Buka mataku buka hatiku,
Allah terangilah hidupku dengan sinar-Mu,
Aku meraba tak berdaya,
Tanpa rahmat-Mu aku hina.
Beribu dosa telah terjadi mewarnai langkahku,
Hitam diri hitamlah hari yang lalu,
Bila tanpa cahaya-Mu gelap seluruh hidupku,
Tak berdaya – tak berarti – sia-sia.
Tak mungkin bisa ku sempurna,
Mencintai-Mu seperti kemahaan-Mu,
Diri yang hina berlumur noda,
Hanya bersimpuh memohon belas kasih-Mu.
(Syair Lagu: Buka Mata Buka Hati oleh Opick)
***
Tanggal 26 Desember 2007, saya mendapat kisah yang cukup menarik dari orang yang saya kunjungi rumahnya di komplek Bappenas, kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Beliau berasal dari Padang dan lama bermukim di Malaysia. Kepindahannya ke Indonesia adalah dalam rangka memenuhi amanat pemegang saham dari sebuah perusahaan asuransi syariah untuk menjalankan operasional bisnis perusahaan di Indonesia sebagai direktur utama. Isterinya masih kuliah mengambil gelar doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia, dan sering bolak-bolak menyambangi suaminya di Jakarta.
Saya berkunjung ke kediaman beliau karena menemani isteri yang ingin berjumpa dengan isterinya. Sikap ramahnya, menjadikan saya tiada enggan untuk mengobrol barang sejenak. Obrolan menjadi nyambung ketika saya kemukakan bahwa saya pernah bertugas di Aceh selama 15 bulan terakhir di sebuah badan yang menangani pembangunan Aceh pasca tsunami. Dan secara kebetulan kunjungan itu kami lakukan tepat tiga tahun berlalunya musibah tsunami Aceh.
Dia bercerita memiliki saudara yang menjadi petinggi di badan itu. Kebetulan saya pun mengenalnya. Ketika beliau berkesempatan berkunjung ke Banda Aceh, beliau diajak untuk menyaksikan kawasan yang terkena dampak terhebat dari tsunami di sepanjang pantai Lhok Nga dan Ulee Lheu. Dia menyaksikan hampir semua rumah menjadi rata dengan tanah akibat hantaman gelombang tsunami yang amat dahsyat itu. Namun demikian ada beberapa rumah yang tetap tegar berdiri, meski tak luput juga dari kerusakan yang parah.
Uniknya, saudara dan beberapa orang lokal yang menemaninya tanpa ragu mengatakan, “Pak, rumah yang ini adalah rumah orang yang bayar zakat. Sedangkan rumah yang itu tidak. ” Rumah orang yang berzakat yang ditunjukkannya itu tetap tegar berdiri, dan rumah orang yang tak berzakat yang ditunjukkannya itu rata dengan tanah. Beliau yang mendengar hal itu cukup terhenyak dan berkali-kali ia mengatakan, “O ya?”, “O begitu!”.
Beliau terkesan dengan anekdot yang tidak saya dapatkan selama saya ada di Aceh itu. Dan ia menceritakan kembali hal itu kepada saya. Saya pun memiliki respon yang sama. Kami pun tidak membahas apakah anekdot itu sejatinya benar atau tidak. Namun kami masih menggantungkan sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana mengaitkan musibah tsunami itu dengan tidak bayar zakat.
Sesampai di rumah saya masih terus merenungkan. Rasanya naif mengaitkan musibah dengan keengganan membayar zakat. Terlebih rumah yang tegar berdiri juga hanya beberapa. Lantas apakah mereka semua tidak bayar zakat? Saya yakin tidak semuanya. Meski demikian, pasti ada kebenaran dari anekdot itu. Mengingat zakat adalah hak mustahik yang harus ditunaikan, dan bilamana tidak ditunaikan maka Allah akan mengambilnya secara paksa dengan cara yang Dia kehendaki. Saya menyakini bahwa musibah itu pasti disebabkan oleh ulah manusia yang berbuat dosa, meski kadang kita sulit menemukan kaitannya secara langsung.
Saya awam terhadap ilmu geologi. Dalam pemahaman saya, tsunami terjadi akibat gempa bumi tektonik di dasar laut dan pergeseran vertikal lempengan bumi sehingga permukaan air di samudera berguncang dan membentuk gelombang dengan panjang berkilo-kilo meter, kemudian ketika gelombang itu mencapai pantai, ia menjadi gelombang yang super dahsyat dan menghancurkan.
Secara normal pergesekan dua lempeng bumi tidak menimbulkan dampak signifikan bagi alam. Boleh jadi, pergesekan yang luar biasa dan berakibat penurunan lapisan bumi itu dipacu oleh kerusakan-kerusakan struktur bumi. Kenapa struktur bumi rusak? Mugkin akibat penambangan bumi yang dilakukan oleh manusia secara tidak sehat dan serampangan. Penambangan bumi yang serampangan dilakukan oleh pelaku penambangan yang buruk akhlaknya (moral hazard). Mereka tidak memikirkan dampak besar akibat proses penambangan yang salah dan melanggar prinsip kelestarian, yang dipikirkannya adalah kepentingan diri dan kelompoknya saja.
Kenapa ada moral hazard? Boleh jadi, salah satunya dipicu oleh kesenjangan sosial akibat distribusi kekayaan yang tidak merata. Masih banyak hak-hak harta mustahik dan kaum dhuafa yang masih tertahan pada kalangan tertentu saja karena mereka serakah dan tidak mau menunaikan zakat.
Apa yang saya renungkan itu mungkin tidak benar secara teknis. Tetapi saya menyakini bahwa tsunami itu (dan juga bentuk bencana alam lainnya) adalah akibat dari perilaku manusia yang berbuat dosa. Boleh jadi bukan disebabkan oleh orang yang tertimpa musibah tetapi oleh manusia pada umumnya. Kita semua, boleh jadi memiliki peran terhadap datangnya musibah-musibah itu. Oleh karenanya, sangat tepat jika kita menengok kesalahan diri kita dan segera bertaubat dengan sebenar-benarnya. Allah Swt berfirman,
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. ” (QS 8:25).
Bertaubat adalah awal langkah kehidupan yang baik. Dan keenganan untuk bertaubat hanya akan menjauhkan kasih sayang Allah dari musibah yang akan terjadi. Alangkah indahnya, jika kita mengawalinya tahun yang baru ini dengan taubat dan memohon agar Allah membukakan mata dan membukakan hati dari orang-orang yang masih enggan melakukannya.
Anjuran bersimpuh memohon belas kasih Allah Swt secara individual, nampaknya cukup sepele. Namun jika dilakukan secara kolektif dan massif, bukan mustahil akan menimbulkan suatu keajaiban di kemudian hari. Selama ini kita mendambakan keajaiban dengan doa-doa yang kita panjatkan. Padahal taubat yang kita lakukan belum sebenar-benar taubat. Maka perbaikilah taubat terlebih dahulu sebelum mendambakan keajaiban itu terjadi.
Wallahua’lam
(rizqon_ak @eramuslim. Com)