Kala Iedul Fitri tiba, lantunan “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar” bergema di jagad alam ini. Takbir, Tahmid dan Tahlil tak henti-hentinya dilantunkan Ummat Islam, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang tak terhingga.Yaitu syukur setelah sebulan penuh kita ditempa dalam ‘madrasah Ramadhan’ yang sarat nilai dan makna. Begitu agung pesan-pesan Ramadhan yang hendak Allah sampaikan kepada insan yang beriman. Melalui beragam ‘amaliyyah ‘ubudiyyah seperti shaum, tilawah Al-Qur’an, shalat tarawih, zakat, infak, sedekah, i’tikaf (kontemplasi), Allah ingin agar pesan-pesan Ramadhan itu kita tangkap, hayati dan diaktualisasaikan dalam keseharian hidup kita, sehingga, kita semua diharapkan menjadi insan yang bertakwa dengan segala dimensinya.
Pada titik ini, tampaknya kita harus merenung sesaat, sudahkan kita meraih tujuan dari Shaum Ramadhan kita? Ataukah nanti di hari Iedul Fitri itu menjadi antiklimaks amaliyyah ubudiyyah kita? Kalau demikian keadaannya, maka Ibadah Ramadhan yang penuh nilai dan makna ini tidak akan menjadi apa-apa dan hanya akan jadi pepesan kosong belaka. Tentu kita tidak ingin Ramadhan ini menjadi ritual tahunan yang kosong tanpa makna. Kita tak ingin ibadah Ramadhan kita seperti tong sampah yang nyaring bunyinya.
Kita semua sudah mafhum bahwa tujuan utama Ibadah Puasa Ramadhan ini adalah taqwa. Ketaqwaan ini sangat luas makna dan cakupannya. Ia meliputi segala aspek kehidupan seorang Muslim. Kendati demikian, setidaknya Al-Qur’an dan sunnah telah mengisyaratkan dimensi ketaqwaan yang harus dijadikan pegangan seorang Muslim.
Pertama, taqwallaah (3:102), yaitu bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, yakni taqwa lahir dan batin. Dengan bertaqwa kepada Allah, diharapkan seorang Muslim mempunyai sikap hanya takut dan berharap kepada-Nya. Dengan demikian, secara horizontal maka ia tak perlu cemas dan khawatir lagi terhadap apa yang akan menimpa dirinya. Ia hanya akan bersandar sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dalam dirinya terpatri sikap bahwa Allah lah sebagai ¬Almaula (penolong) satu-satunya. Sikap takut terhadap Allah berbeda dengan sikap takut terhadap makhluk. Karena sikap takut kepada Sang Khalik justru akan memunculkan sikap roja (berharap) terhadap rahmat dan kasih sayangNya. Allah sendiri memproklamirkan diri-Nya bahwa ramat-Nya itu meliputi segala hal, tanpa kecuali.
Kedua, taqwannar (66:6), yakni takut terhadap api neraka yang disediakan bagi orang-orang yang bermaksiat dan durhaka kepada Allah. Menghindarkan diri dari api neraka ini dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga. Jika masing-masing keluarga melakukan fungsinya sebagai lembaga pengendalian amar ma’ruf nahyi munkar, niscaya akan muncul masyarakat yang saleh, yang tidak bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, lingkungan rumah sebagai tempat bersemainya pondasi-pondasi keluarga haruslah sebuah lingkungan yang menyenangkan. Maka, Islam menggagas konsep ‘Baiti Jannati’, rumahku surgaku.
Ketiga, taqwa al-arhaam (4:1), yakni taqwa silaturrahim. Maksudnya, menjaga diri terhadap hubungan sosial kemasyarakatan. Ketaqwaan ini berangkat dari sikap dasar manusia yang menurut sosiolog Muslim Ibnu Khaldun sebagai masyarakat sosial. Di banyak hadits Rasulullah secara affirmative mendudukkan ibadah sosial ini lebih utama ketimbang ibadah shalat malam dan puasa sekalipun. Diceritakan bahwa ada seorang wanita yang kala malam tiba ia dirikan shalat malam. Dan kala siang menjemput ia berpuasa. Lalu diceritakan bahwa wanita itu kerapkali menyakiti tetangganya. Dan Rasulullah pun mengatakan bahwa pada diri wanita sama sekali tak ada kebaikan.
Keempat, taqwa adzulmu, yaitu menjaga diri dari tindakan zalim terhadap orang lain. Kezaliman adalah perbuatan yang sangat dilarang Allah. Bahkan Allah sendiri telah mengharamkan kazaliman atas diri-Nya. Selain dapat memantik kerugian di dunia, kezaliman akan menjadi petaka bagi kita di Hari Kimat nanti. Rasulullah bersabda, “Bertawqallah kalian terhadap kezaliman. Sesungguhnya kezaliman itu kegelapan di Hari Kiamat nanti.” (HR. Muslim)
Kelima, taqwa an-nisaa, yaitu berhati-hati terhadap wanita. Sikap kehati-hatian ini bukan berarti Islam memojokkan wanita. Tapi karena memang Allah telah memberikan daya tarik dan anugerah luar biasa pada diri wanita. Sehingga betapa banyak kesuksesan seseorang yang jatuh akibat wanita. Sebaliknya, wanita juga dapat menjadi motivator bagi kesuksesan seseorang. Ada banyak cerita masa lalu yang terjadi di masa Bani Israil, seperti kisah rahib Israil yang mengobati wanita kemudian berzina sampai hamil dan membunuhnya, sampai akhirnya musyrik karena menyembah syetan. Hal inilah yang dipesankan oleh Rasulullah, “Bertaqwallah kalian terhadap wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama kali pada Bani Israel itu adalah wanita.” (HR. Muslim)
Keenam, taqwa al-fitnah (8;25), yakni berhati-hati terhadap azab atau petaka baik di dunia ataupun di akhirat. Allah mengisyaratkan kepada kita bahwa petaka dunia ini, baik yang berupa bencana alam ataupun krisis dan wabah penyakit, merupakan akumulasi dosa kolektif ummat manusia. Maka ketaqwaan terhadap fitnah ini dituntut agar kita memiliki tanggung jawab amar ma’ruf nahyi munkar. Sebab, kesalehan personal saja tidak cukup untuk menghindarkan dari petaka alam ini. Kita memerlukan kesalehan kolektif sehingga bencana alam dapat dihindari sedini mungkin.
Demikianlah sebagian dimensi taqwa yang merupakan pesan Ramadhan, yang harus kita jadikan wasiat di kehidupan kita selanjutnya, sehingga tujuan Puasa Ramadhan untuk mencetak insan yang bertaqwa benar-benar dapat diwujudkan, bukan sekadar ritual tahunan yang tak menghasilkan apa-apa. Tentu kita tidak ingin pesan Ramadhan kita sekadar rasa haus dan lapar semata, karena jika itu yang kita raih, maka apakah hewan sekalipun bisa melakukannya.Wallahua’lam.