Di asah menjadi seorang doktor lulusan Jepang itu memang sakit, tetapi asyik. Alhamdulillah, sidang doktor saya di Utsunomiya University tanggal 30 Januari 2009 jam empat sore sampai jam enam sore berjalan dengan lancar. Semua berkat doa dari suami, anak, sahabat diberbagai penjuru, juga keluarga di Indonesia .
Mau cerita nih, proses ujiannya.
29 Januari 2009
Berangkat ke Utsunomiya Daigaku atau singkatan kerennya Udai. Sendirian, terasa sepi karena Ade-chan, putriku delapan tahun itu tidak ikut. Kami sempat ke Udai tanggal 26 Januari dan terasa rame di perjalanan dengan Ade-chan. Hari ini berbeda rasanya.
Bermalam di rumah Mbakyu Firy, teacher training selama satu tahun setengah di Udai. Kami jadi bertiga tinggal di apato Mbakyu Firy, karena ada Ines, cewek montok dari Portugal yang juga stay di apato tersebut.
Malam dilalui dengan banyak zikr dan membaca alquran digital, suara Imam Ghamdi terdengar di telinga dan Quran digital dipegang untuk melihat translate artinya dalam bahasa Indonesia , juga melihat tulisan arabnya. Karena gelap, maka dari Al quran digital tersebut dinyalakan lampu kecilnya. Al quran yang dibuat oleh orang Korea itu, jadi teman sepanjang malam di Udai.
30 Januari 2009
Jam delapan empat puluh menit lebihnya, meluncur dengan kayuhan kaki menuju Udai selama hampir setengah jam. Jalan pagi dengan suhu dingin kisaran lima derajat, ternyata enak juga.
Sesampai di Udai, duduk manis di meja lab, lalu kembali menekuni Al quran digital sampai tiba waktu makan siang. Sesaat akan makan siang, Neng Risma yang sedang jadi mahasiswi doktor di TUAT itu datang, beserta Mas Soni dan Ade-chan. Kondisi hujan rintik-rintik, menambah senyap saja suasana menjelang ujian doctor di Udai.
Mbakyu Firy mengantarkan Mas Soni untuk ke International House Udai.
“Sholat jumatnya jam berapa Mbak Firy?” tanya Mas Soni dengan jas basah air hujan. Pakai paying sih, tapi hujannya lebih besar dari payungnya.
“Jam dua belas lima belas Mas, mari saya antar ke kaikan” bantuan dari Mbakyu Firy ini menjadi sangat berharga sekali. Selain pertama kali sholat jumat di Udai, juga pertama kali mengunjungi kampus Udai. Jadi peran seorang penunjuk jalan, sangatlah berarti luar biasa. Jazakillah khoir Mbakyu Firy.
Selang beberapa saat kemudian, Mbakyu Nuri Yusmarlita juga datang dengan baju hijau dan kerudung hijaunya.
“Maaf ya Mbak, rada nyore, belum mulai kan ? Biasalah, daku menyusui para ulat peliharaan dulu di lab” permintaan maaf sambil ngesun pipiku.
Beberapa menit kemudian, Noriko Miyamori san, Yoko san, Kazue Suzuki san, Dr. Koike Shinsuke, Chinatsu Kozakai (mantan sahabat lab lama di TUAT, sekarang S3 tahun kedua di TUAT tetapi beda sensei), Haruka Toda san (mantan sahabat lab lama di TUAT, dan sekaran S2 di lab lain), Matsu san mulai berdatangan dari TUAT dan Tokyo .
Bergegas rekan-rekan lab Koganezawa Sensei di Udai, lab tempat aku mondok setiap datang ke Udai, berdatangan dan membantu mempersiapkan ruangan. Yoshikazu Seki-kun, Marisa Murata-chan, Motokazu Kimura-kun, Naoi Nakatsugawa- san, Takanori Shigematsu-san, Yu Sasaki-kun, Michio Otani-san, Kei Okuda-kun, Akihito Yoshinaga-san, Naoki Nakayama-san, Ayako Fujutsu-chan, Chizuru Iwamoto-chan, dan Kobori-san.
“Please help me to give these hand out …” sapaku ramah pada Seki-kun yang merupakan mahasiswa doktor tahun pertama di lab Koganezawa.
