Beberapa hari yang lalu, mertua saya datang ke tempat tinggal kami. Seperti biasanya, tiap datang beliau pasti membawa aneka makanan kesukaan kami beserta makanan baru hasil buruan beliau. Kami biasa menyebutnya hasil buruan karena oleh-oleh itu memang benar-benar hasil jerih payah Obaa San dalam mencari makanan halal baru yang bisa kami makan. Jerih payah yang merupakan bagian dari wujud cinta dan kasihnya kepada kami.
Pada awal masa perburuannya, Obaa San seringkali harus menelan pil pahit kekecewaan karena pas kami cek ulang, ternyata ada salah satu bahannya yang tidak bisa dimakan dan beliau belum tahu. Bila demikian, biasanya beliau akan membawa pulang kembali oleh-olehnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Obaa San semakin paham seluk beluk makanan kami dan jarang sekali salah beli. Kecuali untuk makanan yang memang dia sendiri tidak yakin sedari awal; tapi tetap dibeli dengan harapan coba-coba mana tahu setelah dicek ternyata bisa dimakan.
Hari itu, Obaa San datang ke rumah membawa bingkisan baru lagi. Bingkisan cantik dalam tas souvenir kecil yang bertuliskan “Chocolate by the Bald Man- Max Brenner”. Sambil meletakkan bingkisan tersebut, Obaa San bilang “Ini coklat murni kesukaanmu”. Kubuka tas bingkisan tersebut dan ternyata isinya tidak kalah cantik dan menariknya dari tas pembungkusnya. Sekotak kaleng kecil berisi coklat milk dan sebungkus mungil coklat murni 100% yang mengundang selera. Saya lihat sepintas kandungannya tidak masalah. Dan karena saya terburu-buru mau berangkat kerja, saya amankan bingkisan tersebut sambil berujar bahwa saya akan makan nanti bersama anak dan suamiku.
***
Malam harinya, setelah selesai makan malam, anak sulung saya mengambil bingkisan coklat yang saya letakkan dipinggir meja makan kami. Anak saya berteriak senang:
“Wach, Ibu! Ada coklat….bisa dimakan ya?”
“Bisa, tadi dibelikan sama Obaa San”.
“Dibuka ya?” sahut anak saya lagi sambil mengeluarkan kaleng & kotak coklat dari dalam tas souvenir. Sementara, saya sendiri sibuk membereskan meja dan sisa makanan bekas makan malam.
Rupanya, tanpa saya sadari, anak saya terlebih dahulu membaca bahan kandungan yang ada didalam kemasan belakang coklat. Dan tiba-tiba dia berteriak kaget:
“Ibu, coklat ini kan tidak bisa dimakan?!” “Hah?! Kenapa?” saya terkejut sekali mendengar pernyataan anak sulung saya itu.
Ditanya demikian, anakku langsung memberikan penjelasan dengan penuh semangat.
“Lihat Ibu, dibelakang kemasan ini tertulis kalau coklat ini buatan Israel. Israel kan yang banyak berbuat buruk ke orang-orang Palestina! Jadi kita tidak boleh makan coklat ini karena dari Israel; dan Israel sudah banyak membunuh bayi-bayi seperti yang ada dalam lagu itu!” Rupanya lagu We will not go down sangat membekas dihati anak saya. Melihat Ibunya bengong, anak saya menyambung lagi:
“Ayo, Ibu taruk diatas kulkas biar tidak diambil adik!”
Saya melongo dan terpana mendengar penuturan anak sulung saya, yang usianya baru 6 tahun itu. Sungguh saya tidak menyangka melihat reaksinya yang demikian lugas; mengingat bahwa coklat adalah salah satu makanan favoritnya. Saya juga tidak mengira bahwa dia sedemikian hapalnya dengan kebiasaan Ibunya. Saya biasa menyingkirkan makanan diatas kulkas yang tingginya hampir 2 meter bila ada bingkisan yang kami dapat, dan belum tahu statusnya. Hal tersebut saya lakukan terutama agar anak kedua saya yang masih kecil tidak merengek-rengek setiap ada makanan baru yang belum jelas.
