Subuh ini kembali kuniatkan untuk melangkahkan kaki menuju Uhlandstrasse 34 dimana berdiri salah satu mesjid di Dresden, sebuah kota cantik di belahan timur negeri Jerman yang dihiasi dengan bangunan-bangunan tua nan megah serta pemandangan alam yang indah. Sudah dua hari terakhir ini aku berhalangan hadir pada jamaah sholat subuh dikarenakan kondisi fisik yang sedang menurun akibat faktor cuaca yang kurang bersahabat. Dalam minggu terakhir ini udara di kota Dresden memang terasa terus bertambah dingin. Kisaran suhu selalu berada dibawah titik bekunya, bahkan tadi malam temperatur telah mencapai -20 derajat celcius. Diperkirakan hari ini adalah puncaknya dan akan terus bertahan hingga beberapa hari ke depan.
Usai menunaikan 2 rakaat sholat sunnah sebelum subuh yang nilainya melebihi dunia dan seisinya, segera kukenakan sweater dan jaket tebal penahan angin maupun dingin. Lobby appartemen masih tampak lengang meski jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Seketika kurasakan hawa dingin menerpa wajah dan menusuk hingga ke tulang, saat pintu utama apartemen berlantai 16 ini terbuka. Pakaian tebal dan sarung tangan kulit yang kukenakan ternyata tidak cukup menahan terpaan angin yang menambah dinginnya permulaan hari ini. Dalam kondisi seperti ini, godaan bagi seorang laki-laki untuk melaksanakan sholat di rumah sedemikian besar. Bahkan bagi sebagian orang, hangatnya pembaringan dan gelapnya fajar merupakan saat yang tepat untuk memanjangkan mimpi-mimpi indahnya, hingga terbuai dan melalaikan kewajiban utamanya kepada Allah. Namun sebaliknya, bagi mereka yang rindu dan dirindukan oleh Allah, kesulitan seperti ini justru menambah kekuatan dan semangat untuk dapat lulus dalam sebuah ujian yang dapat membuktikan kebenaran imannya, yakni dengan menjawab panggilan Allah di waktu subuh serta berusaha menyempurnakannya dengan melaksanakannya secara berjamaah di mesjid.
Ini adalah hari ketiga sejak salju tebal mulai mengguyur kota Dresden pada permulaan tahun ini. Suhu yang stabil dibawah -10 derajat celcius menyebabkan lapisan salju setebal 13 cm yang membalut kota Dresden masih bertahan hingga saat ini. Sejak tadi malam hingga subuh ini langit tampak lebih cerah dan memutih. Terang rembulan mendekati purnamanya. Atap langit masih berselimutkan awan putih berupa kumpulan-kumpulan salju yang diperkirakan akan turun lagi pada siang hari ini. Pelan-pelan kulangkahkan kaki menyusuri trotoar yang dipenuhi salju yang telah memadat. Kalau tidak berhati-hati, salju yang telah menyerupai padatan es tersebut bisa menyebabkan kaki tergelincir. Sambil tetap memperhatikan tiap ayunan langkahku, tak henti-hentinya dzikir kulafadzkan agar diberi kekuatan dan keikhlasan dalam menegakkan amalan yang pahalanya setara dengan menghabiskan satu malam penuh dengan sholat malam. Bahkan dalam pandangan sahabat Umar, nilai sholat subuh berjamaah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sholat malam sekalipun. Doa tulus kupanjatkan pada Allah agar menerangi hati yang masih diselimuti kegelapan duniawi, sehingga kadangkala masih enggan untuk menyempurnakan ketaatan pada-Nya dan menyambut penawaran-penawaran istimewa dari Allah seperti ini.
Ya Allah, berikanlah cahaya pada hatiku, juga pada lisanku.
Dan berikanlah cahaya pada pendengaranku juga pada penglihatanku
Dan berikanlah cahaya dari belakangku, juga dari depanku.
Dan berikanlah cahaya dari atasku, juga dari bawahku.
Ya Allah, limpahkanlah padaku cahaya.
Kumantapkan keyakinan dalam hati akan janji Allah tentang cahaya terang di alam kubur dan hari kiamat bagi seseorang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid untuk sholat berjamaah. Cahaya yang juga akan didapati didunia, sebagai penerang bagi kita untuk mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, terutama dalam zaman yang penuh dengan fitnah seperti sekarang ini.
