“Seekor keledai yang penampilannya seperti keledai pada umumnya, diajak oleh seorang panglima perang, dengan gagah sang keledai ikut berperang mengikuti sifat pemberani sang panglima penunggangnya. dari perang kecil ke perang dahsyat, dari satu perang ke perang lainnya. tak terasa dia sudah mendampingi panglimanya selama 30 tahun, dan tak satupun kekalahan yang dialaminya. hingga sang panglima menjadi raja, dan dia menjadi “Keledai”, ya, tetap menjadi keledai. Sang keledai setelah ikut berperang 30 tahun, ternyata dia tetap menjadi keledai. tapi dia menyandang tambahan nama, “sang keledai panglima”, yang bisa memberinya nilai tambah (added value) bila ada orang lain yang menginginkannya. meskipun dia tetap keledai, dia bukan keledai biasa”.
Sepenggal cerita dalam proses interview di salah satu perusahaan di Yogyakarta lalu, yang interviewernya seorang motivator dan juga dosen di kota tersebut. (yang baru ketahuan setelah akhir proses interview)
Setumpuk buku yang bersandar di atas sebuah meja kayu jati, tampak bersih dan licin, dari yang tipis ‘setipis’ kamus bahasa, sampai yang tebal yang entah berjumlah berapa ratus atau mungkin ribu halaman, membuat semakin ‘berat’ melewati waktu diruangan itu, sebelum ada pertanyaan “kamu tahu perpustakaan terbesar di dunia”???. Entah bingung, nervous, atau saking ‘blank’nya mendapat pertanyaan nyeleneh dalam proses interview, saya jawab dengan setengah sadar, “eee google pak”????!!!!####……
“Pintar kamu, siapa yang ngasih tahu kamu, jangan-jangan kamu sudah pernah interview dengan saya.” duh, bener toh jawabannya. “saya kalau interview orang tidak akan tanya ‘background’nya dulu, tapi wawasannya terkini dulu. saya tidak akan tanya kesungguhan kamu untuk bisa bergabung dan bekerja pada perusahaan ini, toh kamu sudah ngasih jawaban dengan hadir hari ini. tapi apa kamu yakin, perusahaan ini akan bisa menjadi besar?”
“yakin pak, perusahaan bisa menjadi besar, akan lebih besar daripada kerja keras karyawannya…” jawaban formalitas, he3X. yang tadinya udah punya persiapan jawaban ‘baku’ menghadapi interview, jadi percuma kalau pertanyaannya modelnya seperti ini. “emm saya ada cerita, nanti akan saya pertanyakan lagi jawaban kamu, apa kamu yakin dengan jawaban kamu.” Lalu terceritalah tentang seekor kuda milik sang jendral Napoleon, seperti yang tertulis diawal, kurang lebihnya seperti itu.
“apakah kamu mau akan tetap menjadi karyawan kalau perusahaan ini bisa besar nantinya????” sebuah pertanyaan langsung, selagi masih tertegun dongengnya. Lalu, “kamu tidak akan menemukan kelebihan pada jalan yang datar”. jujur malah makin bingung. Baru kali ini, menghadapi dan menemui pertemuan formal seperti di ruang keluarga. banyak kalimat yang ingin diberikan sebagai jawaban, namun kawatir akan tidak menghormati dan karena begitu tingginya ekspektasi mendapatkan pekerjaan, yang terucap hanya “mau pak..”, “hidup itu belajar pak, kita tidak akan pernah cukup dengan apa yang diberikan dunia, dan kita pun tidak akan menjadi berkekurangan dengan apa yang tidak diberikan oleh dunia. kita hanya perlu bersyukur ketika punya musibah, dan bersabar ketika yang kita punya melimpah, semua itu bukan milik kita pak.” kira-kira seperti itu jawaban saya dalam hati, he3X. jawaban sesungguhnya cuma itu tadi, mau pak.
“saya suka sama kamu, sepertinya kamu orang jujur.” sepertinya?????!!, masa cuma sepertinya. “kamu tahu, hidup itu belajar, jangan lalui hari dengan tidak belajar, kamu sekarang seperti ini, besok siapa tahu. saya ini dosen dan pembicara di seminar-seminar, saya sering bertemu orang yang ingin belajar dan ingin lebih baik. dan hari ini saya bertemu kamu, walau sepertinya kamu tidak kawatir dengan masa depan kamu, kamu harusnya kawatir dengan apa yang tidak bisa kamu lakukan hari ini. sekali menyianyiakan waktu, kamu tidak akan dapat menggantikannya di waktu kapanpun”. duh, ternyata punya pemikiran yang hampir sama. tapi dia tidak tahu, kalau saya saat itu sedang kawatir, kawatir kalau interviewnya selesai lewat dari jam 6 sore, bisa ketinggalan kereta, bisa hangus tiketnya. “iya pak, terima kasih. memang hidup itu belajar pak, waktu itu memang sangat berharga. terlebih bila melewati waktu dengan tidak sholat, akan menjadi hutang. saya muslim pak”. terlanjur bingung mau ngomong apa lagi, atau entah ngelantur karena terpengaruh ucapan sang dosen interviewer.
Tidak tahu kenapa, sang dosen malah terdiam. mau tidak mau saya juga ikut diam. “terima kasih, saya belajar dari kamu hari ini, saya baru sadar saya punya hutang, Astaghfirullah”. “kamu nanti tunggu saja di ruang meeting ya, nanti HRD yang akan memberitahu teknisnya”. Alhamdulillah. “terima kasih pak, saya juga belajar dari bapak hari ini”. “kamu harusnya bayar ke saya, saya sudah ngasih kuliah ke kamu”. Hah, komersialisasi dosennya muncul, tidak inget dia juga belajar dari saya, he3X. “he3X, selamat ya”. dengan gentleman shakehand dia ‘mengusir’ saya dari ruang kerjanya yang besar.
Dari tahapan tes lamaran pekerjaan yang dijalani, akhirnya sampai pada penghujungnya, penerimaan. setelah sekitar 30 menit menunggu, kepala personalia masuk keruang meeting, memberikan lembar kertas yang harus ditanda-tangani, namun diminta untuk dibacanya terlebih dahulu. dan setelah saya baca, saya ajukan pertanyaan, “apa memang saya dapatnya sebesar ini, apa saya bisa nego lagi?”. “itu memang standard gajinya untuk jabatan itu di perusahaan ini”. “ooh..”. setelah dihitung-hitung, dengan perkiraan tempat tinggal yang harus beda kota dengan keluarga, saya putuskan untuk ‘memberikan’ kesempatan ini ke orang lain. berat, terlebih harus mengabarkan ke istri di rumah.
Di pelataran stasiun tugu, saya telpon istri di rumah, “bu, ayah sudah di stasiun, sudah mau naik kereta. tapi ayah masih harus mencari pekerjaan lagi, yang ini mungkin rezeki untuk pelamar yang lain”.
Dengan kereta Lodaya, saya pulang dengan membawa harapan, yang saya dapat dari sang dosen, bahwa tidak ada yang sia-sia, bila kita tidak menyianyiakannya.
ALLAH Maha Mengetahui dan Maha Mewaspadai, apa yang saya lakukan dan apa yang saya tinggalkan.
(Cimahi, 18 Januari 2011)
Dari “Episode Hari Ini”