Saya mungkin termasuk orang yang mempunyai kadar kesabaran yang tipis sehingga rasa marah gampang sekali tersalut. Sedikit saja yang tidak berkenan di hati saya sering sekali menjadi pemicu naiknya darah sampai ke ubun-ubun. Tapi walau semarah apapun saya berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar atau sampai memukul anak saya yang tingkahnya benar-benar sangat menguji tingkat kesabaran saya.
Caca putri saya sebenarnya bukan anak yang nakal. Menurut saya dia adalah anak yang unik dan memiliki energi yang tidak pernah habis. Dia suka sekali melakukan sesuatu yang terkadang menurut saya terlalu berlebihan misalnya dia suka bermain dengan semua mainan yang dia miliki hingga ruang tengah rumah kami penuh dengan mainannya yang bermacam-macam.
Dia juga sangat suka menyimpan benda tak terpakai bekas ayahnya bekerja seperi bekas suntikan infus tinta printer atau kotak-kotak wadah tinta infus. Semua kotak kemudian diisinya dengan pernak-pernik, bros, pensil warna, gunting kuku, minyak kayu putih dan barang-barang lainnya bahkan pernah sampai jilbab dan pakaian dalamnya dia masukkan ke dalam kotak bekas tersebut. Ketika saya memerlukan benda tersebut saya harus gerilya mencari dan membongkar kotak tersebut satu persatu.
Di situlah saya merasa tingkat kesabaran saya di uji. Biasanya saya akan melakukan pencarian dengan mulut yang tidak berhenti berpetuah padanya. Alhamdulillah Caca selalu mendengarkan dan kalau saya sudah mengatakan lain kali nggak boleh lagi ya? Dia akan menjawab iya. Tapi itu hanya jawabannya saja karena setelah itu pasti akan kejadian lagi kalau dia mendapatkan kotak yang baru.
Namun setelah tiga minggu sekolah di SDIT Nurul Ilmi Tenggarong, terlihat perubahan sikap Caca, dia jarang bermain atau menghamburkan mainannya. Kalaupun bermain yang dia lakukan adalah mewarnai atau menggambar sesuatu di bukunya. Cuma sekarang dia agak susah diajak istirahat siang padahal jam belajar di sekolahnya cukup panjang untuk ukuran anak sd setingkat kelas 1. Kalau dulu saya kurang sabar ketika mengingatkan dia untuk tidak menghamburkan mainannya. Nah kalau sekarang kesabaran saya diuji saat mengajaknya tidur siang. Maksud saya adalah supaya capeknya bisa hilang dan bisa belajar dengan segar saat malam hari.. ehh.. caca malah ngeyel dan bilang nggak mau. Kejadian seperti ini terulang sampai beberapa hari dan membuat suara saya mulai agak meninggi dan terdengar kencang.
"Bun, Laa taghdhab fa lakal jannah, janganlah kamu marah maka bagimu surga" Caca berkata pada saya suatu hari. Dia mengucapkan hadist yang sudah dipelajarinya di sekolah.
Subhanallah, saya yang awalnya mau meneruskan ucapan dengan bermacam-macam petuah yang mungkin membosankan baginya jadi berhenti sejenak dan saya tatap wajahnya. Caca membalas tatapan saya dengan wajah khasnya sambil mengangkat alis dan mengangguk. Dia kemudian tersenyum.
"Bunda, jangan marah lagi ya?" katanya.
Saya tersenyum dan mengalah.
"Iya deh, ntar Bunda nggak akan marah-marah lagi kecuali…." saya menggantung kalimat saya.
"Kalau Caca nakal." Caca meneruskan kalimat saya.
"Kalau begitu sekarang waktunya…." saya kembali tidak meneruskan kalimat saya.
Caca tersenyum dan berkata, " tidur."
"Tapi sama ayah juga ya, " lanjutnya lagi.
Tanpa menunggu persetujuan saya dia langsung memanggil ayahnya yang sedang asyik bekerja di depan komputer.
Perubahan sikap caca membuat saya berpikir untuk merubah cara saya menghadapi dan membimbingnya. Saya tahu sikap yang keras dan memarahinya tidak menjadi solusi yang baik. Yang harus saya pelajari lebih banyak adalah bagaimana menjadi lebih sabar dan bersikap lemah lembut dalam mengingatkannya.
"Innallaaha yuhibbur rifqa fil amri kullih"
Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam semua urusan. (HR Jama’ah)
Terima kasih ya Nak sudah mengingatkan Bunda. Semoga caca menjadi anak yang sholehah, penyabar dan juga pintar, amin…