Selang 20 menit perjalanan akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Sebuah bangungan yang sama sekali tidak berbentuk seperti mesjid pada umumnya. Mesjid ini sebenarnya adalah bangunan tua bekas gedung kantor berlantai tiga dengan halaman yang luas. Kondisinya sudah kurang terawat, hanya lantai teratas yang bisa kami pergunakan untuk sholat. Bergegas aku menuju lantai tiga tempat kami biasa melaksanakan sholat fardhu berjamaah. Kubuka pintu sebuah ruang kecil nan sederhana, kudapati belum banyak jamaah yang datang. Kondisi cuaca beberapa hari ini memang cukup menyulitkan bagi kami untuk mendatangi mesjid, terutama di subuh hari. Tampak Abu Nadim, ayah 3 anak berkebangsaan Palestina yang sudah puluhan tahun menetap di Jerman, sedang menyelesaikan sholat sunnahnya. Tak jauh darinya, Abdul Hakim, mahasiswa PhD dibidang fisika yang tiap hari berjalan kaki selama 30 menit untuk mendatangi masjid, sedang khusyuk membaca Al Qur’an. Pada sisi lain di sudut ruangan, terlihat Syafiii, seorang keturunan Syiria yang beristrikan muslimah Jerman. Ia adalah imam masjid ini, seorang alim dan tawadhu. Melihat wajahnya yang teduh dan bersinar serta dihiasi senyumnya yang ramah seakan-akan kita dapat berkaca sejauh mana kualitas keimanan kita hari ini. Beliau sedang berdiri dekat dengan pemanas satu-satunya diruangan ini, mencoba menghangatkan diri. Tidak seperti standar bangunan di jerman, mesjid ini tidak dilengkapi dengan pemanas sentral. Oleh karena itu, selama musim dingin sholat berjamaah tidak dilakukan di ruang utama mesjid, namun dilaksanakan di sebuah ruang berukuran 4 x 5 meter persegi yang dilengkapi dengan sebuah pemanas portable. Pemanas tersebut sebenarnya tidak cukup untuk menstabilkan suhu di ruangan yang sebesar ini, sehingga meski tidak menanggalkan jaket-jaket tebal kami, hawa dingin di ruangan ini masih sangat kami rasakan .
Tak lama berselang, datang 2 orang teman berkebangsaan mesir dan seorang berkewarganegaraan Australia. Tampaknya mereka adalah peserta terakhir dalam sholat jamaah kali ini. Beberapa menit kemudian iqomah dikumandangkan tanda dimulainya sholat berjamaah. Subhannallah, dinginnya pijakan kaki kami dan suhu dalam ruangan ini tidak sedikitpun membuyarkan konsentrasi kami, justru sebaliknya menambah kekhusyukan sholat subuh hari ini. Khusyuk kami mendengarkan ayat-ayat yang dilantunkan dengan merdu dan fasih oleh sang imam. Surat cinta dari Allah yang tertuang dalam surah As Sajdah dan Al Insan membangunkan sebuah kesadaran tentang makna hakiki penciptaan diri. Terbata kami mengeja nikmat Allah yang telah memuliakan manusia yang tercipta dari asal yang hina. Semakin terasa betapa kecilnya insan dihadapan Sang Pencipta, serta betapa banyak nikmat yang selama ini tak sempurna kami syukuri.
“Alhamdulillah telah kusempurnakan sholat subuh ini, terimalah ya Allah,” gumamku selepas salam penutup sholat. Ada rasa lain menyeruak dalam dada. Meski udara dingin menjalar ke dalam raga, namun kehangatan seolah tak terbendung menelusup dalam kalbu. Cahaya yang senantiasa diharapkan datang dari Sang Khalik semakin terasa kuat sinarnya, menerangi kalbu yang mulai dipenuhi jelaga-jelaga kesenangan duniawi. Sungguh pada shalat berjamaah di waktu subuh didapati begitu banyak misteri bagi setiap insan. Ada yang merasa sangat kehilangan di hari itu jika tidak melaksanakan sholat subuh berjamaah di pagi harinya. Ada pula yang menemukan berbagai kemudahan dalam setiap urusannya sepanjang hari dengan menjaga sholat subuh berjamaahnya.
Satu per satu jamaah meninggalkan mesjid menuju aktifitas harian masing-masing. Sambil berlalu dari masjid, sebuah doa kupanjatkan kepada Allah pemilik alam semesta ini.
Ya Allah, tertatih kami merengkuh cahaya-Mu. Mudahkanlah bagi kami untuk menyempurnakan ketaatan pada-Mu, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaaan sulit. Jadikanlah keberkahan di waktu subuh ini bisa terus kami rasakan dan juga dirasakan oleh semua hamba2-Mu yang sholeh. Aamin.
Mentari tampak masih malu menyapa. Bias sinarnya membawa sedikit kehangatan di pagi hari yang dingin bersalju, sehangat hati yang tersentuh oleh kelembutan cahaya Ilahi. Di sebuah pagi di musim dingin nan membeku, kembali kurasakan bertambahnya energi yang mengisi relung-relung jiwa, memantapkan langkah tuk menyongsong dunia dengan berjuta asa. Bimbing kami ya Allah.
Dresden, January 2009