Lelaki tua itu termenung ketika diberikan segelas jus mangga oleh murid–muridnya ketika berbuka puasa. “Adakah minuman lain selain jus mangga?”, tanyanya pada yang lain. “Maaf ustadz, apakah ada halangan kesehatan yang tidak memperbolehkan anda meminumnya?”, tanya ikhwah yang lain. Sang ustadz tidak menjawabnya, hanya tampak dari wajahnya ia memendam kesedihan yang mendalam.
Setelah sholat maghrib, rasa penasaran membuat pertanyaan tadi diulang kembali. Akhirnya, ustadz Umar Tilmisani menjawab dengan wajah kesenduan dan mata yang berkaca–kaca, “Setiap aku hendak meminum jus mangga, aku selalu teringat isteriku yang telah meninggal. Sering aku pulang agak terlambat, isteriku selalu menunggu di rumah dengan telah menyediakan dua gelas jus mangga, satu untukku dan satu untuknya. Dan dia tak pernah menyentuhnya selama aku belum pulang atau aku memang tidak pulang ke rumah.”Ustadz Umar Tilmisani terdiam sejenak, “sejak isteriku meninggal, sungguh sangat berat bagiku untuk kembali meminumnya tanpa isteriku”.
Saudaraku, Begitu indah cerita yang digambarkan tentang kisah ustadz Umar Tilmisani dalam sebuah buku yang baru saja saya baca beberapa waktu yang lalu. Begitu banyak cerita kita dengar atau bahkan kita tahu sendiri tentang kebesaran seorang laki–laki yang begitu berwibawa, bijaksana, dan tampak begitu kuat hatinya bagai buatu karang. Tetapi, ketika itu berhubungan dengan sang isteri atau seseorang yang sangat ia cintai, Ia berubah menjadi seorang yang sangat lembut, sentimentil, dan terkadang terkesan manja seperti seorang anak kecil.
Kenangan–kenangan indah bersama sang kekasih seakan–akan menjadi sesuatu yang tak tergantikan, tak terbeli. Mungkin kejadian tersebut bisa diulangi atau direkontruksi, tetapi tanpa kehadiran sang kekasih, kejadian itu akan mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih sering menyakitkan. Ada begitu banyak cerita tentang telaga kenangan yang tak terlupakan dari seseorang terhadap kekasihnya, atau penggambaran–penggambaran orang–orang besar yang begitu manja kepada orang yang dikasihinya.
Rasulullah SAW sering meletakkan piring dan gelas kosong di sampingnya ketika beliau makan, untuk mengingat Khadijah, isteri yang paling beliau sayangi. Piring dan gelas kosong itu untuk mengembalikan kenangan tentang yang tercinta. Atau tentang Sayidina Umar bin Khatab RA yang begitu suka bermanja tidur di atas pangkuan isterinya.
Kemudian, yang menjadi sebuah pertanyaan bagi kita, apakah mereka adalah orang yang lemah atau cengeng? Siapapun di Mesir tahu siapakah ustadz Umar Tilmisani, seorang pemimpin pergerakan Islam “Ikhwanul Muslimin” yang dikenal kuat hujah – hujahnya, berani menegakkan kebenaran dihadapan penguasa dzalim Mesir dengan apapun resikonya, bijaksana dan berwibawa, dan sederet sifat–sifat sejati seorang pemimpin besar. Rasulullah SAW dan Umar bin Khatab RA? Siapa yang dapat meragukan kekuatan hati beliau. Mereka adalah sebaik–baik manusia, sebaik–baik pemimpin, dan telah teruji kekuatan hatinya menghadapi berbagai permasalahan umat dan cobaan yang sangat berat.
Rasulullah SAW adalah seorang yatim piatu sejak kecil, terbiasa hidup dalam kerasnya kehidupan kota Mekah, sudah barang tentu mempunyai jiwa yang besar pula. Mengisi ruang kosong dalam jiwa jawabannya. Hati, sekeras apapun mempunyai ruang–ruang kosong dan kebutuhan–kebutuhan. Kebutuhan untuk berbagi, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, atau kebutuhan untuk diperhatikan.
