Mendengar alunan lagu Sunda yang bertutur tentang seorang anak sedang mencari ibunya, bocah enam tahun itu berkaca-kaca. Matanya tak sedikit pun beralih dari monitor komputer, di mana lagu sendu itu ditayangkan. Dan ketika lagu tersebut habis, tangan mungilnya cekatan menggeser-geser lantas menekan mouse, untuk mengulang kembali lagu yang baru didengarnya tersebut.
Semula aku geli melihat tingkahnya. Ia, yang mulai lancar berbahasa Melayu, ternyata masih merekam memori tentang bahasa Sunda. Bahasa lokal dari tempat di mana ia dibesarkan sejak usia dua bulan hingga lima tahun. Tapi senyumanku urung terkembang, ketika ia mengutarakan isi hatinya.
“Kangen ya Ma, sama Ibu.”
Sepenggal kata yang mampu membuat hatiku terpana. Ia merindukan pengasuhnya, khadimatku, yang akrab ia sebut dengan panggilan ibu. Betapa ikatan antara ia dan pengasuhnya demikian kuat terbina, hingga satu tahun berpisah, tak mampu menghapuskan ingatan tentang ibu di hatinya. Bahkan, ingatan itu sekarang seringkali berubah menjadi rindu yang mendalam.
“Kok Ibu ngga ikut ke sini, Ma? Kenapa? Ibu kan keluarga kita, ” lanjutnya.
Aku menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
“Iya, Sayang. Mama juga kangen sama Ibu. Meskipun Ibu keluarga kita, tetapi Ibu memiliki keluarga lain, yang jauh lebih membutuhkannya. Mereka tidak mau kehilangan Ibu. Sama seperti kita. Dan Ibu sudah semakin sepuh, Nak. Sudah semakin tua. Jadi Ibu ngga bisa lagi bepergian jauh. Nanti Ibu kecapekan, ” jelasku. Mencoba memilih kata-kata yang mudah dimengertinya.
Jangankan dia, yang sepanjang hari bersama perempuan paruh baya itu. Di mana waktu kebersamaan mereka jauh lebih banyak daripada kebersamaanku bersamanya. Yang ketika sakit, Ibulah yang lebih dulu tahu, dibandingkan aku, ibu kandungnya. Yang ketika sedih, Ibu yang senantiasa hadir menghiburnya.
Aku, yang cuma sekedarnya saja bergaul dengan perempuan asli Sunda itu, seringkali juga merasakan rindu yang menusuk. Merindukan masakannya, yang selalu membuatku berselera. Aku seringkali ingin kembali mendengar pujiannya, atas baju yang kupakai. Akan kerudung yang baru kubeli. Akan senandungku, yang katanya merdu.
Tak jarang, Ibu kuajak serta jika ada tugas luar kota yang harus kutunaikan. Di sanalah rekan-rekan kerjaku mengetahui bagaimana hubunganku dan anakku, dengan pengasuhnya. Seringkali mereka salah sangka. Mereka menganggap bahwa beliau adalah orang tua atau mertuaku.
Mungkin mereka menyimpulkan demikian karena aku selalu mencium tangan perempuan tua itu, ketika aku pamit berangkat. Atau karena Ibu selalu mengantarkan kepergianku sampai ke pintu kamar hotel, seraya berucap, “Hati-hati, Neng. Semoga pekerjaannya lancar.”
Ya, kami memang seakrab itu. Aku demikian menghormatinya, layaknya orang tuaku. Di rumahku, beliaulah pengganti Ibu kandungku.
Aku tak pernah menganggapnya sebagai khadimat. Aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukan orang tuaku. Pemahaman ini pun kutanamkan pada anakku, yang mulai usia sepuluh bulan diasuhnya. Wajar, jika kemudian, mereka pun saling menyayangi, saling mencintai layaknya nenek dan cucu.
“Ma, kita telepon Ibu, yuk!” ajakan putra sulungku membuyarkan lamunanku.
Beberapa detik kemudian, kami pun sudah dapat mendengar suara yang kami rindukan.
“Neng, apa kabar? Baru semalam Ibu mimpi ketemu Thariq. Alhamdulillah, sekarang Neng telepon. Ibu sehat, Neng, Alhamdulillah.”
Aku tertegun dan kembali meyakini, betapa kuat ikatan batin antara anakku dan pengasuhnya. Air mataku pun menitik.
***
Kolej Perdana, di tengah kerinduan pada seorang Ibu di Cinunuk.
Rabb, jagalah Ibu dan sayangilah beliau sebagaimana beliau selalu berusaha menjaga dan menyayangi buah hatiku, saat menjadi amanah baginya, aamiiin