“OK, Dewi-san gambatte nee…” balas Seki-kun dengan wajah terang dan tersenyum.
Jam empat lebih sedikit, Prof. Koganezawa mempersilakan aku masuk ke ruangan sidang. Hal itu terjadi karena para sensei baru selesai merapatkan ujian dari satu bimbingan Sensei juga, yang ujian pada jam dua siang.
“Which the file name Dewi-san?” Sensei bertanya sambil membuka file atas nama Dewi di laptopnya.
“File Dewi 27 January, Sensei…” jawabku santai merasa Sensei sudah menyimpan file tersebut sebagai file 27 Januari. Tetapi ternyata file dengan nama itu tak kunjung terlihat.
Hadirin sudah mulai duduk dan berdatangan ke ruangan sidang doctor itu.
Hatiku kebat-kebit, karena ternyata file tak kunjung ditemukan.
Gawat ini. Mana aku hanya mengantongi file terbaru saja. File editan satu malam suntuk tidak tidur dengan Wakahara-san di lab. Sementara file 27 Jan itu sudah aman di Sensei.
Antara file 27 Jan dan file terbaru, ada bedanya dalam ukuran grafik dan figure, juga animation. Dibuat lebih sederhana animation dari file terbaru.
“Nai yooo, Dewi-san (Gak ada nih…) “ suara tegas Koganezawa Sensei, setelah mencari file 27 jan itu di labnya. Mestinya aku kalut, tapi sebenarnya aku sudah siap dengan file terbaru. Tetapi file terbaru belum di cek oleh Sensei, karena dikerjakan sesaat sebelum ke Udai tangal 29 Jan.
Timbul sedikit ragu-ragu, karena saat menyimpan file terbaru di USB dikantung ini, ada perubahan size dari file yang tersimpan. Maksudnya file dari laptop di lab TUAT, saat di save di USB, si file menjadi lebih kecil ukurannya. Duh…
“Keluarin gak…keluarin…gak… .keluarin gak…, bismillah…keluarin deh” batinku rada ragu.
“Sensei, I bring USB and the new file” sambil memasang USB, sambil komat-kamit zikr, karena nggak begitu yakin dengan file editan tidak tidur itu.
“OK, please use that” kata Sensei, sambil heran kenapa pula file si Dewi-san kok gak ada di laptop beliau. Heran juga rada sebel, karena semua sudah fix di save pada lap top Sensei.
Sebel juga, karena aku demikian yakinnya, bahwa Sensei telah menyimpan file terakhir presentasiku dengan aman, tetapi ternyata begitu file dengan nama Dewi di buka, tidak terdapat file bernama Dewi 27 Jan itu.
Menyesal karena, aku tidak menyimpan file 27 Jan itu di USB, tetapi di dalam USB malah file utak-atik dua malam lalu. Dan tidak berniat menampilkannya karena Sensei sudah tidak ada waktu lagi buat ngecek. Duh sementara para hadirin sudah siap duduk manis begitu, dan power pointnya belum siap sedia di laptop Sensei.
Wesss, Bismillah…
Lalu presentasi pun dimulai oleh kata pengantar dari beliau, dan sidang doktor juga telah siap dengan lima orang dosen penguji dan pembimbing. Hadirin kurang lebih tiga puluh sampai empat puluh orang. Presentasi diawali dengan zikr Bismillah, lalu terucaplah judul presentasi.
“The role of Asiatic Black Bear (Ursus thibetanus) as a seed disperser in Warm and Cool Temperate Deciduous Forest ”.
Waktu presentasi selama empat puluh menit, handy camera dishoot oleh Mas Soni, dan rekaman kaset disetting oleh Neng Risma, yang alumni master dari Perancis itu. Saat empat puluh menit berlalu dengan hening, suaraku yang keras mulai menyerak alias menjadi serak-serak becek, dan diakhiri dengan tepuk tangan saat aku mengucapkan Arigatou Gozaimasu.
Tepuk tangan? Heeehhhhhhh bisa-bisanya ada tepuk tangan setelah presentasi ujian terbuka doktor?