Lelaki digambarkan adalah makhluk yang harus kuat, mampu bertahan disegala cuaca, rasional, dan sederet gelaran lainnya. Lelaki sering diposisikan sebagai makhluk–makhluk mekanis, tidak boleh cengeng, lemah, menangis, dan tidak boleh manja. Secara tidak sadar terkadang kaum wanita menuntut seorang laki–laki menjadi besi, menjadi batu karang, atau menjadi pohon besar tempatnya bersandar seperti juga laki–laki sering menuntut seorang wanita harus lemah lembut, telaten, dan menuruti semua kemauannya.
Di lain sisi, seorang laki–laki, diakui tidak diakui, mempunyai kebutuhan untuk berbagi, melepaskan beban hidupnya, butuh untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk diperhatikan, dan yang terpenting adalah kebutuhan untuk dimanusiakan. Lalu di manakah kedua sisi dunia yang berbeda itu dapat disatukan?
Pada diri seorang wanita. Pada diri seorang wanita yang mau mengerti kebutuhan hatinya, mau menjadi temannya, dan menyediakan diri untuk mendengarkan keluh kesahnya. Terkadang, seorang lelaki butuh tempat bermanja untuk mengurangi beban hidupnya dan kemudian menceritakan isi hatinya pada sang isteri. Tapi terkadang sang pasangan kurang mengerti hal tersebut. ”Ah, abang kan laki–laki, masak masalah seperti itu aja bingung sih? jangan manja dong bang!” Mungkin hal itu pernah anda dengar dari seorang isteri kepada suaminya.
Saudariku, Dia hanya ingin di dengar, dimengerti. Saya yakin, suamimu bisa menyelesaikan hampir semua permasalahannya. Dia ingin menceritakannya kepadamu karena ia ingin engkau tahu bahwa dirimu sangat berarti baginya. Dia tak ingin hubunganmu dengannya hanyalah bersifat mekanis saja, memberi dan menerima saja. Dia ingin dirimu berkembang dan ikut memutuskan suatu permasalahan, walau itu mungkin masalah kecil.
Tolong, dengarkanlah dia walau itu membosankan bagimu. Jangan sampai akhirnya merasa dirinya selalu sendiri, bahkan saat ada masalah. Jangan ciptakan tembok pembatas itu! Selalulah jaga perasaannya, karena menurut Syaikh Ali Tantawi yang membuat manusia menjadi manusia adalah perasaanya. Dan ia adalah tempat persinggahan dari 2 (dua) hal yang tersuci di dunia ini, iman dan cinta.
Sering kita bersikap egois, hanya ingin dimengerti, tak mau mengerti keinginan orang lain. Saudaraku yang tercinta, Sering tak mau kita sadari bahwa tidak seluruh sisi dari diri saudara kita tersebut hanya berisi keburukan–keburukan.
Sering kita tidak adil terhadapnya karena hanya mengingat keburukan–keburukan dan hanya memperhatikan kekurangan–kekurangan yang ada. Kita lupakan bahwa dari dirinya pasti ada kebaikan–kebaikan dan bahkan pengorbanan–pengorbanan untuk kita.
Saya teringat sebuah kisah dari Sayyidina Umar r.a. yang dapat kita jadikan cara dalam menahan diri dari meninggalkan seseorang, “Ketika aku marah kepada isteriku karena kelakuannya atau akhlaknya yang kurang benar, aku selalu berusaha untuk menghadirkan kebaikan–kebaikan dan pengorbanan isteriku. Dia mencucikan pakaianku, memasak makanan untukku, merawat anak–anakku, dan menemaniku di kala sedih. Padahal semua itu sebenarnya bukanlah kewajiban untuknya. Ketika mengingat hal tersebut, aku tak kuasa untuk marah padanya, atau membencinya.”
