Kita sering berpapasan dengan orang-orang. Tetapi, pernahkah kita memperhatikan raut wajah mereka lebih dalam, sedikit saja? Saya pernah mencobanya, hanya mencoba melihat sedikit lebih dalam raut wajah orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan saya. Sedikit menyelidik, kira-kira ada cerita apa di balik raut wajah mereka?
Ada cerita panjang. Saya yakin itu, ketika pandangan saya mendarat di seraut wajah tirus yang hitam, suatu saat. Dia sedang duduk tanpa ekspresi di atas becaknya. Rambut kritingnya yang sudah hilang separuh di bagian depannya seperti tak sempat lagi ia rapihkan, melengkapi gambaran cerita yang tidak begitu menggairahkan. Semangat untuk menawarkan jasa becaknya pun nyaris tidak ada ketika saya mendekat ke arahnya. Mungkin dia sadar kalau saya memang tidak menunjukkan ingin memakai jasanya, dan dia benar.
Saya tidak kenal siapa abang becak itu, apalagi mengetahui cerita panjang hidupnya. Tetapi saya yakin gurat-gurat pada raut wajahnya adalah gurat-gurat kesusahan. Saya berlalu melewati abang becak yang termenung itu sambil menghadirkan bayangan tentang kehidupannya, kira-kira. Bagaimana dia makan setiap harinya? Bagaimana ia menjadi suami dari isterinya? Cukupkah hasil membecak memenuhi kebutuhan harian keluarganya? Bagaimana ia menyekolahkan anak-anaknya? Lalu, bagaimana ia membimbing isteri yang menjadi tanggung jawabnya? Mengajarkan hal-hal bijak pada anak-anaknya? Wah, panjang sekali… dan saya tak yakin pertanyaan-pertanyaan itu ideal terjawab.
Kalau sudah seperti itu, hanya rasa perihatin yang saya rasakan. Tak lagi mampu berbuat lebih. Terkadang do’a saya terucap, semoga dia memiliki kesabaran yang panjang sehingga kesusahan itu bisa berimbal kebaikan.
Di lain kesempatan saya mencoba melihat sedikit lebih dalam wajah-wajah para pengamen yang hampir setiap hari saya nikmati genjreng petikan gitarnya dan fals suara nyayiannya. Mereka adalah para pemuda usia produktif. Setiap hari berkeliaran di belantara kota Jakarta, bermain gitar dari satu bis ke bis lain. Bernyanyi di antara deretan penumpang yang (mungkin) sedikit lebih beruntung dari mereka.
Lalu, saya mencari gurat wajah mereka yang begitu ekspresif menjiwai lagu yang dinyanyikannya. Bahagiakah mereka dengan apa yang mereka kerjakan? Memang menjadi pengamenkah cita-cita mereka? Apa yang membawa mereka ke dunia seperti itu? Apakah mereka bagian dari anak-anak yang lari kecewa dari kedua orang tuanya yang broken home? Dan seterusnya… tidak hanya khayal yang hadir di kepala saya, rasa haru kemudian menyelimuti hati saya.
Saya yakin, jadi pengamen bukan cita-cita mereka. Kalau mereka begitu menikmati lagu yang dinyanyikan, mungkin itu adalah upaya mereka melupakan kesusahan yang mereka rasakan. Lalu, tanya saya sampai kepada siapa yang bertanggung jawab atas nasib mereka? Sayakah? Wah, saya tidak tahu. Dalam kapasitas apa saya bertanggung jawab atas nasib mereka? Kemudian saya mengingat-ingat siapa yang sebenarnya punya tanggung jawab, maka hadirlah dalam benak saya mereka-mereka yang telah berani mengikrarkan diri untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Berani memimpin rakyat negeri ini berarti berani menanggung semua keluh kesah mereka, berarti berani menerima tuntutan mereka ketika mereka melakukan perhitungan, di manapun, dunia atau akhirat.
Astaghfirullah… hanya sedikit lebih dalam saja saya mencoba melihat persoalan di balik wajah-wajah anak negeri ini, telah saya temukan persoalan yang begitu menggunung es. Betapa dekatnya kita dengan permasalahan tetapi begitu jauhnya dari jalan keluar. Dari keprihatinan ke keprihatinan yang lain begitu akrab kita rasakan, tetapi antara kepedulian dengan kepedulian yang lain begitu senjang. Tidak sebanding.
Akhirnya, dari balik raut wajah orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan saya, saya temukan sebuah mutiara, mutiara kesadaran. Sadar bahwa bangsa ini sangat membutuhkan penyelamat, sadar bahwa ada yang harus saya lakukan untuk bangsa ini… semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada saya dan kita semua, anak negeri besar ini! Rabbunâ Yastûr