Catatan Kecil Menjelang Ramadhan 1428 H

TAK terasa satu tahun sudah waktu bergulir. Beberapa hari lagi kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Bulan yang sangat dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman. Puasa memang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman, sebab iman merupakan modal utama bagi kaum muslim untuk menjalankan puasa.

Ustadz-ustadz dan para agamawan seringkali berbicara tentang keutamaan bulan Ramadhan. Bahwa dalam bulan Ramadhan Allah SWT. Akan memberi iming-iming yang lebih menggiurkan kepada hamba-hamba-Nya dengan memberi hamparan waktu seluas-luasnya untuk mencapai derajat ketakwaan, kewajiban puasa dan penglipatgandaan pahala. Di samping itu, juga limpahan rahmat dan pengampunan serta jaminan jauh dari api neraka.

Dalam doktrin normatifnya, puasa bagi kaum muslim adalah sebuah kewajiban. Seperti dalam QS. Al-Baqarah 183, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Nah, hanya orang-orang yang beriman saja yang diperintahkan untuk berpuasa. Rasulullah pun bersabda, “Barang siapa puasa Ramadhan dengan keimanan dan pengharapan, maka dia diampuni dari dosa-dosa masa lalunya”.

Sementara dalam ayat lain disebutkan, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpusa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur“ (QS. Al-Baqarah 185).

Jadi melaksanakan puasa untuk mencari ridha Allah adalah suatu bukti atau tanda keimanan yang kuat, kesucian jiwa, keikhlasan hati, dan rasa takut kepada Allah.

Puasa adalah suatu bentuk penyembahan khusus antara hamba dan Allah sebagai Tuhannya, karena hanya Allah yang mengetahui niat puasa seseorang. Tak seorangpun mengetahui apakah seseorang berpuasa untuk memberi kesan atau citra ketakwaan kepada orang-orang sekitarnya ataukah untuk maksud lain di luar tujuan mulia yang utama. Orang yang berpuasa diberi imbalan sebagai amalan sesuai dengan apa yang ada dalam pandangan Allah.

Dalam sebuah hadits muttafaqun alaihi disebutkan bahwa dengan berpuasa seseorang lebih merasakan kedekatan dengan Allah, “Seluruh amal ibadah anak Adam baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya”.

Saking besarnya manfaat puasa bagi manusia, sampai-sampai Allah mengatakan begitu. Tapi, benarkah Allah membutuhkan puasa kita? Dan begitu bodohkah kita sehingga menyangka Allah Yang Maha Besar dan Maha Segala-galanya membutuhkan puasa kita?

Barangkali, seperti menurut Emha Ainun Nadjib (1995) pernyataan itu semacam diplomasi cinta-Nya kepada kita. Allah ingin menekankan betapa sangat pentingnya puasa bagi kesehatan dan keselamatan manusia, sehingga Allah gunakan semacam taktik psikologis dengan mengakui bahwa puasa itu untuk diri-Nya agar rasa cinta kita pun terangsang.

Secara psikologis, kita mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan perintah Allah jika perintah itu dianggap tak mempunyai manfaat yang kelihatan secara kasat mata, semacam puasa ini. Lain halnya kalau kita diperintahkan sholat. Sholat jelas dan bisa dilihat orang lain semisal calon mertua, mertua, kekasih dan lain-lain, sehingga kita bisa membangun citra dan ’memamerkan’ ketakwaan kita kepada mereka.

Sementara itu, kalau puasa siapa yang tahu kalau kita puasa atau tidak selain diri kita dan Sang Pencipta. Siapa yang bisa menjamin, ketika puasa di siang bolong kita mencuri makanan dan menyantapnya di bawah kolong meja. Makanya, karena begitu pentingnya puasa bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah memberi iming-iming dengan bahasa psikologis seperti itu. Jadi masihkah Allah butuh puasa kita?

Akhirnya, mudah-mudahan puasa kita kali ini bukan sekadar ritual mencari jalan ke surga sendirian. Juga semoga tidak menjadikan kita orang yang asing, karena meskipun kita berpuasa tetapi terkadang masih kurang berempati dengan saudara-saudara kita yang lapar dan dilaparkan. Semoga puasa kita mampu menumbuhkan kembali kesadaran hati nurani untuk ikut berpuasa sehingga puasa kita benar-benar penuh makna dan mampu menciptakan kesalehan sosial kita. Amin!

Marhaban ya Ramadhan!

Jombang, 09 September 2007

jun_pus@yahoo. Com

http://pencangkul. Blogspot. Com