Telah lewat tengah malam. Demamku baru saja turun, setelah diberi obat lewat selang infus. Keringat bercucuran, seiring suhu tubuh yang menurun. Aku pun sepenuhnya terjaga. Saat itulah, kudengar suara rintihan pasien lain.
Tempat tidurku hanya dibatasi tirai tipis dengan tempat tidur bapak tua di sebelahku. Tak jelas apa yang ia ucapkan. Namun sepertinya ia memanggil-manggil nama anaknya. Aku tahu, anaknya tidur di sebelahnya, menggelar tikar yang dibawa dari rumah. Mungkin karena kelelahan seharian menunggui ayahnya, ia tak juga terjaga.
Entah sampai jam berapa ia memanggil-manggil. Namun, entah karena pengaruh obat yang mengalir bersama aliran infus, aku pun kembali tertidur.
* * * * *
Siang itu. Kembali bapak tua itu memanggil-manggil. Namun kali ini sang anak rupanya sedang di kamar mandi. Agak lama ia memanggil. Cukup lama, sehingga bapak tua itu tidak tahan, dan akhirnya buang air besar di tempat tidur. Sang anak, begitu keluar dari kamar mandi, dibantu perawat, segera membersihkan bapak tersebut. Saat itulah aroma tak sedap meruar dengan pekat. Mulai saat itu, bapak itu dipaksa untuk mau menggunakan pampers.
Karena hanya dibatasi selembar tirai tipis, aroma tak sedap dari kotoran manusia itu menembus ke tempat tidurku. Tertatih-tatih, aku bersama isteriku keluar kamar, sambil menenteng tabung infus, untuk mencari udara segar. Aku tidak gusar kepada bapak itu. Namun justru iba luar biasa. Namun aku juga tak tahan dengan aroma tak sedapnya. Di ruang lobby, aku dan isteriku tersenyum kecut, terdiam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ashar. Aroma tak sedap sudah lama berlalu. Aku sholat sambil berbaring, berharap kesembuhan hanya kepadaNya. Meresahkan biaya perawatan. Bertanya-tanya, mengapa penyakit menderaku tiba-tiba. Berpikir tentang dosa. Menebak-nebak tentang kebersihan harta. Menjaga pikiran, agar tetap berbaik sangka kepada-Nya. Dan juga bersyukur. Ya, bersyukur.
Di balik segala musibah, sesungguhnya tersembunyi berbagai nikmatNya. Kita tinggal menyibak satu dua lipatan, dan tiba-tiba menemukan mutiara yang akan membuat kita bersyukur.
Tidakkah aku mesti bersyukur, bahwa DIA Yang Maha Berkehendak masih memberikan sakit yang tidak separah bapak tua yang tidur di sebelahku? Dengan KuasaNya yang tanpa batas, tentu DIA mampu memberikan sakit apapun kepada siapapun. Namun DIA hanya memberi beban sesuai kesanggupan hambaNya.
Ada lagi yang mesti kusyukuri. Aisyah r.a. berkata, aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada suatu apa pun yang menimpa seorang mukmin, walau duri sekalipun kecuali Allah menuliskannya sebagai kebaikan atau dihapusnya kesalahan."(HR Bukhari dan Muslim)
Ah, semoga Dia berkenan melebur dosa-dosaku yang menggunung. Setidaknya mengurangi.
Dari Abi Said dan Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
"Tidak menimpa seorang muslim dari lelah, tidak pula suatu sakit, tidak pula gelisah, tidak pula sedih, tidak pula suatu penyakit, tidak pula susah, sampai pada duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan karenanya kesalahan-kesalahannya."(HR Bukhari)
Bukankah ujian adalah sebagai tanda dari cinta-Nya kepada hamba-Nya?
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberi ujian."(HR Bukhari)
Dan orang tua di sebelahku ini, yang secara fisik telah lumpuh sebelah, dan hampir sepenuhnya tergantung kepada orang lain, bukankah sedang melewati saat-saat peleburan dosa?
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Tidaklah dari seorang muslim yang tertimpa penyakit, sakit, atau yang semisalnya, kecuali Allah SWT merontokkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana rontoknya pohon akan daun-daunnya.” (HR Bukhari)
Dan bukankah ini merupakan ladang amal yang luar biasa bagi anak-anaknya?
Dari Abdullah bin Mas’ud katanya,
"Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama dan dicintai Allah? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Pertama shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah" [Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9].
Bukankah bakti yang akan diberikan anak tak akan mampu menandingi kebaikan orang tuanya?
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan, orang tersebut bertanya kepada, "Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?" Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, "Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu" [Shahih Al-Adabul Mufrad No.9].
Bukankah telah masyhur dan begitu sering kita mendengar, bahwa ridho Allah tergantung kepada ridho orang tua?
"Artinya: Dari Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)].
Jadi, tidakkah penyakit yang diderita orang tua di sebelahku ini merupakan jalan bagi Allah untuk juga memuliakan anak-anaknya, di samping jalan untuk membersihkan dosa sang bapak dan menyempurnakan amal-amal bapak itu sendiri? Bukahkah hakikah hasanat alias kebaikan yang sering kita pinta dalam doa-doa kita adalah ketika terbukanya pintu-pintu ketaatan?
Dan aku pun teringat orang tuaku, yang begitu mendengar aku dirawat di Rumah Sakit, langsung meluncur dengan kendaraan umum, dari Bogor ke Bekasi. Betapa besar kasih sayang mereka, dan betapa kecil dan lemahnya baktiku selama ini.
Aku pun teringat SMS yang bertubi-tubi dari kerabat dan sahabat, yang mendoakan kesembuhanku. Serta kunjungan yang mengalir terus, disertai berbagai buah tangan yang melimpah. Sungguh besar perhatian mereka.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar Rahman)
Sabruljamil.multiply.com