Sepertinya kebiasaan sebelumnya, sultan sangat suka menyamar tatkala sedang turun melihat keadaan rakyat.
Dalam perjalanan yang sudah lumayan jauh dan hampir sampai pada sebuah perkampungan, di tengah-tengah jalan perbatasan kampung ia melihat seorang tergeletak yang sudah tidak bernyawa.
Namun mirisnya satu orang pun yang berlalu lalang di sekelilingnya tidak ada yang mengurus.
Kemudian sultan menanyakan mengenai seseorang yang tergeletak kepada beberapa orang yang ada di sekitar itu. Namun sebaliknya mereka menjawab dengan sinis.
“Biarkan saja. dia orang fasik, peminum khamar, dan penzina!”
“Wahai sipir, tolonglah orang itu dengan atas nama umat Nabi Muhammad Saw, antarkan jenazah ini ke keluarganya sekarang!” ujar Murad ar-Rabi iba.
Lalu jenazah itu dibopong oleh sipir dan diantar oleh beberapa orang ke alamat yang dimaksud.
Istrinya yang telah menunggu di rumah menyambut dengan isak tangis yang penuh ketegaran dan ketabahan melihat suaminya sudah meninggal tanpa ada seorang yang mengurusnya.
Sestelah itu, semua pengantar bergegas pergi meninggalkan rumahnya dan dalam hatinya tidak ada keinginan untuk mengurus jenazah.
Sang istri bertanya: “Mengapa kalian tidak ikut serta meninggalkan kami seperti orang-orang itu, wahai wali Allah?”
Murad ar-Rabi terhenyak kaget tatkala disebutkan wali Allah seraya bertanya: “Bagaimana engkau bisa menyebut kami wali Allah sedangkan orang-orang di luar sana menganggap buruk dan jelek pada jenazah suamimu ini?”
Kemudian sang istri menceritakan awal mula sebelum suami meninggalkan selamanya.
“Tidakkah engkau takut wahai suamiku, jikalau engkau terus melakukan amalanmu ini maka suatu saat engkau meninggal di tengah jalan dan saat itu juga tak ada satu orang pun yang peduli mengurus jenazahmu apalagi menshalatkanmu?”
Dijawablah oleh suamiku, “Wahai istriku, Allah Swt Maha Kuasa atas segala ciptaan-Nya. Janganlah engkau khawatir jika itu akan terjadi, yang akan mengurus jenazahku nanti adalah wali Allah dan penguasa di negeri ini. Bahkan para ulamanya pun yang akan menshalatkanku.”