Setelah presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab dengan hadirin termasuk Sensei penguji. Prof Kouichi Kaji yang ahli Sika Deer dan beruang itu, bertanya dengan dua pertanyaan, tetapi beranak empat pertanyaan lain. Prof Ookubo Tatshuhiro yang ahli tumbuhan itu bertanya dengan dua pertanyaan. Nuri Yusmarlita, sekretaris dua FLPJ yang sedang jadi mahasiswi research student doktor di- TUAT itu, bertanya dengan dua pertanyaan, beranak dua pertanyaan lagi.
Semua kok pada beranak pertanyaan ya? Ini pertanda penjelasan kurang bagus, kurang memadai, atau memang para penanya tersebut ingin agar hadirin mengetahui esensi dari penelitian ini, justru dari jawaban-jawabanku. Wallahu alam.
Lima belas menit tanya jawab usai sudah.
Lalu kembali tepuk tangan bergemuruh di ruangan. Kok lihat ujian terbuka doktor seperti abis nonton film lucu? badut gendut? Atau apa gitu. Hal yang tidak lazim, tetapi terjadi.
“Dewi-san please waiting here, and for all audience, please go to out side of this room. The next meeting is Close-examination. Just all Sensei and Dewi-san” komando Prof Koganezawa, pembimbingku menyuruh para hadirin agar keluar ruangan.
Jreng…Jreng…Eng Ing Eng…ni dia saat-saat yang menakutkan buatku. Tiga puluh menit adalah jadual tanya jawab detail tentang disertasi. Waktu yang baru berjalan satu menit saja menjadi terasa sangat lamban-lama-suiii tenan dan membuat jantung berolah raga.
“Hey Dewi, bismillah...ini langkah terakhir dari ujian tertutupmu. Bismillah… Allah pasti akan membantumu…” batinku memperkuat azam. Ada sms dari Nana-chan dua hari lalu, mengatakan agar menghadapi presentasi dengan terus berzikr, agar para malaikat juga hadir menaungi majlis ujian doktor tersebut.
Ada sms Ketua FLPJ yang membuat rembesan air mata haru sesaat sebelum ujian dimulai, bahwa setelah sholat jumat di Nagoya hari ini, kami semua mendoakan para mahasiswa-mahasiswi yang ujian pada tanggal 30 Januari agar dimudahkan Allah, dilancarkan Allah. Aku juga berdoa buat Mbak Dewi, kira-kira begitu isi smsnya.
Masih banyak juga sms, email dan telepon serupa yang membuat haru, memberikan support moral tak terhingga dalam kalbu untuk kuat. Alhamdulillah, banyak doa diuntai pada hari ini untuk ujian doctor si Bakka-san. Maklumlah, otakku ini tak ada isinya, bahasa Inggris-pun payah nauzubillah. Jadi, kekuatan doa suami, anak, saudara, keluarga, semua sahabat-lah yang insya allah memback-up detik-detik menakutkan ini.
“Mbak, suara saat presentasi dan suara saat menjawab pertanyaan, jangan berkurang volumenya. Bisa nggak bisa, pokoknya jawab dan tancap gas, suara jangan berubah menjadi lebih kecil. Karena dengan volume suara mengecil, dianggap Mbak Dewi ragu-ragu menjawabnya. Gambatte nee” pesan Dr. Suripto Dwi Yuwono, sempai alias senior dari Indonesia via telepon sehari sebelum ujian.
“Bude, gambatte nee” telepon khusus dari Jeng Antik, Mas Widi, dan Alya-chan sehari juga sebelum ujian, waza-waza dari Yogyakarta .
Subhanallah…dari seluruh penjuru, semua doa teruntai untuk hari dan jam ini. Jadi kuatkan hati, kuatkan perjuangan dalam menghadapi tiga puluh menit terakhir- terberat- tersesak, dalam hidupku.
Maka Bismillahi Allahu Akbar, Jreng..Jring …Jreng….pintu ruangan tertutup rapat dan tanya jawab pun di mulai.
Lagi-lagi Prof. Kouichi Kaji (TUAT), Prof. Tatsuhiro Ookubo (Udai), Prof. Matsuzawa (Ibaraki Daigaku), Prof. Masaaki Koganezawa (Udai), and Prof. Akira Kameyama (TUAT).
