Seperti biasa pada siang hari itu saya pulang dari belajar bahasa Arab dan tafsir Qurán dengan mobil langganan saya. Jarak dari tempat kursus ke rumah saya dapat ditempuh dalam waktu sekitar dua puluh menit. Sambil mengisi waktu di perjalanan, saya sering bercakap-cakap dengan supir mobil yang biasa saya tumpangi itu. Kebetulan dia adalah supir Indonesia.
Supir itu sering menceritakan perihal kehidupan dirinya. Awal kedatangannya ke Saudi enam tahun lalu, kenapa dia terpaksa merantau, di mana isterinya bekerja, dan seterusnya. Saya salut dengan keuletan dan kejujuran dia dalam bekerja. Ia hanyalah lulusan Sekolah Dasar, tapi memiliki tekad yang kuat untuk memperbaiki hidupnya.
Dia bercerita kepada saya, bahwa dulu dia punya usaha pengiriman kayu dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa. Usahanya cukup maju dan dapat memberikan keuntungan yang lumayan. Namun sayang karena sifatnya yang mudah percaya dengan orang lain, menyebabkan dia tertipu rekan bisnisnya sendiri. Akibatnya, kerugian finansial yang harus dipikulnya pun cukup besar. Utang nya cukuplah kiranya untuk dapat membeli mobil sedan second saat itu. Untuk melunasi utangnya itulah dia bersama isterinya mengadu nasib ke Saudi. Anak yang baru berusia dua tahun ketika itupun terpaksa dititipkan kepada neneknya.
Di Saudi dia bekerja sebagai supir dengan mengabdi kepada keluarga Saudi. Dia mampu bertahan bekerja di keluarga tersebut hingga tiga tahun lamanya. Padahal katanya dia harus mengantar jemput keluarga majikan tanpa henti. Bila dihitung jarak yang harus ditempuh kira-kira bisa 500 km setiap harinya, padahal hanya dalam kota saja. Tapi demi melunasi utangnya yang tidak sedikit, dia berusaha untuk bersabar dan menjalani pekerjaannya dengan baik.
Untuk menambah penghasilan, selain menjadi supir pribadi di keluarga itu, dia juga berjualan. “Jualan apa pak”, kata saya.
“Ya kadang jualan jamu dari Indonesia, terus dijual ke orang Saudi, atau ke baqala (toko) Indonesia.” katanya.
“Oo….orang Saudi suka jamu juga ya?” kata saya yang tidak suka minum jamu selain beras kencur dan kunir asem.
“Juga kadang saya jual kerupuk. Saya beli bahannya dan obatnya, terus dibuat sendiri dibantu isteri. Kalau mengandalkan uang dari gaji supir mungkin sampai sekarang utang saya belum lunas.” tambahnya lagi. “Sampai teman saya sering mengolok-olok, kok kerjaan gitu diambil.“ lanjutnya.“Tapi saya sih nggak peduli.“
Saya hanya mendengarkan ceritanya yang penuh semangat itu, sambil menatap jalanan siang itu yang mulai ramai kendaraan.
Hanya dalam tempo tiga tahun, dia sudah berhasil melunasi utang usahanya. Dia pun keluar dari pekerjaannya sebagai supir.
Untuk menyambung hidupnya, ia bersama teman-temannya membuka toko Indonesia. Sementara isterinya bekerja sebagai helper di sebuah sekolah Arab. Dia juga membeli mobil bekas sebagai sarana transportasi usaha dan antar jemput isterinya. Di Saudi harga mobil memang jauh lebih murah daripada di Indonesia. Kalaupun saya memakai jasanya untuk antar jemput menggunakan mobilnya, itu karena suami saya yang minta. Profesinya sebetulnya bukan sebagai supir lagi.
Di Jeddah memang banyak dijumpai toko Indonesia. Biasanya mereka menjual bahan makanan khas Indonesia hingga kosmetika dan obat-obatan Indonesia yang sulit dijumpai di supermarket biasa.
Bahkan terkadang di toko-toko Indonesia ini pula dijual nasi lengkap dengan lauk pauknya dalam satu piring plastik yang dibungkus rapi. Harganya yang terjangkau (sekitar tiga sampai lima riyal atau sekitar tujuh hingga sebelas ribu rupiah per porsi) membuat orang-orang dengan penghasilan rendah pun bisa makan kenyang.
Usaha toko supir langganan saya tadi berkembang cukup pesat. Barang-barang yang tadinya sedikit lama kelamaan menjadi semakin lengkap. Dia pun pintar membuat promosi dengan melayani pesan antar sampai ke rumah. Layanan pesan antar ini yang sebetulnya sangat bermanfaat buat kami karena sulitnya transportasi umum di Saudi.
Transportasi yang bisa kami pakai selain mobil pribadi hanyalah taksi. Untuk menggunakan jasa taksi pun kami (terutama para wanita) tidak bisa menggunakan sembarang taksi karena masalah keamanan. Jadi biasanya saya memanggil supir taksi langganan atau mobil-mobil pribadi milik orang Indonesia yang sengaja dijadikan mobil antar jemput. Sebenarnya ada juga bus umum meskipun tidak banyak jumlahnya dan kebanyakan kondisinya sudah kurang baik. Namun umumnya bus umum tersebut dipakai oleh pekerja-pekerja bangunan atau buruh-buruh.
Supir langganan saya bilang, buka usaha toko Indonesia di Saudi jarang yang bangkrut. Umumnya selalu balik modal dan banyak pembeli. Hal ini bisa dimaklumi mengingat banyaknya jumlah masyarakat Indonesia di Saudi.
Sekarang dia sudah memperluas usahanya dengan membuka restoran Indonesia yang sederhana. Dia juga sudah memiliki satu orang karyawan yang menjaga restorannya. Karyawannya pun orang Indonesia juga yang bahkan pernah mengecap bangku kuliah!. Rezeki memang sudah ada yang mengatur. Siapa sangka supir langganan saya ini yang hanya lulusan SD bisa memiliki karyawan yang hampir menjadi sarjana hukum?
Kalau musim haji tiba, dia juga bersama kawan-kawannya membuka layanan haji bagi para mukimin dan menyediakan jasa katering bagi jamaah haji Indonesia.
“Sudah berapa lama tidak pulang pak?” kata saya kepadanya.
“Ya…. sejak datang ke Saudi belum pernah pulang.” katanya. Suatu kejadian yang sangat lumrah buat para tenaga kerja imigran. Tidak hanya tenaga kerja Indonesia saja, namun tenaga kerja dari Filipina, Bangladesh, Pakistan, Srilangka pun banyak yang rela meninggalkan keluarganya demi mencukupi kebutuhan hidup. Entah anak atau suami atau isteri yang ditinggalkan di kampung halaman mereka. Bila pulang setiap dua tahun sekali saja pun sudah bagus.
Tetapi setiap manusia tentu harus mau berusaha keras untuk dapat merubah nasibnya menjadi lebih baik. Tentu pula hal ini harus diimbangi dengan kesabaran dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Seperti yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“…………. sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS Al-Anfal 8:53)
Muharram 1429 H