Kapankah seseorang merasa siap untuk bertobat? Jawabannya sungguh tak dapat diterka! Seorang sahabat baru-baru ini mengeluhkan prilaku kakeknya. Dengan murung ia bercerita kepada saya bahwa kakeknya, di usia yang sudah begitu senja, masih senang menonton acara-acara tidak patut. Salah satu acara kegemaran sang kakek adalah film-film India. Tanpa jengah, sang kakek asyik memelototi artis-artis Bollywood yang senang menari-nari mempertontonkan pusar itu.
Setiap kali ditegur dengan santun, memang si Kakek segera mengganti saluran televisi, dan mencari acara-acara yang lebih bermanfaat. Namun begitu seorang diri, ia kembali mengganti saluran.
“Padahal, kalau waktunya dipakai untuk membaca buku-buku keagamaan, tentu akan jauh lebih bermanfaat!” Ujar sang sahabat dengan sedih.
Penuturannya kemudian diakhiri dengan pertanyaan yang terasa menghujam, “Apakah kakek saya sudah terlambat untuk bertobat?”
Saya tercenung dengan pertanyaan itu. Memang, saya pernah membaca kata-kata Imam Ghazali, bahwa jika pada usia lebih dari 40 tahun, kebaikan seseorang masih belum mampu mengalahkan kemaksiatannya, orang tersebut harus mempersiapkan diri di neraka. Namun Saya lebih meyakini hadist berikut ini:
“Sesungguhnya Allah Taala selalu membuka tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima tobat orang yang melakukan kesalahan pada siang hari. Dan ia membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang yang berbuat kesalahan pada siang hari. Begitulah hingga matahari terbit dari barat. ” (HR Muslim).
Namun fenomena sang kakek memang menegaskan satu hal, yaitu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk menunda-nunda tobat. Saya begitu sering mendengar orang-orang yang menjadikan masa muda sebagai alasan untuk menunda-nunda berbagai peluang amal.
Imam Ibnul Jauzi dalam buku ‘Talbiis Iblis’ berkata, ‘Betapa banyak orang yang bertekad teguh, dibuat menanti-nanti’, yaitu dibuat berkata ‘nanti saja’ oleh setan. Ibnul Jauzi melanjutkan, ‘Betapa banyak pula yang berusaha untuk berbuat baik dipengaruhi setan untuk menunda-nundanya’.
Betapa sering seorang alim bertekad untuk mengulang ilmu yang dipelajarinya, dibujuk setan dengan perkataan, ‘Istirahatlah sejenak’. Setan terus menerus meniupkan kecintaan pada kemalasan dan penundaan amal. Bahkan betapa sering setan datang pada ahli ibadah di waktu malam ketika akan shalat malam dengan bujukan, ‘Waktu malam kan masih panjang? Tundalah shalatmu!’ Sampai-sampai shubuh datang dan dia tidak shalat malam!
Saya berkata dengan hati-hati, “Tergesa-gesa dan menunda-nunda memang termasuk pintu masuk setan. Demikian pula berpanjang angan-angan. Sebagian manusia menyebutnya “hambatan terbesar”. Apa maksudnya? Sebagian orang meletakkan satu perkara yang dianggap harus diprioritaskan sebagai hambatannya, lalu misalnya berkata, ‘Kalau aku selesai sekolah, baru –insya Alloh– aku akan bertobat!’
“Tapi setelah selesai sekolah, dia berkata, ‘Kalau aku sudah mendapat pekerjaan itu, aku bertobat’. Kemudian ketika diperoleh pekerjaan dia tidak bertobat juga.
“Demikianlah selanjutnya, dia menyatakan hambatan berikutnya, ‘kalau aku berhaji … kalau aku menikah …kalau…. Kalau…. ’Terus-terusan dia meletakkan satu hambatan di hadapannya, dan menunda-nunda serta hidup dalam berpanjang angan-angan. Akhirnya dia mati tanpa memulai kehidupan hakikinya (dengan beriltizam, memegang teguh dienul Islam)!”
Sang sahabat kemudian bertanya, “Lalu, bagaimana cara saya menghadapi kakek saya?”
Saya tersenyum. Ia menyadari bahwa kegelisahan sahabatnya ini dalam menyikapi kasus sang kakek adalah berasal dari kecintaannya kepada kakeknya tersebut. Namun jika semangat berda’wah tidak diimbangi dengan kesabaran, yang mungkin akan tampil bukanlah cinta kasih seorang da’i, melainkan kekasaran sikap dan kata-kata. Kalau sudah begini, da’wah tidak akan menghasilkan sesuatu yang produktif. Salah-salah malah membuat orang menjadi antipati.
Saya kemudian menjawab, “Kalau memang kita sudah berupaya maksimal, upaya itu harus dikembalikan kepada Allah yang menguasai hati dan pikiran.
“Ini akan menjaga kita dari sikap ghurur apabila dakwah kita mendapatkan kemenangan dan menjauhkan kita dari berputus asa jika menemui kegagalan.
“Untuk saat ini, cobalah carikan kegiatan alternatif untuk sang kakek. Ajak beliau sholat lima waktu di Masjid. Ajak kegiatan-kegiatan pengajian. Sekarang ini hampir setiap Masjid mempunyai kegiatan pengajian rutin. Ikuti kegiatan-kegiatan tersebut.
“Barang kali yang menjadi musuh utama kakek adalah justru waktu luang yang tak termanfaatkan. ”
Saya melanjutkan, dalam al-quran Surat Al-Ankabut ayat 69 yang kurang lebih sebagai berikut:
‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan’.
“Berjihad di sini artinya bersungguh-sungguh atau berusaha untuk sungguh untuk mencari keridhoan-Nya, berusaha menuju kepada-Nya, untuk memohon hidayah-Nya.
“Imam Ghozali mengatakan dalam kitabnya, ‘Mujahadah adalah kunci hidayah, tidak ada kunci hidayah selain mujahadah’
“Kita harus menyadari bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah, karena ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. ’ (Al-Qashash:56)
“Jangan sampai merasa gagal. Rasulullah juga tidak pernah gagal ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah. Kegagalan adalah jika kita sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya karena dosa atau kita sendiri yang terpental dari aktivitas dakwah.
“Namun, jagalah selalu optimisme. Sebab perjalanan belum berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di sini. Masih ada harapan untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar. ”