Derita dan Ikatan Hati

Allah Engkau dekat, penuh kasih sayang.

Takkan pernah Engkau biarkan hamba-Mu menangis.
Kerena kemurahan-Mu, karena kasih sayang-Mu.

Hanya bila diri-Mu ingin nyatakan cinta pada jiwa –jiwa yang rela dia kekasih-Mu
Kau yang selalu terjaga yang memberi Segala.
Allah Rahman Allah Rahim, Allahu Ya Ghoffar Ya Nurul Qolbi

Di setiap nafas di segala waktu.
Semua bersujud memuji memuja asma-Mu
Kau yang selalu terjaga yang memberi Segala.
Allah Rahman Allah Rahim, Allahu Ya Ghoffar Ya Nurul Qolbi

(Cahaya Hati, Opick)

***

Beberapa hari terakhir ini, saya mendapat beberapa kabar yang cukup memilukan. Kabar pertama, ada seorang muslimah yang menderita tumor usus, yang memerlukan penanganan operasi segera. Taksiran biaya untuk operasi itu adalah sekitar 50 juta rupiah. Suatu jumlah yang tidak kecil tentu saja. Bahkan jumlah yang sangat besar untuk ukuran dirinya yang berprofesi sebagai guru SD swasta biasa. Suaminya adalah karyawan rendahan yang jumlah penghasilan setiap bulannya juga kurang memadai. Terlebih mereka juga memiliki tanggungan berupa dua orang anak yang kecil-kecil yang memerlukan biaya perawatan dan pemenuhan kebutuhan yang cukup besar.

Muslimah itu ─beserta suami dan anak-anaknya, menghuni sebuah rumah kecil di sebuah perumahan di kecamatan Bojongkulur, Kabupaten Bogor. Rumah kecil itu mereka beli tatkala kondisi perekonomian mereka masih memungkinkan. Boleh jadi dulu, mereka memiliki usaha yang cukup bagus sehingga mereka bisa menyisihkan uang buat cicilan rumah. Karena kondisi ekonomi yang makin sulit dan memburuk, usaha mereka pun kolaps dan kini mereka akhirnya hidup sederhana dengan pemenuhan kebutuhan yang ala kadarnya.

Karena ia tinggal di perumahan, sulit baginya memperoleh asuransi kesehatan bagi rakyat miskin (Askeskin) dari kelurahan. Aparat kelurahan itu mungkin berfikir, rasanya tidak masuk akal mereka yang mendiami rumah di sebuah komplek perumahan dikategorikan sebagai orang miskin. Itulah sebuah persepsi yang menipu. Siapapun dan dimanapun, seseorang bisa mengalami kesusahan dan derita. Faktanya mereka memang miskin. Penghasilan mereka secara kombinatif saja mungkin tidak mencapai jumlah Rp 2. 400.000,- (Rp 600.000 per orang per bulan) sebagaimana yang distandarkan oleh Bank Dunia untuk kategori orang miskin (yakni berpenghasilan kurang dari 2 USD per hari).

Karena kemiskinannya, sudah lama muslimah itu menanggung derita akibat penyakitnya tanpa ada perawatan kesehatan yang memadai. Rasa sakit dan kondisi yang makin melemah akibat asupan dan penanganan yang kurang, ia tanggung sendirian ditengah kesibukannya bekerja sebagai guru dan ibu bagi anak-anaknya. Boleh jadi ia berfikir, baginya memberikan senyum dan wajah cerah di depan saudara adalah lebih baik daripada berkeluh-kesah dan melimpahkan sebuah beban kepada orang lain. Subhanallah.

Allah tidak membiarkan hamba-Nya itu terus menangis menanggung deritanya. Sudah saatnya ujian itu berhenti dan Allah memberikan kemenangan atas ketabahan dirinya. Skenario Allah berjalan sehingga lambat laun, senyum dan wajah cerahnya itu pun mulai tergerogoti oleh rasa sakitnya yang tak tertahankan. Sahabat-sahabat yang selama ini berinteraksi dengan dirinya pun mulai curiga dan bertanya. Akhirnya diketahui bahwa kondisinya sudah amat kritis dan memerlukan pertolongan segera.

Segera saja sahabat-sahabatnya tergerak dan sigap memberikan pertolongan. Muslimah itu merasa tidak nyaman dan ingin menjual saja rumahnya–yang merupakan satu-satunya harta yang masih tersisa yang dulu diperolehnya dengan susah payah, untuk menutupi biaya operasinya. Namun beberapa sahabatnya menyarankan, rumah itu tidak usah dijual. Jika dijual, justru akan menambah bebannya di kemudian hari karena biaya kontrak rumah makin tinggi. “Biarlah kami yang mengusahakan dana operasi itu” demikian kira-kira mereka berujar kepada muslimah itu seraya menghibur.

Alhamdulillah. Sikap baik dari para sahabatnya itu mampu menjadikannya kembali tersenyum. Senyum tanda syukur oleh karunia ikatan hati dan jalinan ukhuwwah diantara mereka.

