Konon, kata “ramadhan” aslinya terambil dari kata yang memiliki makna seputar “membakar”. Ada yang merujuk pada kondisi iklim jazirah Arab yang panas membara sepanjang tahun, dan konon, memuncak pada bulan Ramadhan. Saya pribadi kurang puas dengan penjelasan (atau penafsiran) ini, karena pada kenyataannya sistem kalender Qomariyah tidak konsisten terhadap musim. Jadi untuk Indonesia misalnya, ada kalanya Ramadhan jatuh di musim penghujan, dan beberapa tahun kemudian jatuh di musim kemarau.
Ada yang bilang bahwa bulan suci ini diberi nama “Ramadhan” karena pada bulan ini setiap Muslim berusaha menyucikan dirinya masing-masing dan ‘membakar’ dosa-dosanya sampai habis (kalau bisa). Jadi, sementara sumber api yang satu ditutup (yaitu neraka), sumber api lainnya justru dinyalakan di bumi. Bedanya, ‘api’ yang di bumi ini sangat dinanti-nanti kedatangannya, karena yang dibakar bukan manusianya, melainkan dosa-dosanya.
Ketika saya mulai belajar melaksanakan shaum dulu (kira-kira pertengahan tahun 80-an), Ramadhan memang terasa benar-benar ‘panas’. Selain karena waktu itu sedang musim kemarau, mungkin juga karena baru belajar mendisiplinkan diri untuk tidak makan dan minum seharian. Yah, namanya juga anak kecil yang sedang belajar.
Di sisi lain, memang muncul rasa ‘terbakar’ di dalam hati ketika melihat kakak-kakak saya ber-shaum. Bukan main jengkelnya hati ketika Mama memberi pesan kepada saya untuk tidak memaksakan diri dalam shaum. Kalau tidak kuat sampai Maghrib, sampai Zhuhur pun tak mengapa. Mungkin memang watak saya yang pada dasarnya temperamental, tapi pemberian excuse semacam ini justru terasa sangat menghinakan. Pada prinsipnya dulu saya (sebagaimana anak bungsu lainnya, saya rasa) hanya tidak sudi kalah dari kakak-kakak saya. Karena itu, shaum selalu diwarnai dengan aroma kompetisi. Memang beberapa kali saya dengan sangat terpaksa harus berbuka di siang hari, atau kadang bisa dipaksakan sampai jam 2-3 sore. Yang jelas, saya akan cemberut seharian kalau tidak dibangunkan untuk sahur.
Berdasarkan pengalaman, jika Al-Qur’an memberi nama pada sesuatu, maka ia akan memiliki hikmah yang mendalam dan berlipat ganda. Karena “ramadhan” adalah nama yang tercantum di dalam Al-Qur’an (tepatnya di Q. S. Al-Baqarah [2]: 185), maka sudah sewajarnya kita memberikan perhatian lebih padanya. Saya rasa ada banyak rahasia dalam nama yang ‘berapi-api’ ini.
Akan tetapi ‘Ramadhan masa kini’ sangat jauh dari kesan ‘berapi-api’. Pekan lalu saya terkaget-kaget ketika berangkat pagi-pagi dari Bogor dan sampai ke Semanggi hanya dalam waktu sejam dengan kendaraan umum. Biasanya saya harus menyediakan waktu satu setengah sampai dua jam karena macet, namun pagi itu lalu lintas lancar bukan main. Jakarta yang tidak macet tentulah kabar baik, namun juga mengundang banyak pertanyaan. Mengapa jalanan masih sepi? Apakah orang-orang tidak berangkat kerja?
Ternyata, jam kerja memang berubah drastis di bulan Ramadhan. Banyak orang merasa berhak untuk datang lebih siang di bulan ini dengan alasan tidur lagi setelah sahur. Sudah terlambat ke kantor, mereka masih berani pula minta pulang lebih cepat, dengan alasan ingin berbuka di rumah. Orang yang tidak harus keluar rumah memilih santai-santai di rumah, kalau perlu tidur seharian. Semuanya dengan sigap menggunakan tameng hadits “Tidurnya orang yang ber-shaum adalah ibadah” tanpa pernah mengecek ke-shahih-annya.
Ramadhan, kini, jauh sekali dari ‘api’.
Selemah-lemah dan sebodoh-bodohnya manusia, ketika diguyur bensin dan disulut dengan api pastilah tidak akan diam. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya dari jilatan api. Secara refleks seluruh tubuh bergerak untuk memadamkan api; tangannya mengibas-ngibas, kakinya berlari ke sana-kemari, matanya mencari-cari sarana untuk memadamkan api, dan sisa-sisa suaranya dipergunakan untuk meminta tolong. Jangankan dibakar dengan api, disundut rokok pun akan menghasilkan gerak refleks yang sangat berbahaya jika orangnya terlatih. Demikianlah reaksi umum manusia terhadap api.
Apa yang terjadi jika ‘api’ itu dibiarkan menyala sebulan penuh? Reaksi paling wajar tentu bukan duduk diam atau ngaso di rumah. Bukan pula malas-malasan berangkat ke sekolah, kampus atau kantor. Manusia yang ‘terbakar’ pastilah bergerak ke sana-kemari bagai kalap. Gerakannya jauh lebih cepat dari normal, dan ia menghendaki suatu perubahan supercepat. Orang yang sedang terbakar tidak bisa disuruh ‘bersabar’ menunggu. Ia butuh progres sesegera mungkin. Ia haus akan kabar baik dan akan berbuat apa pun demi mencapai tujuannya, yaitu selamat.
Jalan-jalan yang lengang, perkantoran yang sepi, suasana kerja yang loyo, kegiatan belajar-mengajar yang sekedar menunggu waktu pulang; semuanya begitu jauh dari makna Ramadhan yang sebenarnya. Ramadhan adalah ‘bulan api’; bulan di mana setiap Muslim harusnya merasa ‘terbakar’. Seharusnya tidak ada orang yang bermalas-malasan dan tak punya target di bulan yang ‘serba panas’ ini. Rasulullah saw. Dan para sahabatnya mencetak prestasi yang sangat besar di setiap bulan Ramadhan, bahkan kinerjanya berkali-kali lipat dari biasanya. ‘Panasnya’ Ramadhan sudah terasa sejak bulan Rajab.
Ini adalah bulan Ramadhan. Tidak ada waktu untuk bersantai-santai! Saatnya melakukan perlawanan terhadap rasa malas. Inilah bulan terbaik untuk sebuah pemberontakan terhadap keterpurukan!