Hari itu seperti biasa, dia yang terbungkus pakaian putih itu sedang duduk di sajadahnya. Mulutnya bergerak-gerak melantunkan dzikir kepada Tuhan-Nya. Wajahnya pun sama seperti hari-hari sebelumnya. Putih bersih, bercahaya… Menggambarkan kebeningan hatinya. Kau tahu apa yang paling kusenangi untuk dilakukan saat melihatnya seperti itu? Aku akan berbaring dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Sambil menengadah melihat wajah teduhnya yang menenangkan. Enak sekali rasanya saat itu, sulit diungkapkan. Terlebih saat ia berdoa untuk kebaikan diriku.
Dan setelah dia menyelesaikan doanya, aku akan segera mencium tangannya, juga kedua pipinya. Hhm… Wangi sekali. Dan seperti biasanya dia hanya akan tersenyum, apalagi jika kugoda dengan ucapan, ” cantik sekali hari ini. ” Ingin tertawa rasanya jika mengingat wajahnya saat itu. Oya, dia memang jarang berbicara, karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya bisa berbahasa jawa. Dia adalah nenekku…
Umurnya sudah mencapai 1 abad, melebihi umur bangsa ini jika dimulai dari kemerdekaannya. Sehingga dia termasuk saksi hidup pergiliran generasi di negeri ini, sejak zaman penjajahan, hingga zaman reformasi. Tapi kujamin jika kau lihat langsung dirinya, kau akan terkagum-kagum dibuatnya. Bagaimana tidak? Dengan umur segitu, fisiknya masih bagus. Dia tidak memerlukan tongkat atau kursi roda untuk berjalan. Dia bahkan mencuci beberapa pakaiannya sendiri. Penglihatan dan pendengarannya juga masih bagus. Dia bisa mengenali delapan cucunya dengan baik, tanpa tertukar. Begitu juga ingatannya. Dia masih bisa bercerita tentang masa kecilku, yang membuatku tersenyum karenanya. Dia senang sekali mengulang-ulang perkataan yang seringkali kuucapkan saat kecil jika aku melakukan sebuah kesalahan, ” Ga sengaja.. ga sengaja kok. ” Dan yang paling hebat adalah, dia bisa menyebutkan satu persatu hari kelahiran (hari jawa, seperti sabtu pon dan sebagainya) cucunya dengan baik. Tidak cuma delapan cucunya dari ibuku, karena ibuku adalah anak bungsu. Semua cucu-cucu dari semua anak-anaknya! Jumlahnya mungkin mencapai sekitar 25-an.
Tapi itu semua tidak terlalu menakjubkan bagiku, dibandingkan hal ini. Dia suka sekali bersedekah. Uang yang didapat dari cucu-cucunya selalu ia simpan dengan rapi. Hanya digunakan seperlunya saja, untuk dibelikan jamu atau balsem kesukaannya. Sebagian besar dia sedekahkan. Seringkali dia menitipkan uang untuk kusedekahkan ke masjid atau ke orang-orang yang memerlukan, dengan mewanti-wanti supaya aku tidak menceritakannya kepada ibuku. Dia juga suka melakukan shaum (puasa) sunnah. Begitu juga shalat malam, bahkan membuatku malu sebagai laki-laki yang masih kuat dan sehat. Biasanya saat bangun tengah malam, dia akan mandi terlebih dahulu, dengan air panas di termos yang sudah disediakan kakak perempuanku, yang diletakkan di dekat tempat tidurnya.
Mungkin pola hidup seperti itulah yang membuatnya tetap sehat di usianya. Ditambah satu rahasia lagi, yang baru kutemukan belakangan: hatinya selalu tulus, dia tidak pernah mendengki terhadap orang lain. Tak pernah kudengar ucapannya terhadap orang lain (dalam Islam disebut ghibah). Itu membuatnya menikmati hidup. Selalu tersenyum dan tidak pernah bermasalah dengan orang lain. Bahkan semua orang menyukainya.
Aku sempat berangan-angan dulu, untuk mengenalkannya dengan pasanganku kelak. Walaupun juga ada kekhawatiran, mengingat usianya yang sudah sangat tua. Ah, betapa bahagianya jika bisa menjalani hidup dengan wanita-wanita hebat dan kukagumi: nenek, ibu dan isteriku, begitu pikirku saat itu. Tapi takdir Allah telah mendahului keinginanku. Dia dipanggil sekitar 3 tahun yang lalu. Meninggalkan kenangan indah dan banyak pelajaran bagi diriku, dan kami, keluarga yang ditinggalkannya.