Rasulullah Saw adalah pemimpin ummat yang konsisten dalam menegakkan qiyamullail. Beliau rela bersusah-payah menahan kantuk dan berdiri lama, bahkan dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa beliau-demi menahan kantuknya itu-mengikatkan badan beliau pada suatu penahan agar belia tetap tegak berdiri (tidak jatuh), padahal beliau telah dijamin oleh Allah SWT dengan surga-Nya.
Tak ayal, bengkak-bengkak pada kaki Rasulullah Saw pun timbul akibat lamanya beliau berdiri ketika bermunajat di sepertiga malam terakhir itu. Subhanallah. Ketika isteri beliau bertanya, “Wahai Rasulullah Saw, kenapa engkau bersusah payah dalam beribadah padahal Allah telah menjaminmu dengan surga?” Dengan retoris Rasulullah Saw menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba-Nya yang bersyukur?”
Kisah tersebut adalah kisah indah yang membekaskan banyak hikmah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh isteri beliau seakan mewakili sebuah pertanyaan yang lazim pada diri kita sekarang ini. Kita heran ketika seorang hamba diberikan dispensasi untuk bersenang-senang atau bersantai-santai, dia justru tidak mau memanfaatkannya.
Kita heran ketika menyaksikan orang yang sudah kaya tetapi dia tetap terus bekerja, kita heran menyaksikan orang yang sudah pintar tetapi dia tetap terus belajar, dan sebagainya. Pertanyaan ini boleh jadi timbul karena yang bertanya adalah hawa nafsu kita bukan hati nurani kita. Hawa nafsu cenderung pada kesenangan yang menipu, namun hati selalu cenderung pada kesenangan yang hakiki.
Terus belajar, terus bekerja, terus berinstospeksi dan memperbaiki diri adalah wujud kesenangan hati yang tidak disukai oleh hawa nafsu. Dia rela melakukan semua itu sebagai wujud cinta, bakti, dan syukur kepada Allah SWT. Posisi yang menguntungkan bukan makin melemahkan semangat, justru makin melejitkan semangat untuk terus berbuat sesuatu yang berarti demi meraih ridho-Nya.
Dalam kaitannya dengan ibadah kurban, saya mengambil pelajaran bahwa Rasulullah Saw bercapai-capai, bersusah-payah mengurbankan fisiknya menegakkan qiyammullail hanya karena ingin membuktikan bahwa beliau adalah hamba Allah yang bersyukur.
Menjadi hamba Allah yang bersyukur (abdan syakuran) agaknya bukan menjadi hal yang mudah, terlebih bagi kita yang masih banyak berkubang dengan dosa. Membuktikan syukur tidak sekedar dengan cara lisan mengucap “Alhamdulillah”, tetapi yang lebih essensial adalah dengan ketatatan dan pengorbanan (baik harta atau jiwa) demi menegakkan suatu ibadah kepada-Nya.
Cobalah kita renungkan. Setiap ibadah pasti membutuhkan pengorbanan baik materi maupun fisik. Sholat berjamaah di masjid misalnya, secara materi ia mensyaratkan pakaian yang menutupi aurat dan bebas dari najis dan secara fisik ia mensyaratkan keringanan langkah menuju masjid. Mengenakan jilbab syar’i bagi muslimah.
Misalnya, secara materi ia mensyaratkan bahan pakaian yang tidak transparan, longgar agar tidak membentuk lekukan tubuh, nyaman dipakai, sedikit mahal, dan lain-lain dan secara fisik ia mensyaratkan kesabaran ekstra dari sang muslimah untuk istiqomah mengenakannya. Bukankah mengenakan busana muslimah terkesan lebih “ribet” bagi orang tertentu dibanding dengan hanya menggenakan celana pendek dan kaos oblong saja? Hal ini cukup menunjukkan bahwa mengenakan jilbab pun memerlukan pengorbanan fisik di sana.
Contoh yang lebih gamblang adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Secara materi, ia mensyaratkan sejumlah dana harus dikeluarkan dan secara fisik, ia mensyaratkan kondisi kesehatan yang cukup prima untuk melaksanakannya. Dalam ibadah kurban pun, selain secara materi disyaratkan adanya sejumlah dana senilai hewan ternak tertentu, secara fisik dianjurkan adanya upaya tertentu, misalnya mengusahakan (memilih) kambing terbaik dan menyembelih sendiri hewan kurban itu.
Suatu ketika, Aripin seorang anak muda yang bekerja di perkantoran elit, ditawarkan oleh ayahnya apakah ingin berkurban atau tidak, untuk masyarakat di sebuah desa kecil di Sipirok (kampung ayahnya). Sebagai anak muda yang baru beberapa tahun menikmati uang hasil dari bekerja, tentu keinginan yang ada dibenaknya cukup beragam, yang jelas bukan untuk urusan ibadah seperti berkurban itu.
