Suatu sore di kantor, saya berbincang dengan salah seorang redaktur senior. Dalam pembicaraan singkat tersebut, saya melemparkan joke tentang kasus salah tangkap polisi terhadap Kemat cs. Diekspos secara gencar di media massa dan elektronik, saya menuangkan pandangan tentang topik tersebut di salah satu surat kabar.
"Isin tenan. Ini kasus yang kesekian," tutur saya kepada redaktur tersebut.
"Tak mengherankan. Sebab, bangsa kita mengalami degradasi moral yang amat akut," timpalnya.
Kata degradasi moral itulah yang saya garis bawahi dan membuat saya merenung agak lama seusai perbincangan tersebut.
Tidak hanya dalam institusi seperti Polri, bahkan segala aspek masyarakat kita pun telah mengalami penurunan moralitas yang kronis.
Dalam kasus salah tangkap itu, betapa polisi sangat ceroboh dalam bertindak. Mereka telah mencederai aturan main yang bahkan mereka buat sendiri. Entah atas alasan ingin kasus tersebut segera tuntas atau mendapat pujian masyarakat luas karena pelaku cepat tertangkap, polisi masih saja menggunakan "cara lama" untuk mengungkap suatu kasus.
Bangsa kita selalu senang menggunakan kata "profesional" dalam setiap motonya. Nyatanya, itu seperti kosmetika belaka. Suka memakai tapi tak paham betul substansinya. Celaka.
Bangsa kita terjebak oleh arus kapitalis. Masyarakat kita kembali diingatkan pada torehan pena pujangga Ronggowarsito: yen ora melu edan, ora keduman (jika tak ikut gila, tak kebagian). Serakah, itulah gambaran bangsa kita sebenarnya.
Jatuhnya moralitas bangsa ini memang tak seheboh terpuruknya pasar finansial global. Namun, perlahan tapi pasti, bangsa ini akan terbawa gaya gravitasi alias menukik.
Kita dengan mudah terlalap iklan. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme nyaris tak terlepaskan dari masyarakat kita. Kita terkungkung pada kemasan, tanpa mengindahkan substansi isi. Beli karena keinginan, bukan kebutuhan, itulah bangsa ini. Orang kita mengaku pintar, tapi mudah diperalat orang asing. Bangsa ini mengaku kaya, tapi kekayaan melimpah itu tidak dinikmati oleh warganya.
Banyak guru yang berteriak atas nama perjuangan hati nurani untuk nasib mereka, tapi mutu pendidikan negeri ini tak kunjung membaik. Kita saling menyalahkan antara birokrasi dan individu tanpa mau instrospeksi terhadap titik kelemahan yang tentu saja mutlak kita miliki. Wajar jika wajah pendidikan bangsa ini begitu buram. Sebanyak 210 juta populasi di Indonesia menjadi salah satu angka terpadat di dunia. Sayang, angka buta huruf, kemiskinan, dan pengangguran tercatat sangat tinggi dibandingkan negara di tingkat Asean saja. Masya Allah.
Allah tak pernah salah membuat takdir atas sebuah bangsa. Sebab, tidaklah nasib suatu kaum itu berubah, kecuali mereka mengubahnya sendiri. Artinya, Allah pun mengajarkan kita mandiri dan tak putus berusaha.
Itu sesuai dengan firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).
Ketika kejujuran menjadi barang langka di negeri ini, akankah masih ada orang yang tulus ingin mengoleksinya? Kejujuran adalah benang merah untuk menambal degradasi moral tersebut. Bukan hanya bangsa ini, tapi juga hati kita, hamba Tuhan yang tak luput dari khilaf dan dosa. Jujur itu mudah, tapi bersuara jujur di negeri ini justru dimusuhi. Sudahkah kita jujur pada diri sendiri?
Surabaya, Oktober 2008
[email protected]