Saya mengambil bingkisan coklat yang diulurkan anak sulung saya. Tiba-tiba anak saya berujar lagi, “Ibu, besok bilang ke Obaa San ya kalau kita nggak boleh makan coklat itu!”
“Eh..iyya..” jawab saya sedikit tergagap karena bingung bagaimana mau menyampaikannya.
Sebuah kondisi yang dilematis. Terus terang, saya tidak akan sanggup memasukkan coklat itu ke mulut saya karena bayangan para bayi korban kebiadaban Israel yang selalu terbayang jelas di mata saya. Dan rupanya, rasa empati itu juga tumbuh di hati anak sulung saya. Sempat terpikir oleh saya untuk menghadiahkan coklat itu ke orang lain saja agar tidak menyinggung hati mertua. Tapi bila itu kami lakukan, pasti mertua mengira bahwa kami menyukai coklat itu. Dan kemungkinan besar mertua saya akan lebih sering membelikan kami bingkisan coklat yang sama. Tentu hal tersebut juga bukan merupakan pilihan yang menyenangkan buat kami.
Tapi seandainya saya harus menjelaskan alasan yang sebenarnya, terus terang saya takut menyinggung perasaan Ibu mertua. Beliau sudah susah payah mencarikan makanan favorit kami, dan sudah yakin bahwa itu halal kandungannya tapi tetap ditolak. Duch, kepala saya mendadak pusing. Akhirnya saya biarkan saja bingkisan itu tergeletak diatas kulkas sambil memikirkan jalan keluar yang terbaik.
***
Waktu terus berjalan dan saya mulai lupa akan bingkisan coklat diatas kulkas sampai suatu hari mertua datang lagi kerumah. Saat kami sedang asyik menonton acara anak-anak di televisi, tiba-tiba anak sulung saya bicara:
“Obaa San, coklat yang diatas kulkas itu nggak bisa dimakan loh!”
Deg!!! Saya terhenyak mendengar penuturan anak saya. Saya seperti diingatkan akan PR coklat yang belum saya selesaikan. Tapi sudah terlambat dan saya hanya bisa menyesali kecerobohanku sendiri, yang membiarkan bingkisan coklat tetap bertengger di atas kulkas sebelum ada jalan keluar yang paling pas.
“Loh, kenapa?!” tanya Obaa San terkejut.
“Karena itu dari Israel” kata anakku lugu.
Spontan Ibu mertua melihat kearahku dengan tatapan mata bingung dan menuntut penjelasan. Sungguh saya tidak siap ditembak langsung seperti itu. Saya mencoba tersenyum sambil menguatkan hati dan lidah saya yang tiba-tiba terasa sangat kaku. Saya berusaha mengumpulkan segenap keberanian dan meneguhkan hati. Saya mencoba menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati saya ungkapkan secara terus terang bahwa hati saya tidak sanggup makan coklat itu, karena coklat itu mengingatkan saya akan pembantaian terhadap bayi-bayi tak berdosa yang dilakukan oleh Israel.
Saya lihat reaksi Ibu mertua yang seperti berusaha sekuat tenaga untuk mencoba memahami perasaan saya. Setelah terdiam beberapa saat, beliau berkata “Oh, bayi-bayi Palestina itu ya?”
“Iya!” jawab saya sedikit lebih mantap. Alhamdulillah, rasanya beban yang beberapa hari ini bersemayam di hati mulai terasa ringan.
“Oh kalau begitu nanti dibawa pulang lagi”, ungkapnya datar sambil menghindari bertatapan mata denganku. Sebuah ungkapan yang saya tahu didalamnya menyiratkan rasa kecewa karena coklat tanda cintanya tertolak.
Bila sudah demikian, rasanya saya tak sanggup melihat beliau kecewa untuk yang kesekian kalinya. Saya hanya mampu berdoa dalam hati sambil tetap meneguhkan diri; agar suatu saat saya bisa berbagi kebahagiaan dengan beliau. Sebuah kebahagiaan hakiki yang akan mengantarkan beliau kepada indahnya cahaya Islam, InshaAllah.
Fukuoka, Musim Semi 2009.
Obaa San = Nenek