2. Kesedihan (Al-Hazan)
Sedih dapat terjadi pada diri seseorang akibat masa lalu yang buruk menimpanya, seperti musibah, kecelakaan, ditinggal orang yang disayangi, dan terkait dengan masa lalu.
Dalam Islam, sedih tidak terlarang karena bagian naluri manusia, bahkan setelah berbuat dosa yang merupakan hal terpuji.
Sabda Nabi SAW: “Idza saratka hasanatuka wa sa’atka sayyiatuka fa anta mu’min”, jika kamu merasa gembira karena amal baikmu dan sedih karena amal burukmu, maka kamu beriman” (HR At-Tirmidzi). Kesedihan yang dilarang adalah yang berlarut-larut, membuat hati lemah, rasa optimistis hilang, dan menghancurkan harapan yang akan membawa keputusasaan dan membenci Allah. Hingga setan mendorong melakukan hal-hal yang dilarang.
Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang yang beriman bertawakkal” (Qs. Al-Mujadalah: 10).
Cara untuk mengatasi kesedihan di antaranya: (a) meyakini Allah selalu bersama kita, mengawasi dan memberikan kasih sayang melalui nikmat-Nya; (b) meyakini kehidupan dunia adalah sementara, tidak kekal. Kaum sufi mengajarkan untuk meletakkan dunia dalam genggaman, bukan di hati; (c) melihat ke bawah dalam urusan duniawi yang ada pada orang lain; (d) dan agar sedih tidak berlarut adalah dengan sabar dan shalat.
3. Lemah (Al-‘Ajz)
Lemah di sini berarti tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, namun menundanya di lain waktu atau melakukan perbuatan yang tidak tuntas.
Lemah bersifat umum meliputi urusan dunia dan agama. Antonimnya adalah al-hazm, yaitu tekad dan berkemauan keras. Dalam Hadis tersebut:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم)
“Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan lemah. Jika tertimpa suatu musibah, jangan engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan begini begitu. Tapi ucapkan: ‘Ini ketentuan Allah. Setiap apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan” (HR Muslim).
Setiap Muslim dituntut untuk kuat imannya, yang berarti mampu melaksanakan perintah, meninggalkan larangan, dan melakukan amalan tersebut hingga selesai, tidak menundanya.
Ibnu ‘Atha berujar, “Pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!”
Sabda Nabi SAW: “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap” (HR Muslim). Tambah Ibnu Umar ra.: “Bila engkau di sore hari, jangan menunggu datangnya pagi. Bila engkau di pagi hari, jangan menunggu datangnya sore. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, waktu hidupmu sebelum matimu”.