di Suatu Hari di Masjid Itu

Hari itu adalah dua hari setelah aku dan suami tiba di kota Jakarta, sekembalinya kami dari kota kelahiranku setelah walimatul ursy pernikahan kami. Jakarta hari itu panas. Memang lelah rasanya. Perjalanan antara Jakarta dan kota kelahiranku tidaklah ditempuh dalam waktu yang singkat. Dua hari berada di Jakarta, kami belum juga melepas lelah dengan sempurna. Kemarin, suamiku menemaniku ke kantor pusat kantorku untuk menyelesaikan pengurusan visa dan paspor untuk keberangkatanku ke negeri sakura.

Dan hari itu, kami juga harus berada dalam panasnya Jakarta. Pagi hari, kami harus menghadiri undangan teman-teman angkatanku untuk reuni kecil-kecilan di rumah salah seorang teman angkatanku. Siangnya, kami juga sudah mempunyai janjian bertemu dengan seorang teman bersama dengan isterinya di suatu tempat di belahan kota metropolitan. Alhamdulillah, kedua tempat yang akan kami datangi itu cukup berdekatan. Tapi, tetap saja Jakarta, perjalanan yang sebenarnya cukup pendek itu tetap harus diwarnai dengan kemacetan lalu lintas. Sepertinya, tanpa kemacetan kota metropolitan itu bukanlah bernama Jakarta.

Kami sudah menyudahi makan siang kami di tempat reuni teman-teman angkatanku. Berbincang-bincang melepas kangen juga sudah kami lakukan. Maklumlah, aku sudah lebih dari satu tahun tidak berjumpa dengan mereka. Walaupun selama ini, aku dan teman-teman angkatanku tetap berhubungan melalui milis angkatan kami. Satu jam lagi menjelang waktu kami janjian untuk bertemu dengan temanku, aku dan suamipun pamit dengan teman-teman angkatanku. Kami menggunakan bis menuju ke tempat tersebut.

Alhamdulillah, aku dan suami tiba persis pada jam yang telah disepakati olehku dan temanku. Tapi, aku tidak melihat temanku bersama dengan isterinya. Kuambil handphoneku. Ada tanda pesan di layar handphoneku. Kubuka pesan itu. Ternyata pesan itu dari temanku, yang mengabarkan kalau dia dan isterinya akan datang telat satu jam. Suamiku terdiam melihat isi pesan itu. Mengisi kekosongan waktu satu jam itu, akhirnya aku dan suamiku jalan-jalan ke dalam sebuah mall yang terletak persis di hadapan tempat janjian kami. Kami ingin mencari sesuatu, juga mencari mushala di dalam mall itu karena waktu ashar telah hampir masuk. Mengelilingi mall itu, mataku dan suamiku mengitari setiap papan petunjuk, mencari di lantai berapa tempat mushala di mall itu berada. Kamipun bertanya kepada seorang cleaning service. Ternyata petunjuk sang cleaning service tidak membuat kami langsung bisa menemukan mushala itu. Kami harus berjalan beberapa langkah lagi, sampai akhirnya mata suamiku tertumbuk pada sebuah papan petunjuk yang menunjukkan arah tempat mushala berada. Kamipun mengikuti petunjuk itu. Kami masih harus berbelok beberapa belokan dan berjalan beberapa langkah. Papan petunjuk membawa kami menuju ke lantai 2. Kamipun mengikuti.

Sudah terbayang di benak kami, mushalla di mall pada umumnya. Mengambil tempat yang sudut, kecil dan kadang dirawat dengan seadanya. Juga kadang tidak terpisah antara shaf laki-laki dan shaf perempuan. Itulah gambaran mushalla di mall-mall atau di pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia pada umumnya. Di kota kembang, rasanya baru satu kali aku menemukan tempat yang sangat nyaman untuk menunaikan kewajiban lima waktu dengan tempat wudhu dan kamar mandi yang terpisah. Itupun di sebuah tempat penjualan perlengkapan muslim atau muslimah. Di tempat lainnya? Seingatanku, aku belum pernah menemukan tempat senyaman itu. Harus berdesakan dengan kadang ditemani bau-bau yang tidak terlalu sedap, dan akhirnya kadang kewajiban lima waktupun tertunaikan dengan seadanya.

Menginjakkan kaki di lantai tempat terdapatnya mushalla yang kami kira, aku dan suamiku terkagum. Pandangan di depan kami menyajikan sebuah pesona yang berbeda. Di hadapan kami bukanlah berdiri sebuah mushalla, tapi sebuah masjid yang menempati hampir separuh lantai atas mall tersebut. Kamar mandi yang bersihpun membuat rasa kagum yang berbeda dalam benak kami. Juga tempat wudhu yang terpisah dengan kamar mandi serta tempat wudhu wanita yang benar-benar tertutup dan langsung bertemu dengan pintu masuk yang berbeda dengan pintu masuk utama.

Dalam hatiku berkata, ruangan besar yang berdiri di hadapanku bukanlah mushalla. Ini adalah sebuah masjid. Ternyata aku masih menemukan masjid di sebuah pusat perbelanjaan di negeri kelahiranku. Menunggu suamiku menunaikan kewajiban lima waktunya juga merupakan sebuah penantian yang tidak membosankan. Tempat duduk laki-laki dan perempuan yang terpisah membuat penantianku nyaman untuk melakukan aktivitas sampingan. Sampai akhirnya suamiku selesai menunaikan shalatnya dan kamipun menunggu temanku dan isterinya yang juga sedang menunaikan kewajiban llima waktu mereka.

Menyusuri lorong-lorong di mall itu untuk menuju jalan keluar bersama dengan suamiku beserta temanku dan isterinya, ada rasa tak terdefinisikan dalam ruang hatiku. Rasa senang, mungkin. Juga rasa syukur. Ternyata, negeri kelahiranku masih menyisakan ruang untuk kenyamanan melakukan aktivitas penghambaan pada Sang Khalik. Sekalipun itu juga di pusat-pusat perbelanjaan yang selama ini kukenal sebagai tempat yang tidak terlalu bersahabat dengan aktivitas itu.

@Chiba, February 2008

http://ingafety.wordpress.com