Sering ketika pulang kerja larut malam sampai dini hari, salat subuh saya banyak yang bolong. Menyesal? Pasti. Jika sudah sampai di rumah, rasa capai dan kantuk yang berat mengalahkan niat untuk bisa mengerjakan salat subuh. Jujur, saya kangen untuk bisa melakukan ibadah ini dengan berjamaah.
Suatu ketika pukul setengah satu pagi, saya sengaja tidur di kantor dan membawa tas berisi baju takwa dan handuk kecil. Alarm di ponsel saya aktifkan pukul tiga seperempat. Saat itu, saya berniat untuk bisa mengikuti salat subuh berjamaah di Masjid Al-Akbar, Surabaya.
Mungkin, karena terlalu bersemangat, saat alarm sudah berbunyi, saya menyegerakan untuk mandi di kamar kecil di kantor dengan handuk kecil yang sudah saya siapkan sebelumnya. Meski, wajah saya agak sedikit pucat karena menahan kantuk karena hanya sempat tidur sekitar dua jam.
Sesampai di Masjid Al-Akbar, suasana sangat lengang. Kemeja dan celana jeans sudah berganti dengan baju takwa. Saya mau laporan dengan atribut ibadah yang indah dan sopan. Setelah wudhu, rasa kantuk sudah hilang. Di masjid yang termasuk salah satu termegah di Asia Tenggara itu, hanya terisi satu shaf saja. Itu pun hanya ada sekitar sembilan jamaah, termasuk saya.
Namun, dengan jamaah yang sedikit tersebut, tidak mengurangi kekhusyukan salat kami. Nikmat sekali. Tidak terbayang jika shaf salat subuh di masjid tersebut terisi penuh. Tidak ada rektor dan tidak pula mengenal cleaning service. Jika sudah ruku bersama-sama sampai mengucap salam lalu menyalami, semua terasa menyatu. Satu dalam persaudaraan.
Selesai mengikuti salat jamaah, saya mencari sarapan di sekitar daerah Pagesangan. Uang di dompet hanya tersisa Rp 35 ribu. Teringat, uang tabungan Rp 825 ribu yang sedianya untuk berkurban terpakai untuk biaya ibu saya berobat diabetes awal bulan ini. Kebutuhan yang mendesak membuat kesempatan berkurban tahun ini harus tertunda. Namun, saya bersyukur.
Rasa syukur di waktu subuh itu membawa saya ke ketakjuban yang tidak pernah terduga. Sesampai rumah pukul setengah enam pagi, saya berniat untuk tidur babak kedua. Namun, saya diminta saudara untuk mengantarkan ke Sidoarjo. Karena dipaksa, akhirnya tetap saya antar. Menyetir motor agak seliat-seliut. Sebab, saya memang agak mengantuk.
Tiba di rumahnya, saya dikasih uang Rp 50 ribu, untuk bensin katanya. Ya, alhamdulillah saya terima. Tapi, karena tidak dibolehkan pulang dulu, saya pun istirahat di rumah saudara saya tersebut. Ketiduran sampai pukul sepuluh pagi, setelah bangun saya salat duha sebentar kemudian mau pamit pulang. Eh, ndilalah, sebelum pulang saya dikasih amplop lagi sama sauadara saya itu. "Iki opo?" tanya saya kepadanya. "Duwitmu sing tak silih bien, " ujarnya. Setelah saya hitung, jumlahnya lima ratus ribu rupiah. Ya Allah, saya nyaris lupa kalau tiga bulan lalu pernah meminjamkan uang kepada saudara saya itu.
Jarak Surabaya-Sidoarjo yang cuma sekitar 45 menit membawa berkah Rp 550 ribu. Karena sudah niat ingin bisa berkurban, uang tersebut tidak saya utak-atik. Tapi, bisakah nominal sebesar itu dapat dibelikan kambing? Bisa!
Alhamdulillah, awal bulan ini kan sudah gajian. Jadi, saya tinggal menambahi Rp 200 ribu dari gajian itu untuk menutup kekurangan yang Rp 550 ribu tersebut.
Allahu akbar! Matur nuwun ya Rahman, ya Rahim.. Saya bisa berkurban tahun ini. Jumlah itu sangat berarti bagiku, ya Allah. Andai daging kambing tersebut dapat membuat Engkau tersenyum saat dibagikan pada duafa dan anak yatim, maka dekatkanlah kami pada-Mu.
Eko Prasetyo (Jawa Pos)