Jika Anda cukup jeli, cobalah perhatikan berapa banyak pengemis yang datang ke rumah Anda pada saat hari raya Idul Fitri. Sejak beberapa hari sebelum hari Raya, hingga mencapai puncaknya usai sholat Id, para pengemis datang silih berganti berharap keberkahan hari Raya dari segenap muslim yang tengah merayakan hari kemenangan.
Sebagian Anda tak hanya jeli, bahkan merasa terganggu dengan kedatangan pengemis yang seolah tak ada habisnya itu. Baru saja memberi ke satu pengemis, tak sampai dua menit datang lagi pengemis lainnya, begitu seterusnya. Boleh jadi, dalam satu hari, mencapai dua puluhan pengemis yang datang. Terganggu? Tunggu dulu
Mari kita bicara soal kenapa mereka ada dan sangat ramai di hari raya. Apakah mereka tak ikut berlebaran seperti kita? Untuk sementara lupakan anggapan dan berita yang mensinyalir kehadiran mereka di lingkungan kita lantaran ada yang ‘memasok’nya dari berbagai daerah. Setiap pagi usai shubuh mereka dibawa dengan sebuah truk, diturunkan di tempat-tempat strategis dan komplek perumahan. Sebagian besar adalah wanita, plus dengan membawa serta anak-anak kecil yang berpakaian lusuh dan kumal.
Sebelum Anda mengeluh dan menganggap parade pengemis itu ada yang mengkoordinirnya, mari kita berkaca pada diri sendiri. Ada pertanyaan menarik, pengemis ada karena ada yang memberi atau karena tidak ada yang memberi? Dalam arti kata, ada dermawan yang mengasihani seraya merogoh kocek atau sebaliknya, karena tidak ada yang mengasihani mereka? Kemudian, karena ada yang selalu memberi maka si pengemis merasa apa yang dilakukannya adalah cara mudah mendapatkan uang. Jadilah ia pengemis terus menerus. Melihat rekannya ‘sukses’ mendapatkan uang hanya dengan menadahkan tangan, yang lain pun tak mau kalah. Mengubah penampilan layaknya pengemis, meski tubuh masih nampak segar bugar, semakin banyaklah jumlah pengemis di negeri ini.
Nampaknya, para pengemis itu tahu persis watak dan karakter kebanyakan orang Indonesia. Baik hati dan tidak tega. Alhasil, mereka pun berhasil meraup rezeki hanya dengan menadahkan tangan bermodal keyakinan bahwa orang Indonesia itu baik hati dan tidak tega. Untuk memuluskan program mencari rezekinya itu, sebagian pengemis bahkan berpura-pura cacat dengan membalutkan perban bernoda darah di kaki mereka. Bertambah miris lah hati yang melihatnya, keluarkan beberapa receh dari kantong lantaran iba.
Kembali ke soal bertambah banyaknya pengemis di hari raya, yang sangat mungkin jumlahnya meningkat beberapa kali dari biasanya. Sekali lagi, sebelum Anda merasa terganggu dengan kehadiran mereka, ada yang menarik untuk kita bicarakan. Di bulan Ramadhan hampir seluruh ummat Islam menunaikan zakat, bahkan sebagian lainnya membayarkan zakat harta mereka juga di bulan suci, dengan pertimbangan akan meraih pahala lebih banyak. Khusus untuk zakat harta, di bulan sebelum Ramadhan pun tidak sedikit orang-orang yang membayarkannya untuk menjaga kesucian hartanya. Tentu karena para muzakki ini mengerti, bahwa di sebagian hartanya terdapat hak bagi kaum dhuafa (lemah).
Jika pada hari raya, masih banyak pengemis yang datang, tentu ini jadi fenomena menarik. Pertanyaannya, apakah distribusi zakat yang tidak merata atau justru kita yang tidak maksimal dalam berzakat? Atau jangan-jangan sebagian dari kita belum menunaikan zakat? Atau, memang para pengemis itu yang bandel, tetap mengandalkan cara termudah mendapatkan rezeki dengan menadahkan tangan? Wallaahu ‘a’lam.
-Bayu Gautama-