dan Juga untuk Bapak

Beberapa hari lalu, kita sama-sama tahu kalau diperingati hari ibu. Saya dengan sangat antusias menulis tentang ibu. Betapa saya sangat mencintainya. Sosok panutan dan sahabat bagi saya hingga sering saya tak sanggup merangkai kata untuk menggambarkannya. I luv my mom… So much. Saya ingin seperti dia. Saya ingin menjadi dia… saya ingin membahagiakan dia, saya ingin mewujudkan cita-citanya.

Tapi kemudian saya sadar, dia tak lengkap tanpa sosok bapak. Lalu, kenapa tidak ada hari bapak? He, pertanyaan standar anak kecil yang hingga kini tak mampu saya jawab.

Sosoknya juga panutan, juga sahabat… Mengingatnya menguras air mata saya, mengajak saya terus berpikir dan malu.

Rasanya tak akan sanggup untuk mengikuti jalan hidupnya. Keras, lelah dan prihatin.

Aaah, lagi-lagi saya akan cengeng mengingat ini semua. Ada perasaan menyesal menyembul di dada saya hingga hari ini rasanya pikiran itu masih ada.

Dahulu, ketika beliau masih ada, saya sering memprotesnya, tidak menerima argumen darinya, tidak segera menunaikan perintahnya, beberapa kali bentrok, hingga saya punya keinginan untuk kabur dari rumah.

Saya sering merasa bapak saya kolot, terlalu keras, dan memaksakan kehendak. Yah, pikiran anak yang memasuki masa-masa SMU. Pikiran seorang anak yang egois, mau menang sendiri dan merasa orangtua tidak pernah mengerti. Walau kemudian akhirnya, kesadaran itu hadir ketika tinggal terpisah dengannya sewaktu kuliah dan waktu membantu saya mengenal dirinya.

Sering merasa hanya bisa tertegun ketika mendengar kisah hidupnya. Mencoba mengaitkan begitu iritnya beliau ketika mengeluarkan uang. Begitu kerasnya didikan kepada anak-anaknya dan banyak hal yang ternyata baru saya ”baca” di kemudian hari. Ternyata, beliau menginginkan yang terbaik untuk kami. Klise memang… Tapi memang begitu.

Ketika beliau pergi, rasanya sebagian dari diri saya hilang. Saya merasa tak sanggup lagi berdiri sambil terus bertanya-tanya. Sambil terus merasa tak percaya. Bagaimana tidak, hingga akhir hayatnya, beliau masih menyisakan 2 naskah revisi yang harus saya ketik.

Setiap huruf-huruf yang tereja, seperti berbicara pada saya. Begitu juga, dengan banyaknya benda peninggalan beliau. Lemari buku dengan koleksi buku yang jumlahnya entah berapa, tulisan-tulisan di agenda ketika dia berhaji, bekerja, berorganisasi, baju koko, sarung dan pecinya, setumpuk naskah buku sekolah, dll.

Semua gerak-gerik beliau di rumah seperti terekam kembali dalam setiap ingatan saya padanya. Ketika dia menulis, ketika dia membaca, ketika dia mengimami shalat, ketika dia menggendong saya dari lantai atas saat saya masih kecil. Obrolan kami di malam-malam ketika menemani saya menulis angka semasa SD hingga obrolan politik ketika saya sudah beranjak dewasa. Hingga senyumannya ketika saya wisuda, satu setengah bulan sebelum kematiannya.

Kalau mengingat semua, rasanya menyesal. Bukan menyesal dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Tapi, menyesal karena saya merasa belum memberikan yang terbaik kepadanya. Menyesal, karena pernah membantahnya, menyesal karena sering debat dengannya, menyesal pernah kabur dari rumah, (walau akhirnya cuma numpang tidur di rumah kakak), menyesali tingkah polah saya yang pernah membuatnya marah. Saya merasa diri ini belum menjadi anak yang baik dan sesuai harapannya.

Tapi, bukankah masih ada waktu. Berbagai kesempatan untuk menjadi anak yang solehah. Kesempatan untuk meneruskan cita-citanya, memanfaatkan warisan ilmu darinya.

Tentunya kesempatan untuk lebih mencintainya… Dengan kondisi saat ini…

Hmmm, kali ini… Hari ibu tak hanya saya dedikasikan untuk ibu tercinta, tapi juga untuk bapak…

Tanpa memperingatinya tentu saja hal itu harus tetap ada.

Novi_khansa’kreatif
http://akunovi. Multiply. Com
http://novikhansa. Rezaervani. Com/