***

Kabar kedua, anak dari sahabat saya terserang Tetanus akibat giginya sering ditusuk-tusuk dengan ujung jari atau benda asing. Adalah wajar jika anak kecil merasa giginya tidak nyaman, maka ia berusaha mengkorek-korek dengan ujung jari atau benda apapun. Namun anak kecil itu tidak tahu jika rasa nikmat karena menusuk-tusuk gigi dan gusinya itu berdampak cukup serius. Puncaknya, syaraf-syaraf mulutnya tertarik tak terkontrol, sehingga wajahnya berubah menjadi agak mengerikan. Saya baru sadar, tatkala saya kecil dulu, orang kampung suka mengatakan kelainan itu sebagai “kena tamparan Jin” akibat ceroboh bermain ke daerah “kekuasaannya” tanpa izin. Itulah mitos jaman dulu yang tiba-tiba teringat ketika saya menyaksikan derita anak sang sahabat.

Sahabat saya berusaha tenang dan bersabar. Isterinya yang sedikit mengetahui pijat refleksi, mencoba memijat bagian-bagian tertentu untuk mengembalikan posisi urat-urat disekitar mulutnya. Namun rupanya serangan Tetanus itu tidak sekedar “memburukkan” wajah anaknya. Anaknya itu menjadi sensitif dan sering mengalami kejang-kejang. Kondisinya makin parah karena ia tidak bisa menerima asupan makanan.

Akhirnya, anaknya itu dibawa ke rumah sakit. Petugas rumah sakit mengatakan bahwa anaknya harus dirawat di ruang isolasi dan harus dirawat dengan perawatan khusus. Tidak ada pilihan bagi sang sahabat untuk memasrahkan perawatan kepada rumah sakit meski kondisinya sedang ditimpa kesulitan keuangan.

Sahabat saya ini memiliki tanggungan tujuh orang anak. Sebagian besar penghasilannya saat ini, habis buat keperluan sehari-hari dan cicilan rumah yang kini sedang dihuninya. Dengan kondisi seperti itu, praktis ia tidak bisa menyisihkan penghasilan. Tanpa bantuan isterinya yang berprofesi sebagai pemijat refleksi dan herbalis, boleh jadi ia mengalami defisit setiap bulannya.

Sudah hampir dua puluh hari anak itu menginap di sana, sementara tagihan kamarnya saja senilai Rp 500 ribu per hari (atau total Rp 10 juta), belum diketahui darimana sahabat saya itu harus memperolehnya. Belum biaya obat-obatan dan perawatan lainnya.

Namun sekali lagi, Allah memang tidak pernah membiarkan seorang hamba-Nya selalu dirundung derita. Allah memang dekat dan penuh kasih sayang. Allah-lah yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang sanggup memberikan segala. Beberapa sahabat yang mengetahui deritanya itu mulai mengkoordinir sebuah bantuan demi meringan beban dirinya. Mereka yang memiliki channel ke lembaga sosial atau majelis taklim, berusaha memperoleh informasi dan mengajukan dana untuk menutupi beban sahabatnya itu, disamping mereka secara pribadi berpatungan dengan masing-masing dana yang mereka miliki.

***

Muslimah dan sahabat saya itu (dan beberapa sahabat yang lain yang mengalami kasus serupa), tidak mengalami kondisi yang terpuruk karena mereka dikarunia dengan sahabat-sahabat yang baik, sahabat yang hati-hatinya telah terjalin satu sama lainnya. Ikatan hati mereka itu tentu bukan timbul dengan serta merta, akan tetapi melalui sebuah proses pembinaan (iman) yang panjang. Bisa dibayangkan mereka mereka yang hidup terpisah tanpa ikatan hati dengan siapapun, tanpa cinta dan kasih sayang dari orang-orang sekitarnya, maka mereka ibarat hidup ditengah pusaran kehidupan yang menderitakan dirinya. Tidak sekedar derita secara fisik namun juga derita secara ruhani.

Kejadian di atas mengandung sebuah hikmah, bahwa ukhuwwah dan ikatan hati adalah salah satu hal yang terbaik dan terindah dalam kehidupan seorang muslim. Selain melahirkan berbagai kenikmatan dari Allah Swt karena jalinan ta’awun dan takafulnya, ia merupakan faktor pendukung yang mengokohkan kondisi umat. Mereka bertemu karena landasan cinta, berjumpa dalam rangka taat, saling bersatu untuk mengajak kebaikan, dan saling berjanji berjuang untuk menegakkan jalan-Nya. Sebagai akibat dari ikatan hati ini maka mereka selalu diberikan cinta (oleh Allah Swt), bimbingan dan keselamatan, cahaya hati, keluasan dada, dan pengenalan yang baik akan eksistensi Allah Swt.

Semua itu adalah kenikmatan (karunia) yang tidak hanya menyelamatkan dirinya secara fisik di dunia, namun lebih dari itu menyelamatkan ruhaninya di kehidupan akhirat kelak.

Semoga kita semua berada dalam ikatan hati yang seperti itu. Amin.

Wallahua’lam bishshawaab

[email protected]

muhammadrizqon.multiply.com