Hadirkanlah dokumen–dokumen kebaikan itu wahai saudaraku! Setiap kita hendak membencinya, selalu ingat dan bandingkanlah kadar dari kesalahannya bila dibandingkan dengan kebaikan–kebaikan yang ia lakukan untuk kita. Mungkin tidak kita sadari, dia sebenarnya telah banyak berkorban untuk mencoba mengerti dan berubah menjadi lebih baik. Selalu berikanlah dia harapan untuk berubah, tanamkanlah pikiran kepadanya bahwa perubahan itu, walau mungkin lambat dan berat, pasti bisa dilakukan.
Saudaraku Allah sangat pencemburu kepada hambanya, terutama kalau kita mendatangi apa–apa yang diharamkanNya. Dia tidak pernah rela hambaNya berbuat kemaksiyatan atau mengkufuriNya. Allah selalu menyayangi hambaNya. Karena itu wahai Saudaraku, jangan pernah berpikir bahwa seseorang telah ditakdirkan seperti itu, menjadi pendosa, bermaksiyat. Takdir yang telah tertulis masih bisa berubah bila seseorang mau berusaha dan berdoa. Doa dan kemauan seseorang untuk berubah dapat membuat Allah memberikan bentuk kasih sayangnya, merubah takdir tersebut. Tidak ada yang tidak bisa dirubah! Itu yang harus selalu kita tanamkan pada diri kita dan kepada orang lain. Selalu yakinlah bahwa di dalam hati–hati mereka masih ada mutiara–mutiara iman yang menunggu kita menyelaminya, dan bersamanya mengangkat mutiara itu ke permukaan. Tiap jiwa manusia mempunyai fitrah keimanan yang mempunyai kekhasan tersendiri.
Kita harus selalu yakin bahwa dalam hati seseorang, bagaimanapun pekatnya, pasti ada bagian–bagian dari dirinya yang berisi kemauan dan kesadaran untuk menjadi lebih baik, dan adalah tugas kita untuk senantiasa menyalakan lilin harapan itu, bagaimanapun sulitnya. Sehingga, nanti ketika kita dihadapkan pada pengadilan akhirat yang tak bisa kita rekayasa, kita bisa menyampaikan kepada Allah, “Ya Allah, aku tak pernah tinggalkan saudaraku untuk selalu mengajaknya menuju diriMu ya Allah. Semuanya disebabkan oleh cinta, cintaku kepadaMu, dan cintaku kepadanya. Karena itu ya Allah, peliharalah diriku dari siksa api neraka.”
Mencintai seseorang adalah sebuah kerja ketulusan, kerja pemeliharaan, dan kerja perbaikan. Dalam sebuah artikel yang saya baca, banyak kasus di mana setelah menikah seseorang menjadi futur dalam beribadah. Mungkin, yang bersangkutan hanya menjadikan pernikahan sebagai tujuan akhirnya. Padahal pernikahan adalah awal dari kerja ketulusan, pemeliharaan, dan pengembangan dari pasangan. Ketika pernikahan hanya menjadi tujuan akhir, maka ia merasa bahwa setelah bisa mendapatkan isteri atau suaminya maka tidak perlu menjaga kualitas ibadahnya lagi. Semoga terlaksana, ketika sudah menikah seharusnya kita lebih meningkatkan ibadah kita, karena kita butuh pertolonganNya untuk menghadapi beban hidup yang akan kita jalani bersama.
Menurut ustadz Dwi Budiyanto, masalah dalam hubungan itu bisa disebabkan karena keringnya taman spiritualitas kita. Keringnya taman spriritulitas kita disebabkan karena menurunnya kualitas ibadah kita, menumpuknya dosa dan maksiat yang kita lakukan, dan hak–hak Allah yang tak tertunaikan, sehingga hati kita menjadi tumpul untuk menelisik masalah kehidupan kita.