Tetapi setelah dua belas menit berjalan, serasa telah habis semua pertanyaan dari para penguji itu. Dan Prof Koganezawa, akhirnya mengatakan begini.
“Baiklah, bila sudah tidak ada pertanyaan lagi, maka silakan Dewi-san keluar sekitar sepuluh menit ya, kami mau rapatkan hasil ujianmu” tentu saja dalam Bahasa Jepang yang fasih dan sangat halus.
Waktu yang menakutkan tiga puluh menit tanya jawab ini, hanya berlangsung dua belas menit. Dan mulut para Sensei itu nyaris bungkam dan mereka bilang berkali-kali very good.
Dari lima Sensei, hanya satu orang memberikan revisi pada tiga lembar awal dari disertasi, dan ke empat Sensei lainnya menggeleng, pertanda tidak ada revisi.
Saat keluar ruangan, aku disambut pelukan hangat suami tercinta. Tepatnya aku yang memeluk suamiku gitu loh. Karena Mas Soni sangat pemalu, untuk memeluk istrinya di depan orang-orang.
Detik-detik menegangkan itu telah berlalu. Pendek kata, ikhtiar sudah dilakukan, sekarang tinggal menunggu hasil.
Petuah guru Bahasa Jepangku, sekaligus orang tua angkatku, Dr. Agus Suryadimulya yang mengatakan, bahwa urusan hasil, itu urusan Allah. Urusan manusia adalah urusan berusaha.
Maka waktu menunggu sepuluh menit itu menjadi waktu yang sudah tidak kuhitung lagi, karena banyak menerima sun bahagia, walau aku selalu balas, masih belum…masih dirapatkan hasilnya di ruangan dalam.
Suzuki San, nenek Jepangnya Ade-chan, menghampiri sambil menyerahkan Sekihan alias ketan merah kacang, sebagai ucapan selamat gaya Jepang dan kado berkotak-kotak makanan.
“Dewi-san please coming” pembimbingku membuka pintu ruangan ujian dan menyuruh aku masuk.
Saat aku masuk ruangan itu, maka semua sensei telah berdiri, lalu mereka satu persatu mengatakan hal yang indah di telingaku.
“Doktor Dewi-san, Omedetou Gozaimasu (selamat ya)” sapa mereka ramah, satu persatu. Senyuman para sensei tersebut, buat aku merupakan hadiah paling indah.
Terbayang betapa “pembantaian “hak asasi sebagai mahasiswi doktor di Jepang. Kilasan pedih, menerima hinaan, ejekan, bego amat kamu Dewi-san, ini pelajaran anak TK tauk nggak? Bahasa Inggris kamu, jelek banget Dewi-san. Bakka Bon (Geblek lu), tetesan air mata kepayahan, linglung tak berkesudahan, tegang tak bertepian, pelupa menjadi-jadi. Kekurangan keuangan, kehabisan beasiswa Monbusho enam bulan, hutang-hutang yang semakin bertumpukan, semua seperti kilatan cerita pedih nan indah.
Sesaat detik menerima senyuman dari para penguji itu, membuatku bersyukur pada Allah SWT. Dilapisi apa oleh Mu Ya Rob, sehingga mereka menjadi sangat baik dan friendly-yasashi hari ini. Bahkan sampai party makan susi usai-pun, senyuman masih terus mengembang dari para penguji.
Allahu Akbar, semua ini atas kehendakmu. Semua ini atas barokah dari-Mu ya Rob. Semua ini berkat bantuan sahabat-sahabat tercinta di Eramuslim, di Fuchu Koganei, di Forum Lingkar Pena Jepang, di Fahima Jepang, dan semua orang yang tak mungkin mampu diucap satu persatu. Semua ini berkat doa semua sahabat. Semua ini berkat doa Mamah Mertua Rumidjah, juga Teh Ria, yang saat aku ujian pada jam yang sama, bersujud dengan linangan air mata untuk kemudahanku, alhamdulillah tugas paling berat telah usai. Dengan semua doa yang telah terpanjatkan, semoga Allah membalas kebaikan pada semua. Jazakumullah khoiron Katsiron…
Di asah itu memang sakit, tapi ternyata asyik, alhamdulillah…
TOKYO 30 Januari 2009