dan di Sengata Juga…

Hari Ahad yang sangat terik! Matahari benar-benar menajamkan sinarnya, membuat beberapa fatamorgana di jalan beraspal yang saya lalui menuju pom bensin satu-satunya di kota Sengata. Bahkan ketika volume AC di kabin mobil sudah saya full-kan, tetap saja masih terasa gerah. Sebenarnya saya agak malas kalau harus keluar rumah di cuaca seperti ini. Namun karena jarum penunjuk bahan bakar di mobil Nissan saya sudah di garis akhir yang berwarna merah, dan sore ini harus menghadiri undangan seorang kerabat, akhirnya berangkatlah saya.

Seperti biasa, sangat sulit mendapatkan kesempatan untuk tidak mengantri sebelum mendapatkan bahan bakar. Sepertinya arus distribusi BBM belum sepenuhnya normal di sini. Sambil menunggu antrian, tak sengaja mata saya melihat kepada segerombolan orang yang berdiri, tepat di sebelah kanan pom bensin. Sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu. Melihat hampir semua dari mereka menenteng dirigen kecil, barulah saya ngeh, ternyata mereka sedang mengantri minyak tanah.

Dari media cetak hingga elektronik, betapa sering saya menyaksikan, banyaknya antrian panjang manusia mengantri minyak tanah. Bahkan tak jarang, berujung dengan pertengkaran bahkan perkelahian. Mungkin di Sebabkan karena sama-sama tidak mau mengalah dan ingin cepat-cepat di layani. Apalagi badan yang sudah terlalu letih karena kelamaan menunggu di antrian. Pernah suatu kali saya menonton di TV, di Jakarta, ada yang mengantri minyak tanah dari subuh sampai sore. Itupun dalam jumlah yang dibatasi. Subhanallah…

Bagi yang mampu dan rezekinya luas, mungkin takkan pernah tahu, bagaimana sulitnya perjuangan untuk mendapatkan hanya beberapa liter minyak tanah. Karena mereka kebanyakan sudah memakai bahan bakar gas elpiji, yang tidak perlu repot menuang ke kompor dan peralatan tak berlepotan warna hitam. Tapi bagi yang kurang mampu, ya tidak ada pilihan selain harus mengantri. Kalau tak mau, bisa-bisa dapur tak mengepul.

Tingkat perekonomian di Sengata, boleh dibilang tinggi. Standar harga bahan pokok termasuk sayur dan ikan sudah mengikuti standar gaji ‘orang perusahaan’. Artinya, m-a-h-a-l. Masyarakat menilai, gaji orang – orang perusahaan itu tinggi-tinggi. Maklum, Sengata terkenal dengan penghasil emas hitam terbesar di dunia, dan ada perusahaan besar bermarkas di sini. Tetapi bila dibandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran yang juga ‘tinggi’, ya sama saja. Masuk ama keluarnya sama besarnya. Akan jauh bedanya bila dengan ‘gaji Sengata’ tapi tinggalnya di Yogya, misalnya. Ketika kami berkunjung ke Yogya, di sana dengan uang lima ribu rupiah saja, sudah bisa dapat nasi campur lengkap gudeg dan ayam dengan nasi porsi kuli (karena banyaknya). Sedangkan di Sengata, harga sebungkus nasi kuning standar sarapan pagi dengan lauk telor saja rata-rata sudah tujuh ribu rupiah. Mmm….begitulah…

Saya bergerak pelan meninggalkan pom bensin dengan tangki yang sudah terisi penuh. Sekilas saya lirik antrian di tempat orang-orang yang mengantri minyak tanah tadi. Bukannya berkurang, malah semakin panjang jalurnya. Padahal sinar matahari masih terik memanggang kepala. Ternyata, tak perlu menengok jauh-jauh di daerah lain, karena di Sengatapun orang-orang harus mengantri untuk mendapat minyak tanah. Seperti yang saya saksikan barusan. Dalam hati saya mengucap syukur padaNya, atas kelapangan untuk keluarga kami. Semoga untuk mereka yang mengantri, diberikanNya juga kemudahan dan kesabaran…Amiin.

Pendidikan, akhir Feb’08

http://yunnytouresia.multiply.com