Detik Waktu yang Tersia-Siakan

Dua hari menjelang Ramadhan, saya berkunjung ke sebuah pusat perniagaan tekstil di Jakarta Pusat. Pengunjung yang datang begitu berjibun. Lautan manusia begitu memenuhi setiap blok dan jalan antara yang menghubungkannya. Tak ayal, mereka terpaksa membentuk antrian panjang dan hanya sanggup bergerak inci demi inchi karena saking padatnya. Di tengah padatnya manusia itu, pedagang kaki lima yang mengobral dagangannya, tanpa henti berteriak-teriak berpromosi menjajakan dagangannya. Para juru parkir pasar juga tak kalah, berteriak memberi arahan bagi mobil dan sepeda motor yang berusaha melintasi kerumunan itu.

Saat saya keluar dari pusat perniagaan, di sepanjang jalan mulai dari parkiran hingga ke jalan-jalan utama, arus lalu lintas nampak begitu padat. Banyak orang yang berziarah kubur di area pemakaman di sepanjang jalan yang saya lewati. Banyak juga orang yang keluar berbelanja buat perbekalan sahur dan buka puasa. Dan banyak juga dari mereka yang saling berkunjung ke sanak keluarga guna meminta maaf dan mengikhlaskan hati menjelang datangnya bulan suci.

Jalanan basah ketika saya pulang dan terjebak macet yang berkepanjangan. Hujan deras telah mengguyur jalan-jalan yang saya lalui itu. Kemacetan bertambah karena di beberapa ruas jalan tergenang banjir. Di tengah kemacetan itu pun saya membatin, “Ya Allah, alangkah pendeknya umur manusia, terutama bagi kami yang hidup di kota metropolitan. Setiap hari harus berjibaku dengan aroma kemacetan yang menyita waktu, pikiran, dan tenaga. ”

***

Ramadhan kini sudah berjalan beberapa hari. Sejak datangnya Maghrib yang menandai tibanya 1 Ramadhan, saya merasakan bahwa detik-detik hari yang akan saya lalui ke depan adalah detik-detik yang sangat berharga. Lalu, terbulatlah sebuah tekad untuk menjalani detik-detik hari Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan berbagai amal shalih secara rutin dan berkesinambungan, tanpa menyisakan waktu untuk hal-hal yang sia-sia.

Namun nampaknya, kemacetan yang kembali terulang, cukup membuat saya berenung. Bagaimanakah mengoptimalkan hari di bulan Ramadhan di tengah bayang-bayang kemacetan yang kian mendera? Haruskah ada frustasi dan kekecewaan menghadapi kondisi yang ada?

Di bulan Ramadhan ini nampaknya banyak kantor yang memajukan jam pulangnya menjadi jam 16.00 seperti halnya kantor saya. Semua ingin segera pulang, berbuka di rumah bersama keluarga. Semua tumpah ruah di jalan dan kemacetan pun tampak lebih parah dibanding hari-hari biasanya. Boleh jadi, Jika ingin tidak terjebak kemacetan maka harus cepat pulang segera seusai shalat Ashar, atau menunggu dulu hingga Magrib datang menjelang.

Sebenarnya mengalami kemacetan itu adalah hal yang biasa. Namun aura Ramadhan ini, memberikan sensifitas yang berbeda. Saya merasa rugi telah melewatkan 90 menit berharga karena lamanya perjalanan yang saya tempuh itu. Andai waktu selama itu digunakan untuk tilawah Quran, boleh jadi bisa melampui setengah hingga satu juz untuk ukuran yang lambat bacaan qur’annya seperti saya. Alangkah berlipat pahala yang bisa didulang dari membaca huruf-huruf Qur’an yang satu hurufnya bernilai sepuluh kebaikan itu. Terlebih membacanya di bulan Ramadhan ini, Allah pasti melipatkan pahalanya dengan lipatan pahala yang luar biasa. Alangkah ruginya saya yang telah melewatkan detik-detik berharga itu dengan hanya berkonvoy di tengah kemacetan yang parah.

Dulu, saya sempat beberapa tahun menjalani Ramadhan di kota-kota yang bebas dari kemacetan, sungguh saya merasakan penghematan waktu 2-3 jam sehari adalah penghematan yang sangat signifikan. Saya bisa mengoptimalkan waktu untuk mencapai target-target ibadah yang telah ditetapkan. Namun tampaknya kini, target-target itu perlu direvisi agar tidak jomplang dengan realisasinya.

Saya mencoba berhitung, waktu yang terlewatkan 2-3 jam sehari (dengan asumsi berangkatnya juga mengalami kemacetan, dan hari libur juga digunakan untuk bepergian) sama dengan 1/12 hingga 1/8 dari waktu kerja. Jika usia manusia rata-rata berkisar 63 tahun, dan kita bekerja selama lebih kurang 30 tahun, maka waktu yang saya habiskan di jalanan adalah sekitar 2, 5-3, 8 tahun. Jumlah waktu yang tidak sedikit.