Dalam sebuah buku pernikahan disebutkan, yang jadi masalah adalah bukan sebesar apa masalah yang kita hadapi, tetapi bagaimana jiwa kita merespon permasalahan yang ada. Kemampuan jiwa kita merespon permasalahan yang ada berbanding lurus dengan kualitas spiritual kita. Seseorang boleh saja bersedih atas permasalahan yang ia hadapi, malah sudah seharusnya bersedih karena itu fitrah manusia, tetapi ketika ia bisa merubah dan memanfaatkan kesedihan itu menjadi sebuah energi untuk melakukan perbaikan, disaat itulah ia menemukan hikmah dari keimanan.
Kita sering menyelesaikan masalah dengan seseorang dengan cara melarikan diri darinya, tidak mau menyelesaikan atau membicarakannya, marah kepadanya, atau bahkan yang ekstrim, melakukan tindakan–tindakan fisik. Kita jarang memikirkan untuk mengembalikan masalah itu pada yang memiliki kita, pasangan kita, atau siapapun dia, Allah.
Kita merasa semuanya bisa diselesaikan dengan ikhtiar–ikhtiar kita dan logika–logika kita. Kita sering melupakan bahwa ada yang Maha Membolak–balikan hati, Allah. Permasalahan yang ada ketika bisa diselesaikan bersama malah akan menjadi sebuah keindahan dan pendewasaan diri. Kenapa kita tidak duduk bersama, bicarakan masalah itu berdua, dan mencari solusinya bersama. Pahamilah Saudaramu, selama ia tidak mengajakmu meninggalkan Allah. Yakinlah bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan selama kita mempunyai sebuah pemikiran, pemeliharaan atas sebuah kebersamaan.
Ketika permasalahan–permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan ketenangan dan keinginan untuk mempertahankan kebersamaan, ia malah akan menjadi sebuah samudera kebahagiaan dan keindahan hidup. Bukankah sebuah keindahan dari kelahiran keberhasilan hidup harus dimulai dari tangisan dan kesusahan? Ikhwah Fillah Marilah kita belajar untuk mencintai seseorang dengan tulus. Dalam sebuah pemahaman, tanggungjawab akan memainkan peranannya pada saat terjadi tarik ulur antara cinta dan benci. Dan di situlah keimanan mengambil peranannya, menanamkan rasa tanggungjawab itu, bahwa sebuah pernikahan tidak hanya mengenai cinta dan benci, suka tidak suka, kecewa atau gembira, tapi ia adalah tanggungjawab untuk mengerti keadaan pasangannya, mengembangkan kekurangan pasangannya menjadi kebaikan- kebaikan.
Ketika keimanan diambil sebagai dasar, menurut Imam Hasan Al-Bashri seorang suami atau isteri akan saling menghormati dan merawat cintanya serta tidak menganiaya atau bahkan menyakiti hati bila membencinya.
Saudaraku, Dipingggir telaga kenangan itu ada seuntai harap, agar keberadaan kita, adanya kita, dapat memberikan terminal kenangan indah bagi orang lain. Marilah kita perbaiki dan sirami hubungan kita dengan Allah, dengan isteri kita, keluarga kita, saudara–saudara kita yang tercinta. Selalu usahakan tinggalkan kenangan–kenangan terindah kepadanya, agar rajutan perasaan itu menjadi sebuah rajutan kenangan abadi dalam hidupnya yang sangat berharga, karena sering semuanya akan terasa jauh lebih berharga ketika sudah tidak ada di samping kita, di saat kita hanya bisa menghadirkan kenangan–kenangan indah bersamanya, di saat kita hanya bisa menghadirkan bayang–bayang. Dan sayangnya, kita sering menyia–nyiakannya ketika masih banyak kesempatan. Saudaraku, genggamlah tangannya, walau hanya bayangannya, perjalanan kita menuju Allah masih jauh. Wallahua’lam Bisshowab.