Namun kali ini, ia merasa bimbang. Sudah beberapa kali ia ditawari untuk berkurban oleh ayahnya, namun selalu saja ia mengelak dengan alasan masih banyak kebutuhan ini dan itu. Di tengah kebimbangan yang masih menggelayuti hatinya, di depan rumah ia bertemu dengan Pak Hasan, kawan ayahnya yang kini sama-sama sudah pensiun. Beliau adalah sahabat ayahnya yang jujur, terpercaya dan sampai saat ini masih menjalin hubungan baik meski terpisah dengan ayahnya yang kini berada Medan.
Pagi itu, Pak Hasan yang sedang berjalan-jalan mengelilingi komplek. Ketika bertemu di depan rumah, beliau berhenti dan menanyakan kabar ayahnya,
“Assalamu’alaikum. Eh Pin, gimana kabar papa? Katanya ada acara kurban di kampung papa.”
“Waalaikum Salam, Baik Om. Iya, Papa memang selalu berkurban untuk masyarakat di sana.”
“Siapa aja yang berkurban. Kamu kurban juga ngga?”
Ia pun menyebutkan beberapa saudara yang telah berkomitmen menyerahkan hewan kurban untuk kampung papanya, ketika menjawab pada pertanyaan menyangkut dirinya ia berujar,
“Kalau saya, nggak tahu ni Om. Penginnya sih berkurban, tapi kayaknya masih banyak kebutuhan Om.”
Buru-buru Pak Hasan itu langsung menyahut dan memotong ucapannya,
“Gini Pin, kalau di hati kamu sudah terbetik niatan untuk berkurban, jangan kamu tunda, berkurbanlah. Saya tahu, sebagai anak muda, kamu pasti pengin yang macam-macam. Bersenang-senang lah, jalan-jalan lah, tapi yakinlah dengan berkurban kamu akan merasakan kenikmatan yang luar biasa dan kamu akan mendapatkan rezeki yang jauh lebih besar dibanding jika kamu tidak berkurban. Yakin itu.”
Selanjutnya, mengalirlah dari mulut Pak Hasan itu beberapa kata hikmah tentang ibadah kurban dan pengalaman-pengalaman ibadah yang selama ini beliau lakukan.
Kata-kata Pak Hasan yang dipanggilnya Om oleh Aripin itu, begitu menghipnotis dan mengunci mati keinginan hawa nafsunya yang masih ingin berhura-hura dan bersenang-senang itu.
Di akhir pembicaraan, tekad Aripin untuk berkurban pertama kali itu pun membulat. Hal itu dibuktikan dengan kata-katanya,
“Iya dech Om. Saya akan berkurban. Terima kasih ya Om.”
Pak Hasan tampak tersenyum puas karena bisa menundukkan jiwa anak muda yang semula diliputi kebimbangan itu.
Adakalanya kita bersikap seperti Aripin tatkala muncul dihadapan kita peluang untuk menyisihkan sebagian harta guna berkurban. Tiba-tiba saja terbayang dibenak kita aneka kebutuhan yang masih tertunda dan “harus” dipenuhi segera. Padahal jika kita pikir ulang, kebutuhan itu bukanlah kebutuhan sebenarnya yang bersifat mendesak melainkan hanya sekedar keinginan hawa nafsu belaka.
Dalam kondisi seperti itu, bagi yang memiliki kelebihan harta, sebenarnya kita sedang diuji, apakah kita termasuk hamba Allah yang bersyukur atau tidak. Bukankah harta yang diperoleh selama ini adalah anugerah dan pemberian-Nya? Kenapa ketika Allah Swt menghendaki kita menyisihkan sebagian kecil saja, timbul rasa berat di dalam jiwa? Sungguh jika kita mau berinstrospeksi betapa anugerah Allah Swt yang dilimpahkan kepada kita begitu banyak dan tak terhingga, hati kita akan merasa sangat ringan untuk berkorban.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (108:1-2)
Jelas bahwa Allah memberikan kepada kita nikmat yang banyak. Kita lahir dalam kondisi tidak memiliki apa-apa. Maka segala apa yang ada pada kita kini adalah semata-mata karena nikmat dari-Nya. Guna mewujudkan rasa syukur atas kenikmatan itu, maka jalan terbaik adalah memperkuat ketaatan kepada Allah SWT. Dan ibadah kurban adalah salah satu bentuk ketaatan yang dianjurkan oleh-Nya.
Semoga kita bisa membuktikan rasa syukur kita dengan berkorban. Secara simbolis kita memang mengkorban hewan ternak, namun secara substansi kita mengkorban sifat-sifat buruk dari dalam diri kita.
Wallahua’lam bishshawaab
[email protected]