Ibu, apakah Ibu masih sering menulis catatan hari di buku harian? Ya! Buku yang seringkali kita akrabi dulu, ketika masih remaja. Buku tempat kita menumpahkan isi hati, tempat berbagi pengalaman, suka dan duka? Oh, saya masih. Hingga saat ini pun saya terus menulisnya. Dan saya menyimpannya dengan rapat meski sesekali saya tunjukkan kepada si ayah, agar beliau mengerti isi tulisan saya.
Saya mengisinya dengan cerita keseharian kami. Benar. Kini, saya tak lagi sendiri seperti ketika masa remaja dulu. Karena saya ditemani si ayah dan dua putra yang mengagumkan. Alhamdulillah.
Seperti sekarang, saya pun sedang menuliskannya. Ketika menjelang subuh, seperti biasa saya terbangun untuk menyiapkan segala hal di hari ini, saya menyempatkan diri duduk sebentar mengamati wajah-wajah polos yang sedang pulas.
Hmmm… anak-anak kami, sesungguhnya Allah menciptakan wajah mereka sebagai perpaduan teramat sempurna dari saya dan si ayah. Subhannallah…
Dan lelaki yang sudah menemani hidup saya sejak lebih dari enam tahun itu, begitu bertanggung jawabnya ia kepada kami. Sampai lelah bukanlah masalah baginya, agar dapat memberikan yang terbaik untuk kami bertiga. Rupanya, ia baru saja tidur karena harus menyelesaikan sebuah proposal. Makasih, yah!
Dan saya pun melanjutkan dengan menulis kejadian kemarin. Tentang kelucuan dan perkembangan si adik. Bocah 11 bulan itu, pandai sekali menirukan apa pun yang diajarkan kepadanya. Sekali diajarkan untuk melempar, ia langsung menirunya. Dan kemarin, ia membuat saya dan abangnya tertawa terbahak-bahak. Saya mencoba untuk mengajarinya meniup peluit. Saya contohkan bagaimana caranya, lalu saya coba masukkan peluit ke mulutnya. Bukannya ditiup, ia malah menirukan bunyi peluit saya dengan suaranya. Ah, adik… lucu benar ia.
Sedangkan si abang, seharian kemarin ia main bersama kawan-kawannya di play ground, di bawah flat kami tinggal. Hampir setengah hari, hingga saya pun kelabakan mencarinya.
Ya, ibu! Kita bisa menulis apa pun di buku harian itu. Catatan-catatan itu, buat saya membantu menenangkan hati ketika sedih melanda. Ketika marah meraja, saya membuka lembaran kebahagiaan yang tertera didalamnya, danternyata cukup efektif dalam membantu mengusir kemarahan.
Saya bercita-cita suatu hari nanti akan menunjukkan catatan-catatan itu kepada dua putra saya. Tentang hari-hari masa kecil yang mereka jalani, yang sebagian besar saya tulis secara khusus di buku harian mereka. Saya berharap, hal itu dapat membantu mereka mengingat masa kecil. Saya juga berharap mereka mengerti bahwa ketika kecil, mereka adalah pejuang yang tak pernah mengenal putus asa. Semoga itu dapat membantu mereka menjalani hari yang mungkin teramat rumit di masa depan.
Tak jarang pula, saya merasa bahwa diri ini teramat konyol ketika sedang marah dan menuliskan kata-kata aneh didalamnya.
Saya paham, Ibu. Bahwa memang sebaiknya kita hanya mengadu kepada Allah, tempat kita bergantung. Pada malam-malam hening dan sujud panjang yang kita dirikan. Tapi, menulis buku harian buat saya juga cukup berarti dalam menampung keluh kesah dan kesan bahagia dalam hidup kami. Hingga saya dapat membukanya kembali suatu hari sesudahnya, dan menjadikan pelajaran ketika mengalami suatu hal yang hampir sama. Buku ini juga menjadi saksi, bagaimana kondisi ibadah saya setiap harinya. Hingga saya dapat terus berusaha meningkatkan, demi meraih ridhoNya.
Kini, saatnya bagi saya untuk menutup buku hijau itu dengan sebuah doa: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyejuk hati…
Kolej Perdana:
Ya Allah, terimakasih tak terhingga, telah menghadirkan tiga lelaki ini dalam hidup hamba. Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.