Apakah Allah menilai waktu yang berlalu itu dengan sia-sia, tanpa ada kebaikan di dalamnya? Allah Maha Adil. Ia memberikan peluang yang sama bagi setiap hamba untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Baik yang miskin atau kaya, yang ditimpa kemacetan atau tidak, yang bersepeda motor atau bermobil, yang bersopir pribadi atau tidak, dan lain-lain. Di balik kondisi apapun yang dialami oleh seorang hamba, Allah memberikan peluang kebaikan yangsama, antarasatu dengan lainnya.

Hal pertama yang harus saya sadari, bahwa Allah mengukur kegiatan dari niat yang terbersit di dalam hati. Jika suatu kegiatan diniatkan untuk ibadah, maka ia bernilai ibadah. Sebaliknya, jika tidak, maka ia tidak bernilai ibadah.

Hal kedua, Allah itu Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Allah SWT memberi peluang kepada hamba dengan bentuk-bentuk amal shaleh yang secara esensi mampu memperpanjang usia sang hamba dan bisa mengkompensasi waktu yang terbelanjakan dengan “percuma” itu. Allah menyediakan peluang amal shaleh yang pahalanya tiada terputus meski yang bersangkutan telah meninggal dunia, yaitu ilmu yang bermanfaat, anak yang shalih, dan amal jariyah. Termasuk dalam kategori ini adalah mengajarkan ilmu, mendakwahi masyarakat, mendidik anak, dan mewakafkan harta.

Ibadah dan kerja adalah dua hal yang menyatu, tidak ada pembedaan di dalamnya. Jika dua hal ini dikhotomikan, alangkah meruginya para buruh (termasuk buruh migran) yang waktunya dari pagi hingga petang tersita untuk bekerja semata. Alangkah mirisnya mendengar penuturan mereka yang harus menahan buang kecil/besar demi memenuhi tuntutan jumlah jam kerja. Dan alangkah miris pula, menunaikan shalat fardhu pun dianggap oleh sang majikan sebagai hal mengurangi produktivitas. Ini adalah ujian bagi mereka. Insya Allah jika mereka memiliki niat yang bersih bahwa bekerja untuk ibadah, kemudian dari uang yang terkumpul sebagian dimanfaatkan untuk sedekah jariyah dan sebagian untuk menafkahi keluarga secara halal dengan harapan menjadi anak yang shaleh, maka Insya Allah pahala yang diperoleh pun tidak putus-putus.

Demikian halnya dengan mereka yang terjebak kemacetan di jalan-jalan raya, jika sejak awal mereka membulatkan tekad bahwa bekerja adalah ibadah, maka kemacatan di jalan pun hendaknya dihayati sebagai bagian dari bekerja yang bernilai ibadah itu. Niat ini harus selalu mengemuka dan menjadi penghayatan terbesar dalam menjalani sebuah aktivitas. Karena di sanalah nilai kehidupan itu disandarkan.

Niat yang benar dan tulus akan menghindarkan hamba dari keburukan. Jika memang niat yang tertancap itu benar, tentu kemacetan pun tidak akan berbuah kesia-siaan. Kita bisa lewatkan dengan berdzikir, mendengar lantunan Quran, bertafakkur, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang terlihat yang ujungnya adalah membesarkan nama Allah di manapun kita berada.

Hal ketiga, di bulan Ramadhan yang mulia ini, Allah memberi satu peluang terbaik. Pahala dilipatgandakan dan Allah menyediakan satu malam spesial yang nilainya lebih baik dari seribu bulan yang setara dengan 83, 3 tahun. Inilah kesempatan emas untuk mengkompensasi dari waktu-waktu yang kita rasa terbuang percuma dan sia-sia.

Sungguh bahwa Allah itu Maha Adil dan Pemurah. Peluang yang terbuka adalah sama bagi setiap hamba. Akhirnya, semua itu berpulang kepada kita. Makna hidup dan nasib kita ke depan adalah tergantung dari persepsi kita dalam memaknainya. Waktu yang kita belanjakan, bernilai ibadah atau tidak, tergantung persepsi atau niat kita. Menjadi sia-sia atau tidak, tergantung pula bagaimana kita memaknainya. Danapakah kita tergerak untuk bersegera di dalam kebaikan atau tidak, juga bergantung darikedalaman persepsi yang kita miliki.

Semoga kita memiliki niat yang benar dalam setiap memulai dan menjalani aktivitas kita, kita tujukan semua aktivitas itu untuk beribadah dan menggapai ridho-Nya. Amin.

Waalahua’lam bishshawaab
([email protected]).