Kebanyakan dari kita, seringkali, memandang seseorang dari atribut, ketokohan, nama besar, jumlah harta dan kekayaan, prestasi dan berbagai macam kebanggaan duniawi lainnya. Bukan hanya di zaman ini. Di zaman Qarun pun, cara pandang ini sudah menggejala. Lihatlah paparan Qur’an di surat al-Qashas. Ketika Qarun berparade bersama para pengawalnya, betapa banyak masyarakat mengirikannya. "Allah telah memberinya banyak kemuliaan."
Mereka telah lupa bahwa kemuliaan itu tak sama dengan standart kemuliaanNya. Sehingga ketika Allah berkehendak menenggelamkan semua hartanya dalam tempo yang sangat sekejap, tak ada seorang pun yang mampu menahannya.
Begitupun kita sekarang. Kilau itu seringkali membuat kita silau. Dan silau itu menahan kita dari berpegang kepada kebenaran.Ketika kita melihat seseorang yang sepertinya ‘bukan siapa-siapa" kitatak memandangnya dengan pandangan yang seharusnya.
Dan ketika kita sedang disapa oleh seseorang yang di bajunya penuh dengan emblem dan aksesoris mewah, kita sangat mengutamakannya.Dan episode itu memenuhi detak kehidupan. Mulai dari sholat Jum’at di masjid, saat sang tokoh mendapat shaf terdepan meski ia datang belakangan, di saat pertemuan ketika semua orang berdiri menyambut kedatangannya meski itu tak disukai Rasulullah saw, atau saat menghadiri walimah.
Ketika di tangannya di penuhi perhiasan, sepatu mengkilap, baju yang kinclong, parfum yang wangi, tamu yang lain tak kan mencibirkannya dan tuan rumah pun bangga menerimanya.Sedang mereka yang sebaliknya, datang dengan telanjang karena tak ada satu pun emas permata yang ia kenakan, baju yang itu-itu saja, pipi yang tak disentuh pelembab, bedak dan blush on, sumbangan yang tak seberapa, silakan ia bertemu dengan komunitasnya sendiri. Begitulah dunia.
Mereka yang ‘bukan siapa-siapa’, seringkali tak mendapat tempat yang selayaknya. Ada rasa risih, ada rasa enggan, ada pula rasa saling memperebutkan untuk tak terlalu dekat dengannya, hanya gara-gara ia bukan siapa-siapa. Sang bukan siapa-siapa ini, hanya layak mendapat kelas ekonomi ketika naik kereta api, ia juga hanya boleh berobat di puskesmas ketika sakit, itu pun dengan kartu miskin, ia juga harus rajin berpuasa karena tak ada lagi yang bisa dimakannya di hari itu. Jarang sekali ia mendapat senyum apalagi pandangan yang tulus dan penuh kasih sayang dari mereka yang mestinya berlebih, yang ada di sekelilingnya, karena ia bukan siapa-siapa.
Itulah sebabnya banyak orang bersandiwara. Apapun dilakukannya agar ia tak termasuk ‘bukan siapa-siapa’. Ia berdandan agar ia bisa diterima. Ia memoles dirinya agar ia dihargai sebagaimana orang lain dihargai, ia mengorbankan banyak hal agar ia disebut sebagai "seseorang." Dan inilah yang terjadi. Kejujuran menjadi barang langka dan dimuseumkan. Kebohongan dianggap sebagai prestasi yang harus diagungkan. dan masyarakat macam apakah ini bila hal ini terjadi terus menerus? Di mana kah keadilan dan kasih sayang?
Kita telah melupakan isyarat Rasulullah saw, betapa banyak orang yang bukan siapa-siapa, yang kedatangannya tak menimbulkan euphoria dan ketidakdatangannya tak dicari orang, tetapi bila ia mengangkat tangan dan berdoa, Allah langsung mengabulkaNnya. Mengapa tak kita sadari salah satu yang ‘bukan siapa-siapa’itu, yang ada di dekat kita, bisa jadi salah satunya? Maka berbagi kasih sayang dengannya adalah keniscayaan, karena kita butuh doanya untuk kebaikan seluruh umat. Maka menjadikannya sebagai bagian keluarga yang layak kita bantu dan menerima uluran tangan dari kita adalah keharusan. Karena mungkin saja di akhirat kelak, bisa jadi Allah menjadikan kita, "bukan siapa-siapa.."..