Tiba-tiba keharuan menyentak di kalbu. Ada gurat kesedihan yang begitu kental dirasakan para sahabat tepat di saat berlalunya bulan mulia Ramadhan.
Dari Jabir radhiallahu‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Jika malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap langit dan bumi, beserta malaikat ikut menangis. Mereka bersedih karena bencana yang menimpa umat Muhammad saw. Para sahabat bertanya, ‘bencana apakah ya Rasul?’ Jawab Nabi, ‘Kepergian bulan Ramadhan.’ Sebab di dalam bulan Ramadhan segala doa terkabulkan. Semua sedekah diterima. Dan amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya, penyiksaan sementara di hapuskan.”
Ada nilai penting yang bisa kita petik dari hadist diatas sebagai bahan muhassabah; Adakah kita pernah berhenti sejenak untuk merenungkan betapa bulan kemuliaan itu telah berlalu pergi? Apakah kita merasakan kehilangan yang teramat dalam atas berlalunya karunia Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan ampunan? Atau pernahkah kita menelisik ke dalam diri akan sabda Rasul, tentang celakanya orang yang melalui Ramadhan namun masih belum memperoleh ampunan? “Ba’udaman adraka ramadhaana fa lam yughfarlahu. Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni” (HR. Hakim dan Thabrani)
Hal inilah kemudian mengundang rasa khauf dan roja’ para sahabat dan orang-orang shalih di tengah kepergian Ramadhan. Rasa khauf itu muncul, karena mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan telah pergi. Sedang jenak kesedihan melalui Roja’ muncul dari kerinduan yang amat sangat dengan Ramadhan yang akan datang. Maka mereka, para generasi terbaik umat ini menangis, meluapkan ketakutan sekaligus harapan kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.
“Wahai Rabb kami, terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Tidak sampai disitu. Para sahabat dan orang-orang shalih tidak hanya berdoa di akhir Ramadhan. Mereka meratapi kepergian Ramadhan dengan keimanan di dada. Bahkan, konon, rasa khauf dan roja’ membuat mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal mereka di bulan Ramadhan diterima Allah SWT. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.
Lalu bagaimana dengan kita? Adakah kita seperti mereka-mereka yang terdahulu, yang meratapi kepergian ramadhan dengan keimanan di dada? Atau adakah kita seperti sahabat nabi yang menangis siang dan malam karena kuatir Ramadhan yang telah dilalui tidak memberi makna pada diri? Atau pernakah terlintas bagaimana jika seandainya ramadhan kemarin adalah ramadhan yang terakhir buat kita?
Allahu Rabbi. Hilal kian beranjak. Sabit berganti Separuh bulan. Lalu bergeser menjadi Purnama. Dan sampai pada Ijtima’. Allah… Ramadhan-Mu berlalu pergi. Ampuni hamba, tetapkan pahala dan ridho untuk hamba. Allahumma innaka ‘afuwun, tuhibbul ‘afwa fa’fuanna.
Terima kasih ya Allah atas nikmat Ramadhan yang telah Engkau beri pada kami. Selepas Ramadhan ini, perkenankan kiranya Kau jadikan kami bagian dari hamba-Mu, yang menyelesaikan buku kehidupannya dengan baik. Yang senantiasa menjaga sikap Khauf dan Roja pada-Mu. Yang senantiasa menjadi hamba Rabbaniyun, yang Istiqamah beramal shalih. Bukan hamba Ramadhaniyun—yang baik amalnya hanya pada bulan Ramadhan.
Allah, kepada-Mu kutitipkan setangkup khauf dan roja’ ini bersama air mata yang menitik perlahan. Dengan segala kerendahan hati pertemukan kami kembali dengan Ramadhan-Mu yang akan datang.
Dea Tantyo
Universitas Padjadjaran