaimana saya mau menyalahkan kalau saya tidak punya modal sama sekali tentang apa-apa yang harus saya sampaikan. Demikian pula dengan angan-angan Salimin barangkali. Pemuda semacam Salimin merupakan sosok langka di desa kami. Jumlah musholah yang hanya dua buah di desa kami, hanya dikunjungi oleh orang-orang disekitar musholah saja, termasuk si Salimin. Benar apa yang menjadi dugaan saya. Selepas SLTA, Salimin tidak mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Saya agak beruntung. Belum tergolong kaya, namun dengan bekerja sebagai guru SD, Bapak saya masih mampu untuk membeayai kuliah saya yang setingkat program diploma tiga. Alhamdulillah. Sejak saat itulah hubungan kami, saya dan Salimin, ‘terputus’. Hubungan kami memang tidak terlalu dekat sebenarnya. Hanya kesempatan-kesempatan seperti halnya obrolan menjelang Maghrib sebagaimana yang saya kemukakan diatas, yang membuat kami bisa, boleh dikatakan, melahirkan rasa persaudaraan sesama muslim. Tahun-tahun berikutnya membuat saya ‘beda’. Ya! Beda karena lingkungan tempat saya tinggal, belajar, berteman, semuanya amat berpengaruh terhadap perkembangan saya baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dikemudian hari. Apalagi sesudah saya bekerja, juga dituntut untuk memenuhi tuntutan perkembangan sebagai anggota profesi. Tentu saja waktu-waktu yang tersita untuk pemenuhan kehidupan saya sebagai kombinasi ‘ketiga makhluk’ tersebut, yaitu pribadi, profesi dan anggota masyarakat’, membuat saya tidak lagi larut dalam kehidupan saya sebagaimana di desa waktu itu. Salimin pun tidak lagi pernah saya temui. Musholah dekat rumah kami juga paling banter hanya bisa saya kunjungi sebulan sekali, karena saya tidak lagi tinggal di desa yang sama. Urban ke kota. Dua puluh tahun sudah berlalu. Tidak terasa sama sekali. Beberapa kali saya berganti pekerjaan. Dari kota satu ke lainnya hingga ke luar negeri. Komunikasi dengan keluarga hanya bisa saya lakukan lewat surat. Ditengah banjirnya sarana telekomunikasi dan komputerisasi, sayangnya desa kami tetap tertinggal. Listrik meski sudah masuk, tapi hanya beberapa tahun terakhir ini saja. Telepon belum bisa sambung sampai ke desa. Padahal jarak ke jalan raya tidak terlalu jauh. Telepon genggam juga suaranya tidak begitu jelas di daerah kami. Singkatnya, desa kami masih tetap ketinggalan. Dari dulu hingga sekarang tidak berubah: nelayan,ikan dan garam! Itulah kehidupan kami, meski sudah dua puluh tahun silam saya meninggalkannya, kondisinya sama! Setiap tahun saya pulang ke desa. Namanya juga ketinggalan! Biar semaju apapun yang saya temui kehidupan di luar negeri, saya tetap prihatin juga melihat kehidupan sebagian teman-teman yang masih tetap menggeluti ketiga dunia yang saya sebutkan diatas. Sayangnya setiap saya pulang, karena suatu dan lain hal, tidak selalu bisa ketemu dengan Salimin. Sebenarnya tidak ada niat untuk melupakan, tapi entah kenapa yang namanya upaya mengingatnya juga tidak ada. Wallahu’alam! Bisa saja karena, yang namanya kami sekeluarga yang jarang ketemu, apalagi teman-teman selama kuliah dan kerja dulu juga rasanya ‘menuntut’ untuk ditemui. Jadi, itulah, nama Salimin tidak pernah tercantum dalam ‘agenda’ liburan saya. Hingga suatu hari….. Saya heran, sekalipun para nelayan desa kami memberikan sumbangsih yang tidak sedikit buat kemajuan negeri ini, dengan ikan dan garam, tetapi jalan raya masuk ke desa kami tidak pernah becus bangunannya. Dua puluh tahun sudah berlalu, masih juga tetap ‘makadam’ saja. Memang yang sekarang ini sudah beraspal, tapi ya… itu…. Maksudnya, biar aspal, tapi tetap makadam. Dengan kata lain, aspal ternyata tidak membuat jalan jadi mulus, alias tetap geronjalan. Jadi apa bedanya? Orang kita kadang aneh! Ditengah jumlah populasi desa yang membengkak dan krisis ekonomi, alhamdulillah semakin banyak ternyata jumlah penduduk desa kami yang memiliki sepeda motor. Saya kalau sedang pulang biasanya juga meminjam kendaraan bermotor milik kakak atau Pak Lik yang kebetulan punya. Suatu hari ketika saya sedang mengendarai sepeda motor, dari rumah ke jalan raya utama, kebetulan di dekat rumah ada seorang ibu yang mungkin saja sedang menunggu Ojek, atau apa, saya tidak terlalu perhatian. Saya mengenalnya. Saya sempat pula menyapanya, tidak lama, karena saya sedang berada diatas sepeda motor, boncengan bersama adik saya. Kemudian saya pamit padanya untuk meluncur duluan. Ibu tersebut mengiyakan. Saya terkejut sekali ketika sesampai di mulut jalan raya, kok ibu tersebut sudah berada duluan di depan saya. Ketika saya tanya kepada beliau bagaimana bisa sampai datang duluan, dijawabnya “Saya diboceng Pak Salimin, imam musholah kami!” Byaaarrr…..! Ingatan saya seperti dihantam halilintar untuk menengok kembali apa yang dulu pernah kami, saya dan Salimin bicarakan. Bahwa kelak jika dia punya sepeda motor, dia akan antarkan orang-orang desa menuju jalan raya sana. Saya yakin ini bukan suatu kebetulan! Subhanallah. Salimin. Saya tidak pernah menyangka bahwa apa yang dikemukakan kepada saya dulu bukan omong kosong. Tidak sekedar basa-basi dan tanpa makna. Salimin yang dulu ternyata sama dengan yang sekarang saya temui, apalagi dia menduduki posisi lebih mulia kali ini, imam masjid. Saya sadar bahwa ditengah arus globalisasi ini orang sudah banyak yang mulai enggan perhatian terhadap nasib yang menimpa sesamanya kecuali jika memberikan keuntungan. Artinya, setiap kebaikan yang dilakukan sebagian besar umat manusia yang katanya moderen ini, lebih bersifat ‘riya’, alias bermakna ganda. Kita hanya mau melakukan kebaikan karena mengharapkan imbalan. Apa yang dilakukan Salimin benar-benar menggugah kesadaranku. Salimin memiliki kepedulian yang tidak banyak dimiliki oleh sebagian besar umat manusia. Salimin telah mengajarkan sebuah kebajikan yang kemudian diimplementasikan dan menghasilkan produk yang bagi sementara orang nampaknya simpel sekali. Padahal tidak! Kebanyakan kita memang hanya pandai membuat janji, tapi tidak cukup pandai untuk menepatinya. Dan, kebanyakan kita hanya pintar berangan-angan hanya selagi dilanda kemiskinan. Tapi bukan bagi Salimin, sosok kebanyakan.